Eddy Aqdhiwijaya, yang akrab saya sapa dengan sebutan Abang Eddy. Selain itu, saya juga persembahkan tulisan ini, sebagai 'kado' ulang tahun untuk Abang Eddy yang ke-34, tepat di hari ini, 19 Maret 1990-2024. Selamat ulang tahun Abang, semoga Cahaya Cinta-Nya selalu menyinari Abang dan keberkahan-Nya menyertai juga.
Judul di atas, menjadi turning point sebagai pengingat dan rasa syukur saya, bahwa tanpa terasa sudah lima tahun saya mengenal sosok Ketua GIC,Pada mulanya, berawal dari keaktifan saya mengikuti kuis Literasi Islam Cinta yang dibagikan oleh GIC melalui media Instagram, hingga akhirnya saya terpilih untuk ikut pendidikan singkat (short course) tentang  keislamcintaan di Jakarta dengan beberapa teman-teman dari daerah lainnya, waktu itu saya mewakili Kota Semarang.
Selama saya mengikuti kegiatan tersebut di Jakarta, GIC memberikan pelayanan tingkat dewa alias excellence service, mulai dari tempat tinggal di apartemen bagus dan nyaman di kawasan Antasari Jakarta Selatan, sampai interaksi kekeluargaan yang sangat hangat, membuat saya seperti sedang tidak bertemu dengan orang lain, melainkan seperti  bertemu keluarga sendiri.
Di awal saya tiba di Jakarta, saya disambut  dengan  perempuan berhijab dan berpakaian dengan style khas Korea, namanya Silvy Oktariva Utami, saya memanggilnya dengan sebutan Mbak Silvy. Saat melihat Mbak Silvy, dalam hati saya komat kamit, bahwa meskipun dalam koridor Islam Cinta tapi tetap "nyentrik dan syar'i" dengan vibes korean style nya yang menonjol.
Bahkan tidak hanya Mbak Silvy, diantara tim GIC lainnya, juga punya keunikan dan kekhasan masing-masing. Dari situ saja, saya berkesimpulan bahwa teman-teman GIC punya treatment yang bisa disebut "soft approach". Dengan tampilan yang "tidak kaku" seperti itu, membuat saya merasa tidak canggung, dan cepat lebih dekat dengan tim GIC.
Siang-sore berlalu, malamnya, sesuai jadwal, tim GIC adakan dinner di tower apartemen sebelah yang enggak jauh dari apartemen yang saya dan teman-teman lainnya tinggali. Dan ini adalah momen pertama kali saya bertemu Abang Eddy. Sosok yang dalam imajinasi saya seperti layaknya seorang suhu, kyai atau ajengan pada umumnya yang berkopiah, berbatik atau berkoko dan akan cenderung dialog satu arah.
Terlebih tim GIC juga tidak memberikan aturan yang spesifik harus memakai jenis dresscode seperti apa, yang diumumkan hanya berpakaian yang paling dirasa nyaman saja. Alhasil, saya berkopiah dan berbatik, dan ternyata begitu Abang Eddy datang, beliau hanya menggunakan t-shirt putih dan celana panjang casual, jauh dari imajinasi saya sebelumnya. Saat itu, Abang Eddy menyapa kami satu persatu, dan ternyata selain humble Abang Eddy juga pendengar yang baik, sebuah sikap yang jarang saya temui dikalangan aktivis keagamaan yang notabene lebih banyak dari mereka yang ingin didengar daripada mendengar.
Abang Eddy, memiliki listening skill yang baik, dan katanya Tuhan  sengaja memberikan dua telinga dan satu mulut kepada kita agar kita lebih banyak mendengar daripada sekadar "omon-omon". Apalagi tagline yang sering ungkapnya "singkat, memikat, sederhana penuh makna".
Tiga hari berdiskusi tentang keislamcintaan rasanya tidak cukup, banyak hal menarik yang saya dapat ketika itu, tidak hanya pada aspek keilmuannya saja, tapi juga kekeluargaannya. Dan tak pernah disangka dan tak juga dirancang sebelumnya, hubungan baik saya dengan Abang Eddy dan GIC terus berlanjut, mengalir begitu saja. Semakin kesini, semakin saya merasakan bahwa GIC yang gencar dikembangkan oleh Abang Eddy dan tim menjadi seperti mata air di padang pasir.
GIC membawa kesejukan ditengah dahaga kita akan cinta dan belas kasih. Oleh Abang Eddy, saya dilibatkan ke banyak aktivitas GIC yang bersifat edukatif, preventif, inovatif dan progresif---yang berkelanjutan, tak jarang dilibatkan juga kedalam kegiatan kemitraan GIC, dari situ semakin banyak pembelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan, seperti yang pernah abang Eddy sampaikan dalam momen webinar "cinta itu tidak melulu hadir dalam perasaan dan pikiran kita, tapi juga harus hadir dalam tindakan nyata kita, cinta itu harus diungkapkan bukan didiamkan, karena cinta yang kita suarakan adalah kata aktif (compassionate) bukan kata pasif." Demikian ungkapan Abang Eddy saat itu, dalam pembahasan mengenai Literasi Islam Cinta.
Tak hanya itu, di momen lain Abang Eddy juga pernah ungkap sebuah statement yang membuat saya semakin yakin akan pendekatan Islam Cinta ini, yang bunyinya begini;
"Dalam Islam, biasanya, orang belajar agama, kebanyakan, dari aspek hukum (fikih) atau law oriented (berorientasi hukum). Paradigma fikih cukup menonjol dalam studi keislaman di Indonesia. Namun, kalau yang menonjol hanyalah law oriented-nya saja, maka aspek ajaran Islam lainnya bisa-bisa tergeser dan bahkan, kalau aspek lainnya terus dibiarkan, hampir pasti lenyap ditelan bumi.
Model pendekatan fikih yang semakin berkembang sekarang ini, berbeda dari masa awal berkembangnya Islam di Indonesia yang lebih mengedepankan aspek cinta atau love oriented (berorientasi cinta) seperti pendekatan tasawuf dan kultural.
Bahkan, jauh sebelumnya. Di zaman Rasulullah, ketika menyebarkan Islam di Makkah dan Madinah, aspek hukum atau fikih tidak dominan. Dalam dakwahnya, Nabi selalu mengedepankan aspek cinta, sebagaimana sabdanya al hubbu asaasii, cinta adalah prinsip-ku. Namun demikian, formulasi dan artikulasi ajaran agama selalu mempertimbangkan kepada siapa dan dalam masyarakat apa akan disampaikan."
Statement tersebut, disampaikan oleh Abang Eddy pada Oktober 2020, ia hadir di forum ilmiah, Boston-Amerika Serikat, secara virtual. Dan di kesempatan itu, Abang Eddy mendapatkan waktu untuk presentasi papernya berjudul "Introduction to Compassionate Islam in Indonesia". Sebuah pengenalan gerakan yang terus diupayakan untuk menyebarluaskan pesan cinta, damai dan welas asih agama Islam.
Dalam forum itu juga, disampaikan bahwa istilah 'Islam Cinta' atau Compassionate Islam yang terus dikembangkan melalui GIC adalah penegasan bahwa sesungguhnya Islam itu Cinta, sekaligus respon terhadap pelabelan diujung kata Islam yang kian merebak, seperti Islam radikal, Islam teroris, Islam keras, Islamphobia, dan lainnya. Sekali lagi, terima kasih Abang Eddy dan GIC, teruslah menjadi mata air untuk semesta.
****
Salam Penuh Cinta,
Fiskal Purbawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H