Mohon tunggu...
Fiskiatul Ula
Fiskiatul Ula Mohon Tunggu... Mahasiswa - fiskiatul ula

Mahasiswa Berjiwa Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Perjanjian Paris dan Kerja Sama Antara Indonesia dan Australia dalam Rangka Pengurangan Emisi Karbon

24 Agustus 2021   12:30 Diperbarui: 24 Agustus 2021   12:37 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dunia memasuki era teknologi yang semakin berkembang dari tahun ke tahun. Tak hanya perkembangan teknologi, dunia industri juga semakin berkembang pesat. Kehadiran era ini produksi barang dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan banyak. Seorang produsen juga dapat dengan mudah dan cepat memindahkan barangnya dari wilayah satu dengan wilayah lainnya. 

Percepatan revolusi industri membawa kehidupan kearah perubahan. Manusia dapat dengan mudah melakukan banyak hal dengan durasi waktu yang lebih singkat. Manusia juga dapat dengan mudah mencari apa yang diinginkan. 

Banyak manfaat yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, terlepas dari itu ada pula beberapa hal yang tidak nampak oleh manusia dari permasalahan yang timbul akibat pesatnya dunia industri dan teknologi.

Tersedianya mesin uap dan muculnya pabrik-pabrik mengakibatkan emisi gas karbon semakin bertambah. Ketika mesin uap bekerja ia akan menghasilkan gas karbon yang akan menyebar ke udara. Disisi lain, polusi udara juga disebabkan oleh asap kendaraan, industri perternakan dan pembakaran hutan. Emisi gas karbon yang semakin meningkat ini membuat atmosfer di udara tertahan sehingga akan berdampak pada perubahan iklim yang mengakibatkan suhu bumi semakin panas.

Kondisi seperti ini membuat negara perlu bertindak dengan membuat kebijakan yang tegas dalam menghadapi perubahan iklim di era industri modern hingga pada tahun berikutnya. Dengan demikian, terdapat beberapa pilihan yang muncul untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim di masa mendatang serta mempersiapkan perubahan yang tidak dapat dihindari. 

Kebijakan yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dalam beberapa decade mendatang, sehingga pada tahun 2050 mengalami penurunan mencapai 40 sampai 70% lebih rendah dari tahun 2010.

Dalam hal ini peran utama yang perlu bertindak adalah pemerintah negara dan pebisnis serta masing-masing individu untuk mengatasi perubahan iklim bersama-sama yaitu dengan mengurangi jumlah emisi karbon yang semakin meningkat. Dengan demikian dunia internasional membuat suatu komitmen dalam melakukan perubahan iklim untuk mengurangi dan membatasi kenaikan suhu global sampai pada 2 derajat celcius atau sampai dibawahnya. 

Penggunaan emisi gas global kumulatif harus dibatasi hingga 1.000 milliar ton karbon sjak periode pra-industri. Adapun jumlah emisi gas yang telah dihasilkan oleh manusia mencapai setengah dari emisi bahkan semakin bertambah. Keadaan seperti ini membuat Paris dan para pemimpin dunia Internasional sepakat untuk bertindak dalam upaya mengurangi emisi karbon domestic melalui perjanjian yang mengikat secara hukum yaitu disebut dengan Paris Agreement.

Paris agreement merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat oleh Paris, Perancis dan disepakati oleh hampir setiap negara untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya. Kesepakatan ini betujuan untuk mengurangi emisi gas karbon secara berkala yaitu dengan membatasi kenaikan suhu global yang saat ini telah mencapai 2 derajat Celcius. 

Kesepakatan ini merupakan kesepakatan dan negosiasi dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang telah disepakati oleh 195 perwakilan negara pada konferensi perubahan iklim PBB ke-21 di Paris, Perancis pada tanggal 30 November sampai 11 Desember 2015. 

Konferensi ini dihadiri oleh sejumlah pimpinan negara seperti Amerika Serikat, Cina, Russia dan beberapa negara Uni Eropa Seperti Jerman dan Inggris. Tidak hanya pimpinan negara sejumlah delegasi juga hadir yang mewakili badan PBB dan non-PBB, organisasi non Pemerintah, individu atau tokoh lingkungan dan beberapa tokoh lainnya.

Perjanjian Paris 2015 juga mencerminkan kontribusi yang lebih luas dan menjamin negara maju untuk teteap berkomitmen menurunkan emisi hingga pada tahun 2030 agar tidak melebihi 2 derajat Celcius suhu bumi. 

Melalui Kontribusi yang ditentukan secara Nasional (INDC), pihak-pihak yang berkomitmen mengusulkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan asas Hukum Internasional yaitu asas kebersamaan, namun berbeda tanggung jawab atau prinsip persamaan dan kesamaan. 

Kesepakatan perjanjian paris dibuat terkait perubahan iklim, disamping itu perjanjian ini bertujuan untuk memperkuat tiap-tiap negara agar mampu beradaptasi terhadap dampak perubhana iklim pula.

Setelah lebih dari dua dekade negosiasi iklim, Paris akhirnya berhasil menyamakan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi. Adapun upaya untuk memasukkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kedalam perjanjian paris sangat kuat. Untuk mencapai tujuan ini, kerangka teknis baru dan peningkatan kapasitas akan diterapkan. 

Penerapan ini dilakukan untuk mendukung tindakan negara berkembang dan negara yang paling rentan terhadap penghasilan emisi karbon agar dapat bertindak sesuai dengan tujuan nasional. Pada tahun 2020 dimulai pendanaan iklim hijau dengan megumpulkan 100 miliar dollar AS tiap tahunnya.

Menindak lanjuti perjanjian paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon gas rumah kaca mencapai 26% di tahun 2020 dan 29% di tahun 2030 serta 41% dengan dukungan kerja sama Internasional. Komitmen tersebut dicatat sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia. 

Menurut Index Kinerja Perubahan Iklim (CCPI) 2017, Indonesia menduduki angka ke-22 pada transparasi politik iklim internasional melampaui AS. Kuangnya akuntabilitas dalam pelaksanaan aksi iklim dan tata kelola hutan dapat dilihat sebagai salah satu penyebab kurangnya transparansi dalam kebijakan iklim Indonesia. Berdasarkan pernyataan diatas, Indonesia sangat perlu untuk berperan penting atas kesepakatan dalam perjanjian paris.

Setelah meratifikasi perjanjian paris, Indonesia memiliki kewajiban untuk memasang target INDC yang diajukan sampai tahun 2030 yaitu sebesar 29% dengan berfokus pada sektor energi dan pangan serta ada pada sumber day air yang terdapat di Indonesia. Sedangkan pemerintah Indonesia lebih memfokuskan pada sektor energi, limbah dan kehutanan.

Pemerintah Indonesia perjanjian paris bertujuan untuk mementingkan program-program dari mekanisme pasar karbon yang dibentuk pada proses negosiasi oleh negara maju. Salah satu program yang dibentuk adalah berupa mitigasi dan adaptasi sebagai instrument utama untuk menangani perubahan iklim.

Komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon salah satunya tertuang pada kerja sama antara Indonesia dengan Australia dalam siaran pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Kkerja sama ini dinamakan Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP) yang berupa kerja sama bilateral atau melibatkan antara dua negara yang muncul sebagai komitmen untuk mengurangi emisi gas karbon di Indonesia. 

Dalam hal ini, Australia bersama Indonesia ikut serta mengambil peran sebagai salah satu aktor internasional yaitu dengan menerapkan upaya dalam menindaklanjuti permasalahan lingkungan terutama untuk mrngurangi emisi gas karbon dengan menjalin mitra kerja. 

Menteri luar Negeri menyebutkan paket perawatan lahan Australia untuk mendukung negara-negara dikawasan Indo-Pasifik termasuk para petani di Indonesia. Kerja sama antar Indonesia dengan Australia yaitu dengan mengatasi kebakaran hutan dan gambut dengan mengirim pesawat pengebom air ke Sumatra. 

Australia juga menyediakan alat-alat yang dibutuhkan oleh masyarakat yang menderita gangguan pernapasan dan penyakit lainnya akibat kabut asap di Riau. Kerja sama oleh Badan Restorasi Gambut dan lembaga lainnya yaitu dalam rangka mengembangkan beberapa program baru untuk mendukung pengurangan emisi dan melaksanakan praktik pengelolaan lahan yang lebih baik. 

Dalam hal ini, Australia menyediakan 10 juta dolar Australia dalam mitra kerja bersama Indonesia dalam penurunan emisi karbon serta mengembangkan sektor pertanian dan kehutanan yang lebih efisien. 

Adapun upaya awal dalam keberlangsungan program dilakukan melalui pendanaan sebesar 200 juta dolar Australia terhadap Indonesia.Kerja sama antar Indonesia dengan Australia menjadi sebuah dukungan dalam perjanjian paris yang dibuat pada tahun 2015 lalu. 

Melalui program mitra kerja ini diharapkan dapat membantu penurunan emisi karbon dengan lebih cepat di tahun 2030 mendatang. Sehingga msing-masing negara dapat lebih siap dalam tindakannya menghadapi perubahan iklim atau permasalahan lainnya. 

Dalam hal ini, upaya yang dilakukan oleh Australia terhadap Indonesia terbilang sangat baik. Walaupun jika dilihat pada hasil belum ada bentuk penurunan emisi karbon secara tampak. Mitra kerja yang dilakukan oleh Australia lebih menekankan pada peningkatan kapasitas system yang pada akhirnya akan mendukung upaya pengurangan emisi gas dari deforestasi dan degradasi hutan Indonesia.

Disamping itu, Australia telah memberikan banyak dampak yang lebih baik dalam tata kelola hutan dan peningkatannya serta dalam meningkatkan kesadaran masyarakt maupun pemerintah untuk mengurangi emisi karbon melalui pembentukan kebijakan di Indonesia.

Referensi:

Debora, Y. (2016, November 20). Australia-Indonesia Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/australia-indonesia-kerja-sama-atasi-perubahan-iklim-b5kL

Dra. Ardina Purbo, M. r. (2016). In Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution. (p. 69). Jakarta.

Gakkum, A. (2020, juli 8). Menteri LHK: Indonesia Berkomitmen Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca. Retrieved from Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum LHK Wilayah Sulawesi: ulawesi.gakkum.menlhk.go.id/index.php/2020/07/08/menteri-lhk-indonesia-berkomitmen-turunkan-emisi-gas-rumah-kaca/

Kadek Rina Febriana Sari, P. R. (2016). UPAYAAUSTRALIA DALAM PENGURANGAN EMISI GASKARBON MELALUI KERJASAMA IAFCP DI KABUPATENKAPUAS, KALIMANTAN TENGAH. 11.

Pramudianto, A. (2016). DARI KYOTO PROTOCOL 1997 HINGGA PARIS AGREEMENT 2015: DINAMIKA DIPLOMASI PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DAN ASEAN . 19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun