Mohon tunggu...
FISIP UAJY
FISIP UAJY Mohon Tunggu... Dosen - Instagram: @fisip_uajy | Email: fisip.info@uajy.ac.id | www.fisip.uajy.ac.id

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta | Akun dikelola oleh Tim Informasi dan Komunikasi FISIP UAJY

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan Kolaborasi dan Mobilitas Global Pasca Covid-19

28 Mei 2020   17:44 Diperbarui: 28 Mei 2020   17:35 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

FISIP UAJY mengadakan acara diskusi bertaraf internasional yang diikuti oleh narasumber dan peserta dari berbagai negara. Diskusi yang bernamakan International Diplomacy Colloquium tersebut dilangsungkan pada hari Jumat, 15 Mei 2020 pukul 15.00 - 17.00 WIB.

Tema yang diusung dalam dikusi ini ialah "Tantangan Kolaborasi dan Mobilitas Global Pasca COVID-19", dengan menghadirkan beberapa narasumber dari lima negara. Ekalyptha Setyo sebagai Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial, dan Budaya di KBRI Madrid, Spanyol, Florence Pattipeilohy sebagai Sekretaris Umum di KBRI Dili, Timor Leste, Susanne Susanto sebagai Staf Sekretariat Wakeppri di KBRI  Berlin, Jerman, Vincentius Raymond sebagai mahasiswa exchange Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UAJY di De La Salle University Dasmarinas, Philippines, serta Vincent Elian Saera sebagai Mahasiswa Double Degree Prodi Teknik Sipil FT UAJY di National Cheng Kung University, Taiwan.

Agus Putranto selaku moderator membuka acara dan menjelaskan, "Kegiatan ini menjadi seri diskusi yang membuat individu siap menghadapai dunia dan normalitas baru dengan menghargai adanya mobilitas dan kolaborasi secara global."

Setiap negara mengalami realitas pandemi Covid-19 yang berbeda-beda mulai dari kebijakan pemerintah hingga perilaku masyarakatnya. Di kota Madrid, Spanyol kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan pada tanggal 31 Januari 2020, setiap harinya kasus serupa semakin bertambah banyak hingga tanggal 14 Maret 2020 Spanyol resmi ditutup. Penutupan ini dikenal dengan istilah state of alarm. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah Spanyol untuk memutus rantai penularan ialah memberikan kompensasi senilai 70% dari UMR dengan syarat yang bersangkutan harus mengganti kompensasi tersebut dengan jam kerja ekstra, melakukan pengetesan massal 60 ribu orang setiap harinya, memberlakukan karantina selama 14 hari bagi siapa saja yang memasuki wilayah Spanyol dan memberikan sanksi berupa denda bagi mereka yang tidak mematuhi protokol pemerintah.

"Kecaman sanksi yang diberikan paling ringan 100 Euro dan paling berat 600 Euro," tutur Eka.

Sama halnya dengan Spanyol, di Timor Leste, Jerman, dan Filipina juga diberlakukan lockdown atau penutupan wilayah negara atas segala aktivitas yang mengundang keramaian. Di Timor Leste istilah penutupan wilayah ini dikenal dengan nama state of emergency. Selain itu upaya pemerintah di Timor Leste ialah memberikan bantuan sembako, uang tunai sebesar $100 USD per kepala keluarga dan UMR 75% dari gaji 3 bulan. Akan tetapi yang dirasa kurang dari negara Timor Leste ini ialah kesadaran dari masyarakatnya.

"Masih banyak yang beraktivitas di luar rumah meskipun telah diberlakukan kebijakan social distancing dan state of emergency" jelas Flo selaku Sekretaris Umum KBRI Dili, Timor Leste.

Di Jerman ada beberapa faktor yang membuat negara tersebut dapat pulih dalam kurun waktu 2 bulan, diantaranya ialah sistem kesehatan, asuransi kesehatan, kesadaran individu, dan pemberlakuan sanksi berupa denda sebesar 25-500 Euro. Jerman terkenal dengan negara yang individualis.

Menurut penuturan Susan selaku Sekretaris KBRI Berlin, "Bangsa Jerman memiliki karakter yang individualis, jadi mereka tidak keberatan apabila dilaksanakan kebijakan social distancing, karena setiap harinya mereka sudah social distance dengan orang lain."

Sedangkan di Filipina, upaya pencegahan dan penularan relatif cukup ekstrim yaitu dengan menurunkan polisi dan aparat keamanan ke jalan raya. Selain itu juga terdapat pengingat bahaya berupa peti yang diletakkan di jalan-jalan.

"Bagi siapa saja yang melanggar aturan pemerintah dan keluar rumah seenaknya akan ditembak mati oleh aparat keamanan," tutur Vincent selaku mahasiswa exchange di De La Salle University Dasmarinas.

Berbeda dari negara-negara di atas, Taiwan tidak memberlakukan lockdown di negaranya, semua aktivitas berjalan seperti biasa. Hal tersebut dikarenakan angka kasus yang sangat kecil yaitu hanya 440 kasus dan semuanya hampir sembuh total dan tertangani dengan baik. Meskipun demikian, mayarakat di Taiwan diwajibkan menggunakan masker dan diberlakukan pengecekan suhu serta disinfektan otomatis di tempat-tempat umum guna meminimalisir kontak langsung.

"Keberhasilan pencegahan penularan virus di Taiwan dikarenakan pemerintahnya yang gesit dalam merespon isu virus ini pada awal kemunculannya," tutur Vincent selaku mahasiswa UAJY yang mengikuti pogram double degree di National Cheng Kung University, Taiwan.

Untuk memaksimalkan upaya pencegahan, setiap negara tersebut juga memiliki strategi komunikasi berbeda-beda, khususnya bagi WNI yang ada di masing-masing negara.

Di Spanyol, informasi mengenai update Covid-19 secara formal disampaikan melalui akun media sosial KBRI dan secara informal disampaikan melalui grup-grup Whatsapp.

Timor Leste menggunakan komunitas-komunitas WNI yang tersebar di berbagai distrik untuk menyampaikan informasi, juga melalui rohaniawan yang disampaikan di gereja dan masjid.

Filipina memanfaatkan pesan singkat atau SMS yang dikirim secara personal kepada setiap masyarakatnya.

Sedangkan Jerman memaksimalkan akun media sosial baik itu Facebook, Instagram, maupun website. Tidak hanya itu mereka juga sering mengadakan Vidcon atau Webinar dengan sejumlah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman.  

Adanya pandemi ini tentu akan membawa perubahan di kemudian hari pasca wabah ini berlalu.

Susan berujar, "Akan lebih banyak kreativitas untuk membangun dan mengejar ketertinggalan di bidang ekonom. Akan terjadi pergeseran culture yang mana digital meeting, video conference dan sejenisnya akan menjadi sarana yang sangat digandrungi dan dilakukan setiap orang," tambahnya.

Respon yang benar ialah tindakan yang sangat penting dilakukan untuk menyikapi realitas maupun perubahan yang dihadapi di masa mendatang.

Menurut Vincent, ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan di masa pandemi ini, "Prevention, transparancy, and people. Tindakan pencegahan, transparasi data terupdate, dan bersama-sama melawan Covid-19."

"Keep productive, keep updated, dan be positive," tambah Vincentius Raymond.

Agus Putranto menginformasikan acara IDC ini akan tetap berlangsung dan berkembang setiap tahunnya.

"Tidak hanya sekedar diskusi tapi juga bisa berkembang ke ranah kompetisi bahkan di tingkat internasional," pungkasnya.

Penulis: Reza Takririyah
Editor: Vita Astuti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun