Manusia tergolong homo sapien. Pada manusia dimilikinya anugrah akal pikiran yang menjadikan manusia selalui berpikir dari apa yang diterima sebagai human being (manusia seutuhnya) ataupun hubunganya dengan alam makrokosmo. Pada perjalanan hidup yang dihadapkan masalah pelik, manusia memiliki kemampuan untuk mencari solusi dan merenung untuk mencari jalan keluar.
Tentang apa yang telah terjadi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pemikiran timbul, baik pemerhatiannya dalam realitas sosial, maupun pemahaman secara meta fisika yang lebih mendalam dimiliki oleh manusia.
Pada filsafat Islam pemikiran yang muncul dari orang-orang mukmin, sepemikiran dengan pandangan para filsuf Yunani, maupun kurang sepandangan. Pemikiran Filsuf Plato, Aristoteles, Plotinus dalam filsafat barat, penyelaras bagi filsafat Islam. Sumber pemikiran filsafat Islam melalui Al Quran dan Al Hadist serta aliran-aliran pemikiran yang beranekaragam dari waktu ke waktu. Bukan hanya merujuk pada ajaran agama sebagai "pinjaman" melainkan bersungguh-sungguh merujukkan agama dan akal.
Orang-orang muslim tersebut datang dari Syria, Arab, Persia, Turki, dan lain sebagainya. Sehingga pemikiran filsafat Islam menjadi produk intelektual yang kompleks. Memadukan antara wahyu dan akal, antara hikmah dan akidah, diterangi oleh filsafat menjadi jiwa yang kukuh yang dalam pemahamannya tidak terdefinisikan.
Suhrawardi sebagai seorang filsuf terkemuka pada masanya menggabungkan dua aliran pemikiran menjadi satu dengan konsep teosofi sebagai jalan tengah falsafah dan tasawuf. Teosofi  modifikasi baru antara latihan intelektual teoretik melalui falsafah dan pemurnian hati melalui sufisme ( Drajat, 2005 : 23) Melanjutkan reformulasinya tentang teori definisi Illuminationist didasarkan pada epistemologi Platonik. Pengetahuan realitas hal-hal terjadi melalui pemahaman langsung dari sifat cahaya intrinsik dari semua entitas.
Pengetahuan langsung terjadi melalui 'visi-iluminasi', ketika seseorang menyadari bahwa apa yang harus didefinisikan tersedia dalam diri seseorang melalui kesadaran diri. Akan tetapi tidak semua yang terdefinisikan itu mampu ditampung oleh bahasa yang pemakaiannya terbatas atau sebagai pewakil.
Pada saat kesadaran jiwa tercapai, jiwa kemudian mampu memahami secara langsung esensi-esensi yang unsur-unsurnya kemudian dapat diterjemahkan dengan menggunakan bukti dan demonstrasi untuk mengembangkan jenis diskursif pengetahuan tentang pandangan asli tentang realitas.
Suhrawardi menulis bahwa, dengan sendirinya, cahaya tidak membutuhkan definisi apa pun, karena semua yang diperlukan adalah cahaya yang harus dialami, karena tidak ada yang lebih jelas daripada cahaya. Suhrawardi memulai bagian kedua dari Philosophy of Illumination-nya dengan menyatakan bahwa "apa pun yang ada yang tidak membutuhkan definisi atau penjelasan adalah jelas."
Karena tidak ada yang lebih jelas daripada cahaya, sehingga menetapkan sentralitas konsep cahaya untuk ontologi dan epistemologi iluminasinya. Hanya pengalaman intuitif langsung yang dapat mengarah pada pengetahuan tentang realitas (haqiqa).
Berbagai jalur mistis yang dirancang memastikan sifat kemanusiaan mencapai kehadiran cinta dan kebijaksanaan ilahi di dunia. Tahap pertama seseorang harus rela membebaskan diri dari kecenderungan diri, dari kecenderungan duniawi, untuk menerima pengalaman ilahi." Menurut Suhrawardi, sesungguhnya dalam diri setiap orang terdapat yang disebut sebagai Kilatan Ilahi (Al -- Bariq Al -- Ilhahi) Kilatan Ketuhanan inilah yang akan diaktifkan dengan membebaskannya dari "perangkap" jasmani.
Tahapan ini ditandai oleh periode pengasingan-diri (uzlah) selama 40 hari . Tahap kedua sang Filosof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan Sinar Ketuhanan (Al -- Nur  Al- Ilahi) serta mendapatkan apa yang di sebut Cahaya Ilham (Al-Anwar Al-Sanihah) Tahap ketiga pembangunan pengetahuan yang utuh, didasarkan atas logika diskursif. Tahap ke empat pengungkapan atau penulisannya.