Kunyit, kemiri, jintan, dan kapulaga, memenuhi bilik-bilik pasar, para pedagang memegang uang segepok, hasil tawar-menawar yang terus terjalin. Angkutan umum mengetem di sepanjang trotoar jalan depan pasar, menunggu para ibu naik angkutan untuk bersegera pulang ke rumah masing-masing meramu makanan. Lapak-lapak beralaskan tikar berjejer di pinggir pasar, menawarkan cemilan-cemilan pemanja lidah khas makanan tradisional, cendil dan getuk, paling laris. Bocah-bocah polos banyak dititipkan di lapak itu, memercayai nenek tua bergigi hitam makan sirih untuk menjaga sejenak, saat para ibu mereka nego agar dapur tetap mengepul. Roda perekonomian yang besar, yang baru Rena sadari, dan kini ia terjerat di dalamnya. Ini menakjubkan.
Bahan-bahan yang tercatat dalam listyang sudah dibeli, dicenteng amburadul, kakinya lincah menginjak-injak jeroan ayam berceceran bercampur air selokan, saat mendekati pedagang paling ramah, dibaca dari tebal alis. Bahan masakan yang ingin ia beli sedikit demi sedikit terlengkapi. Â
***
Sesampai di rumah, Ayahnya sudah di depan gerbang rumah dengan mata kelihatan melotot, kakinya terbuka lebar dan tangannya terlipat di perut menonjolkan urat-urat tangannya. Hati Rena ngedumel sendiri "seharusnya Ayah tidak boleh begitu, karena meskipun buah-buahan yang sudah Ayah makan, akan dilawan pikiran, yang gagal menghempas penyakit" Rena merasa bersalah.
"Kamu dari pasar Rena? Kenapa kamu keras kepala sekali? Sekarang sudah jam 9 Â siang, kamu masuk sekolah jam 11 siang, kamu bisa telat ke sekolah."
"Aku sudah mempersiapkan semuanya Ayah, baju sekolah, sepatu sekolah, rok   sekolah dan aku sudah mandi, tinggal masak saja"
"Kenapa kamu keras kepala sekali? Pokoknya jangan sampai terlambat."
"Iya Ayah."
Rena pun pergi ke dapur untuk memasak sebagian bahan masakan yang ia beli.
"kamu mau ngapain Rena?"
"Mau masak Bu,"