Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FISIP UAJY) dikenal sebagai fakultas yang cukup populer dan dapat dibilang hits baik di kalangan mahasiswa maupun dosen. Fakultas ini banyak mencetak mahasiswa yang berkompeten dan berprestasi. Dosen sebagai tenaga pengajar pun memiliki kualifikasi yang mumpuni di bidangnya.
Baru-baru ini FISIP UAJY dianugerahi 2 doktor dari dosennya yang baru saja menyelesaikan studinya di tahun 2020. Mereka adalah Dr. Phil. Yoseph Bambang Wiratmojo, S.Sos., M.A. dan Desideria C.W. Murti, S.Sos., M.A., Ph.D. Selama menjalani pendidikan S3 banyak tantangan dan suka duka yang dialami oleh kedua dosen. Berikut penuturan mereka.
Dr. Phil. Yoseph Bambang Wiratmojo, S.Sos., M.A. menempuh pendidikan S3-nya di Universität Hamburg, Jerman tepatnya di Fakultät für Geisteswissenschaften (Fakultas Ilmu-ilmu Humaniora). Bambang Wiratmojo dinyatakan lulus sebagai doktor pada 23 Januari 2020 dengan tema disertasi “Indonesian Adolescents' Digital Literacy, Privacy Practices on Social Network Sites (SNS), and Bullying Experiences in Cyberspace.”
Bambang Wiratmojo, yang mulai bekerja di UAJY tahun 2000, menuturkan bahwa studi doktoral di Jerman merupakan studi mandiri di mana tidak ada program yang terstruktur seperti kuliah kelas atau jadwal bimbingan yang dapat dilakukan setiap saat. Setiap mahasiswa harus merancang programnya sendiri untuk melakukan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Membaca ratusan literatur, membuat ringkasan, menulis laporan, mempresentasikan pada forum ilmiah, maupun studi lapangan, semuanya dilakukan secara mandiri," tuturnya. "Pembimbing atau profesor hanya berperan sebagai fasilitator untuk menyelaraskan apa yang ditulis dan dilaporkan oleh mahasiswanya.”
“Hal tersebut seringkali membuat mahasiswa merasa terasing dan sendiri, sehingga memungkinkan mahasiswa mengalami setres, depresi, jatuh sakit, dan bahkan mundur dari studi,” tambahnya.
Meskipun demikian, tantangan tersebut tidak menyurutkan semangat Bambang Wiratmojo dalam melanjutkan studi. Menurutnya, sekolah haruslah menyenangkan jika tidak ingin sekedar memperoleh tekanan-tekanan psikologi. Hobi travelling yang dimilikinya membuat studinya terasa menyenangkan, ditambah dengan beasiswa kuliah luar negeri yang berhasil diperolehnya. Jerman terkenal sebagai negara makmur di benua Eropa, lokasi strategis negara tersebut membuat Bambang mudah untuk menjangkau negara-negara lain hanya dengan menggunakan kereta, mobil, atau bahkan sepeda “onthel”.
“Jadi kesenangan saya adalah travelling ke negara-negara Eropa dengan biaya mahasiswa,” jelasnya. Tidak hanya sekedar jalan-jalan, dengan berkunjung ke negara lain membuatnya dapat memperoleh perspektif ilmu dan jaringan kerja sama yang lebih luas.
Studi lanjut S3 bagi seorang dosen/peneliti merupakan sebuah "keharusan" sebagai implementasi lifelong learning (tidak berhenti belajar), tutur Bambang. Ilmu dan pengalaman budaya, teknologi, media, kehidupan multikultur yang didapat dari program S3 nya dinilai sangat penting dan berharga bagi pendidikan tinggi di UAJY.
Di era globalisasi seperti saat ini persaingan SDM sifatnya sangat terbuka, persiapan sejak “dini” dan membekali diri dengan keunikan yang kompetitif perlu dilakukan agar tidak kalah bersaing di dunia luar, terutama bagi mahasiswa ilmu sosial. Selalu membuka diri dan mau belajar berbagai perspekif dan tidak gegabah melakukan judegment adalah hal yang perlu diperhatikan.
Dengan ilmu yang telah diperoleh, ia ingin mengajak anak didiknya, para mahasiswa FISIP, untuk banyak membaca literatur (buku, jurnal, majalah, koran) konvensional/tradisional sehingga dapat memperkaya pengetahuan dan wawasan. “Internet adalah era kegelapan apabila kita tidak bisa mengatur atau menyaring informasi yang kita konsumsi,” jelasnya.
Sedangkan Desideria C.W. Murti, S.Sos., M.A., Ph.D menempuh pendidikan S3-nya di Curtin University, Perth, Western Australia, dan resmi dinyatakan lulus pada 5 Mei 2020. Program doktor yang ditekuni Desi ialah Doctor of Media Culture and Social Affair dengan spesifikasi pada Media Tourism and Nation Branding.
Tidak jauh berbeda dari Bambang, menurut Desi, pendidikan Doktor itu sangat up and down dan erat kaitannya dengan kehidupan personal. Waktu yang ditempuh untuk menyelesaikan studi juga tidaklah singkat, banyak peristiwa-peristiwa yang tidak terduga yang bisa saja terjadi.
“Waktu saya menjalani pendidikan doktor ayah saya meninggal dunia, lalu dua nenek saya juga meninggal dunia,” jelasnya.
“Di lain sisi, saya juga melahirkan anak kedua saat menempuh pendidikan S3,” tambah Desi yang sudah bekerja menjadi dosen di UAJY sejak 2010.
Walaupun demikian, banyak hal yang dapat Desi pelajari dari pendidikan doktornya di Australia seperti belajar bagaimana menulis, bagaimana melakukan pendekatan interpersonal dan menjaga hubungan yang baik dengan pembimbing, belajar budaya-budaya di Australia, dan sistem pendidikan yang ada di sana. Tantangan-tantangan tersebut dapat Desi lalui dengan semangat yang besar, menurutnya semakin cepat menyelesaikan studi maka semakin cepat dia dapat bertahan, bersaing, dan mengembangkan karir dalam dunia akademik.
Dengan ilmu doktor yang diperolehnya, Desi dapat membagikan pengalaman dan tips-tips kuliah di luar negeri terutama bagi mahasiswa yang memiliki keinginan ke sana. Selain itu juga dapat memberikan penjelasan mengenai bagaimana melakukan penelitian kualitatif dan juga cross culture understanding yang dibangun Indonesia maupun Australia. Menurutnya, mahasiswa Indonesia perlu mengembangkan self-learning (belajar sendiri), tidak hanya menunggu dosen untuk penjelasan materi. Cara berpikir kritis juga perlu diasah agar tidak melihat sesuatu dari satu sudut pandang saja.
“Jangan pernah berhenti untuk belajar karena belajar itu an endless discovery and it will bring you to places” pesannya.
Penulis: Reza Takririyah
Editor: Vita Astuti
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H