Manusia mengambil beragam peran dalam sendi kehidupan. Setiap manusia memiliki kebebasan memilih peran seperti apa yang ingin ditekuni. Tentu saja, berbagai peran yang tersedia tidak hanya dikuasai oleh satu individu saja, namun banyak orang juga menguasainya.
Manusia memiliki sifat dan insting alamiah untuk bertahan hidup, bersaing, dan berusaha. Manusia memang akan selalu berlomba dan berusaha menunjukan kehebatannya melebihi orang lain. Daya saing setiap orang tentu berbeda, tetapi pada dasarnya orang-orang akan berusaha untuk memiliki peran yang sama atau lebih.
Hal ini disebabkan oleh faktor hasil yang tampak di permukaan. Sebagai contoh, saat ini berbagai generative AI berkembang sangat masif dan berlomba menunjukan produk terbaiknya.Â
Aneka tools AI ini dikembangkan dalam berbagai varian yang disesuaikan dengan kebutuhan tertentu. ChatGpt sebagai AI yang berfokus pada penulisan, Dall-E berfokus pada membuat gambar, Sciete AI berfokus pada penulisan referensi ilmiah, dan sebagainya. Tools AI yang hadir ini dikembangkan oleh berbagai perusahaan teknologi yang berkompetisi sengit untuk menarik banyak pengguna yang relevan. Demikian pula yang terjadi pada perilaku manusia. Setiap orang mudah mengikuti apa yang ada di sekelilingnya.
Sebagai contoh, orang beranggapan bahwa berkarir sebagai PNS memberikan masa depan yang lebih baik dibandingkan swasta. Maka, setiap formasi pendaftaran CPNS dibuka, orang-orang akan berkompetisi memperebutkan lowongan yang tersedia.
Demikian pula dengan fenomena Labubu effect yang dikarenakan personil K-Pop "Blackpink" yaitu Liza memamerkan Labubu. Perhatian kawula muda terdistraksi yang menjadikan mereka berkompetisi memperebutkan boneka Labubu tersebut di toko-toko dengan edisi terbatas.
Perilaku manusia yang mudah mengikuti fenomena di sekitarnya umum terjadi sejak lama. Ketika rekan kerja kita mendadak resign, kita pun merasa kehilangan dan berpikir untuk resign yang juga diikuti oleh rekan lainnya. Hal ini sangat mudah terjadi karena adanya perasaan sedih dan kecewa yang memicu kita dan rekan lain ikut berpindah kantor.
Ada pula kecenderungan kita yang juga akan memasuki restoran dengan pengunjung lebih banyak dibandingkan restoran lain. Kita juga akan mudah ikut antrian panjang ketika orang-orang antri membeli makanan atau barang tertentu yang sedang diskon besar-besaran.
Fenomena ikut-ikutan sebenarnya wajar dan sah saja dilakukan, sepanjang hal tersebut baik dan positif untuk diri kita sendiri. Namun, seringkali kita bingung mengidentifikasi apa sebenarnya yang kita inginkan dalam kehidupan ini. Mungkin dari kita banyak memiliki keinginan.
Sebagai manusia dewasa, tentu beban kehidupan yang kita pikul semakin lama semakin berat. Kita selalu merasa harus lebih baik dan berhasil melebihi orang tua kita. Kita juga merasa harus dapat menjadi orang tua yang luar biasa demi anak-anak kita. Kita juga merasa harus mampu melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya menurut versi kita.Â
Tanpa kita sadari, segala keinginan kita menjadikan beban pikiran yang tiada habisnya. Beban pikiran dapat membuat kita menjadi cemas, gelisah, tegang, dan bingung. Banyak anggapan bahwa pekerjaan di perusahaan swasta memberikan ketidakpastian masa depan dan tidak adanya jenjang karir sehingga banyak dari kita yang menjadi lebih gelisah dan cemas. Kita jadi mudah membandingkan diri dengan karir PNS yang dianggap lebih stabil.Â
Belum lama ini juga sedang heboh bahwa pendidikan di luar negeri memberikan masa depan lebih terjamin. Anak muda Indonesia diberikan pandangan luas mengenai pendidikan di luar negeri. Saat ini orang-orang mulai berlomba untuk memperebutkan beasiswa kuliah di luar negeri. Mungkin banyak orang berpandangan bahwa, hanya orang yang suka pendidikan saja yang mau berjuang mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di luar negeri.Â
Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Kembali lagi ke teori perilaku. Manusia cenderung mudah mengikuti apa yang ada di sekelilingnya. Saat ini memang gencar Kemendikti Ristek mempromosikan pendidikan luar negeri melalui program fellowship, beasiswa fullbright, dan sebentar lagi LPDP di Januari 2025. Apakah benar anak muda yang sedang berjuang mendapatkan beasiswa ini murni ingin mengenyam pendidikan tinggi? Atau hanya sekadar ikut-ikutan saja dengan pandangan bahwa kelak akan mendapatkan pekerjaan dengan masa depan cerah? Tentu fenomena perilaku ini sangat positif.Â
Tapi, apakah manusia tidak pernah berusaha untuk mengukur timeline hidupnya dengan baik? Semisal mereka belum beruntung mendapatkan beasiswa tersebut, apakah mereka lantas memaksakan diri untuk mendapatkannya di tahun-tahun berikutnya? Tentu saja ada harga yang harus dibayar yaitu usia. Ketika kita memilih untuk kuliah full time, artinya kita akan sulit membagi waktu dengan bekerja.
