[caption id="attachment_265656" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Sekilas memandang tebus ijazah dalam pengertian saya adalah mengambil ijazah yang dijadikan agunan dengan membayar sejumlah uang tertentu agar ijazah itu kembali ke genggaman pemilik. Dulu kala sempat marak terjadi saat seorang lulusan sekolah menengah membutuhkan uang sehingga menggadaikan ijazahnya kepada keluarga atau orang lain yang dipercaya dapat memberikan uang dengan jaminan ijazahnya. Karena ijazah tersebut dapat dipergunakan untuk mencari pekerjaan. Ijazah yang digadaikan pun mulai dari SD hingga SMA, tidak jarang ada yang ijazah perguruan tinggi. Namun, itu dulu, di saat semua orang mempercayai keabsahan ijazah dan memperolehnya pun dengan susah payah. Susah payah belajar keras, susah payah harus mengikuti orang lain atau keluarga lain sebagai pekerja rumah tangga guna membiayai sekolah, sekolah pun tidak gratis harus ditutup dengan uang sekolah (SPP) yang besarnya saat itu masih sangat rendah Rp 10 ribu paling mahal adalah biaya SPP bulanannya. Sekarang di saat semua lini pendidikan institusi negeri mengaku gratis dan mendapat subsidi, biaya sekolah pun turut naik. Akibatnya tetap saja ada istilah "tebus" ijazah dibebankan kepada setiap lulusan atau alumni. Istilah ini juga diterapkan bukan hanya kepada siswa sekolah dasar dan menengah, saya rasakan juga kepada para lulusan perguruan tinggi berbagai jenjang. Bagaimana untuk sekolah swasta? Sekolah yang tidak ada subsidi dari pemerintah yang cukup selain Yayasan yang memilik dana abadi dan uang sekolah dari siswa melalui biaya yang ditagihkan kepada orang tua dan wali siswanya? Tentu bertambahlah biaya semacam ini. Untuk jenjang lulusan pendidikan tinggi, saya pikir itu adalah hal yang wajar. Karena semakin meningkatnya kompleksitas kebutuhan dunia usaha, dunia kerja, dan dunia industri terhadap kebutuhan tenaga terdidik, terampil, dan ahli yang didukung dengan ijazah pendidikan tinggi, maka terjadinya korelasi linier dengan meningkatnya biaya untuk memperoleh kompetensi tersebut yang dinyatakan dengan ijazah. Ijazah pendidikan tinggi sebagai pengakuan peningkatan kompetensi keahlian seseorang di jenjang birokrasi dan fungsional, terlebih setelah PNS naiknya jenjang pendidikan harus diakui dengan Surat pengakuan gelar yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan jenjang instansinya dan tentu akan berpengaruh pada karir dan jabatannya kelak ! Mempermudah PNS menapak jenjang diklat-diklat yang menunjang jabatan yang bakal dipegangkan diperkuat melalui kekuatan kompetensi pengetahuan keahlian tadi. Nah, Sekolah Menengah yang sebenarnya terbagi menjadi dua kategori yaitu SD dan SMP (pendidikan dasar) dan SMA (pendidikan menengah) belum merupakan jenjang strategis sebagaimana yang dibutuhkan dunia usaha dan dunia industri sehingga sebenarnya para pengelola sekolah sudah "membijaki" melepaskan atau sederhananya memberikan saja ijazah itu tanpa harus ada biaya-biaya. Apa saja komponen "tebus" ijazah sehingga perlu "diganjar" dengan biaya-biaya, antara lain : honor menulis ijazah yang harus dengan tulisan indah yang menunjukkan identitas lulusan (lebih kurangnya sama seperti tulisan di BPKB yang juga indah tapi sekarang Ditlantas mempermudahnya dengan bentuk seperti pencetakan massal sehingga tidak mengurangi keabsahan tanda kepemilikan kendaraan bermotor), tanda tangan yang diberikan pejabat pengesah atau pejabat sekolah (ini juga mahal dan perlu diingat, bahwa dokumen-dokumen kelulusan harus ditandatangi ASLI dan jumlah lembar yang ditandatangani itu pun luar biasa banyaknya). Pernah suatu ketika saya melihat sang Kepala Sekolah sangat lelah menandatangani dokumen kelulusan, mulai dari rapot semester 6 selanjutnya legalisirnya yang bisa mencapai 20 lembar ! (baru untuk rapot saja yang difotokopi dari halaman awal hingga semester terakhir dan apa juga gunanya rapot banyak-banyak lembar dilegalisir, alasan klisenya digunakan untuk mendaftar di SMA favorit atau perguruan tinggi favorit). Belum lagi derita tanda tangan dari pejabat pengesah terus berlanjut, diisukan legalisir tidak akan diterima jika bukan kepala sekolah yang tanda tangani! Nah, kepala sekolah ekstra keras, minum suplemen dan latihan otot tangan agar tetap fit menorehkan tanda tangan ajaib dan tidak pegal kaku sehingga tetap terus menjalankan permintaan siswa dan orang tua itu. Belum lagi ijazah resmi dari sekolah pun ada SKHUN (surat keterangan hasil UN) yang dicetak tapi tetap ditandatangani kepala sekolah kemudian dilegalisir pula (bahkan ada yang minta sampai berpuluh lembar, pusing kan? pegal kan?). Sebelum ijazah resmi terbit, sekolah pun membuatkan transkrip lengkap dengan nilainya di halaman sebalik (dilegalisir pula ada yang 10 lembar bahkan ada yang nekad hingga berpuluh lembar !) ditandatangani, difotokopi kemudian dilegalisir juga main tandatangan, belum lagi harus ada cap mengesahkan dan diparaf oleh Kepala Tata Usaha. :wow: :sad: Oh ya ada lagi, surat kelakuan baik dari sekolah pun (entah disengaja atau ada apakah edaran resminya sebagai dokumen pelengkap kelulusan) juga sama pentingnya dan dilegalisir pula dengan tanda tangan pejabat berwenang yakni kepala sekolah. Diperbanyak juga hingga puluhan lembar. Nah, apa ngga gempor tangan penandatangan kalo demikian? Request ini baru dari satu siswa, bagaimana jika ada dua ratus atau tiga ratus bahkan empat ratus lulusan meminta hal yang sama ? Bayangkan cape dan pegalnya tangan sang penandatangan, belum lagi harus ada cap basah dengan tinta violet selain cap asli juga cap mengesahkan dengan resmi pada setiap lembarannya. Nah Lo, sepengetahuan umum juga, di perguruan tinggi tuh ngga melihat yang namanya rapot dari semester 1 sampai semester 6 digunakan untuk seleksi calon mahasiswa, terlebih setelah selesainya PDSS SNMPTN. Yang lulusan SMP mau melanjutkan ke SMA Negeri ada sistem Penerimaan Peserta Didik secara online yang mengandalkan Nilai Akhir Ujian Nasional. Ini pun suatu saat akan menjadi bumerang jika tidak dipikirkan matang-matang dan solusinya yang win-win ! Jika masuk PTS (perguruan tinggi swasta), calon mahasiswa mengikuti ujian tertulis bisa juga mengikuti ujian masuk online, dokumen pelengkap rapot hanya untuk menyatakan bahwa calon yang bersangkutan pernah sekolah di SMA sesuai jenjangnya, bahkan tidak dilirik sebagai alat selektif rekrumen! Ada-ada saja ide karena ketakutan para lulusan SMP/SMA ini.Hal-hal inilah memicu ide "kreatif" pengelola sekolah untuk "memberikan tambahan biaya" karena betapa pentingnya ijazah dan jerih lelah menghasilkan lembaran pengesahan tersebut ! Ada yang lain mengatakan itulah sakitnya kalo jadi kepala sekolah! Mau ? Tetapi tidak sedikit setiap kali rekrutmen kepala sekolah, guru-guru ikut serta beriang ria berharap-harap cemas setelah mengikuti tes atau penjaringan yang tidak sedikit memakan biaya, tapi jika gagal yang terdengar hanya pesan "Jangan sekali-kali coba-coba mendaftar jadi Calon Kepala Sekolah". Hah, selalu ada semboyan yang berkebalikan ! Di kampung saya yang namanya prosesi kelulusan itu selain dirayakan coret-coretan dan konvoi kendaraan. Itu kejadian tahun lalu, kejadian pada kelulusan 2013 banyak pengendara muda yang kena razia dan tilang sehingga hanya sedikit yang masih melakukan aksi tak terpuji serupa. Jumlah pencoret pakaian pun tidak masif dan banyak seperti tahun lalu, namun kebanggaan mencoret pakaian seragam tampaknya masih harus dikikis dan dipertanyakan kembali. Peristiwa pelepasannya pun dirayakan glamour ala gala show, sama seperti red carpet atau pesta pernikahan ! Biayanya saja luar biasa hingga puluhan juta rupiah ! Belum lagi prosesi pelepasan harus mengikuti dress code tertentu yang terpaksa kepada para peserta harus merogoh kantong orang tua lagi untuk membeli pakaian sesuai dress code. Hingga akhirnya (sebenarnya) pernah dihimbau tapi tidak pernah mau dituruti, bahkan yang menghimbau ini tidak sedikit dari pejabat daerah mulai dari Bupati/ Walikota sampai Kepala Dinas Pendidikan terkait. Himbauannya agar acara seremonial pelepasan kelulusan dilaksanakan saja di halaman sekolah, tidak memakan biaya dan harus menyewa tempat hingga puluhan juta ! Tapi namanya euforia, himbauan itu hanya angin lalu sama seperti angin sepoi-sepoi. Saya melihat ada hubungan jelas di sini, kemurahan biaya pelepasan yang seyogianya sangat mahal itu dapat dialihkan untuk "menolong" sekolah mengelola dokumen yang ratusan lembar tadi per siswa, bayangkan betapa lelahnya Bapak dan Ibu Kepala Sekolah serta petugas tata usaha, walaupun kita katakan mereka kan sudah dapat gaji dan tunjangan setiap bulan yang sangat tinggi dibandingkan guru lain, wajar saja mereka tanda tangan dan bekerja keras untuk itu. Terlepas dari itu semua, tanda tangan pejabat berwenang yang mengeluarkan ijazah sangatlah penting dan tidak bisa kita hindari pasti akan berbiaya. Nah sekarang bagaimana para lulusan ini menyikapinya dengan bijak dan sesuai porsinya. Semestinya sejak semula Komite Sekolah harus menganggarkan prosesi seperti judul di atas, karena para siswa pun membayar iuran itu tidak semuanya untuk operasional sekolah, iya kan? Ironi itu tetap ada sampai kapan pun. Terlalu banyak peristiwa yang telah kualami Terlalu besar badai hidup yang harus kujalani Kucoba untuk dapat menerima kodrat ini Sampai di batas waktu yang kusendiri pun ku tak pernah tau Ku tak tau Aku tak tauuuuuu (potongan Lagu "Ironi" dipopulerkan Lidya dan Imaniar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H