Maka, beasiswa fullbright akan membuat kita full kuliah, walau ada juga program Phd yang memberikan insentif bulanan bila sebagai mahasiswa kita andil dalam project research atau sebagai asisten peneliti dalam tim profesor.Â
Begitu banyaknya versi sukses yang diciptakan oleh masyarakat sosial. Versi sukses sosial dahulu sebelum era teknologi, orang sukses itu punya perusahaan besar dan atau pengusaha sukses dengan banyak bisnis besar menjamur dimana-mana. Selain itu, motivator dulu sering berujar bahwa indikator sukses itu berusia di bawah 30 tahun.Â
Beda halnya dengan era teknologi saat ini, mereka yang sukses yaitu orang dengan pemegang akademik tertinggi dan memiliki pengaruh besar dalam industri dan teknologi. Selain itu juga mereka yang berhasil masuk dalam jajaran pejabat pemerintahan menjadi indikator sukses di mata sosial.
Sebenarnya, status sosial yang kita ketahui saat ini hanyalah pandangan sosial yang diciptakan manusia itu sendiri. Manusia melabeli segala sesuatu membentuk berbagai kasta atau tingkatan dalam kehidupan dan tatanan sosial. Berbagai label inilah yang membuat manusia saling berlomba dan memantaskan diri untuk mencapai posisi tertentu yang dianggap lebih prestige.Â
Begitu besar tekanan sosial membuat kita mudah cemas dan gelisah. Kita juga cenderung memberikan tekanan pada diri sendiri. Pandangan dan label sosial seolah mengawasi kemana pun kita melangkah dan mengambil keputusan. Menjadikan pribadi lebih besar dan berkembang sangat wajar.Â
Kita bebas menentukan karir dan pendidikan apa yang kita pilih ,selama pilihan tersebut merupakan keputusan tepat yang kita lakukan. Namun, bila kita hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak orang, maka itu bukanlah keputusan yang baik untuk kita. Mengapa?Karena pada akhirnya, pilihan karir atau pendidikan tersebut suatu hari pasti akan membebani kita bila tidak sesuai dengan diri kita sendiri.Â
Maka dari itu, ajaran filsuf mengenai hidup sebagai stoik menjadikan manusia lebih manusiawi terhadap dirinya sendiri. Menjadi stoik membuat kita lebih bijaksana dalam memandang kehidupan. Kita tidak memaksakan segala sesuatu, mampu mengendalikan diri, menerima apa yang tidak dapat kita kendalikan, dan menjalani kehidupan sesuai dengan jalur kita sendiri.Â
Walau saat ini kita memperhatikan orang di sekitar kita lebih baik dan sukses baik dalam karir dan pendidikannya, kita dapat menjadikannya sebagai motivasi, namun kita tidak dapat mengikuti jejak hidupnya mentah-mentah begitu saja. Seperti halnya orang banyak menggandrungi profesi PNS yang lebih gemilang dan stabil, belum tentu kita juga cocok menjadi PNS. Apakah kita dapat bekerja di bawah sistem birokrasi pemerintah, sementara mungkin di antara kita memiliki banyak kreativitas dan inovasi yang sulit terbendung.Â
Selain itu, maraknya perburuan beasiswa pendidikan keluar negeri, apakah itu pilihan pendidikan yang betul-betul ingin kita pilih? Apakah pendidikan dalam negeri bukan bentuk jaminan masa depan yang baik juga?
Tentu ini adalah keputusan masing-masing.
Selama keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan. Keputusan tersebut bukan sekadar tekanan sosial dan bentuk prestige yang kita inginkan berdasarkan pandangan sosial semata.
Kembali lagi, sebetulnya apa yang betul-betul kita inginkan dalam kehidupan ini? Mau jadi apa Anda dalam kehidupan ini?Â
Jika Anda bertanya saya ingin menjadi apa? Saya ingin menjadi seseorang yang dapat bermanfaat bagi orang lain dalam arti membantu mereka pulih dari kondisinya dan dapat kembali bergerak bebas. Selain itu, saya juga ingin membagikan ilmu kepada banyak orang yang ingin menjadi Fisioterapis.Â
Lalu, apa yang Anda inginkan? Apa yang ingin Anda lakukan? Apa makna kehadiran Anda dalam kehidupan ini bagi orang di sekitar Anda? Mungkin ini dapat membimbing Anda mencari jawaban spesifik mengenai makna kehidupan yang lebih berarti.
Kita semua memang ingin sejahtera, tapi alangkah lebih baik terus belajar dan berusaha, selanjutnya segalanya akan mengikuti kita baik itu kesuksesan dan kesejahteraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H