Pemilihan kepala daerah mewarnai hampir setiap hari di seluruh penjuru negeri ini. Dari ujung timur hingga ujung barat, semua berpartisipasi termasuk tidak memilih sama sekali(?)Â
Suatu keheranan saya pada suatu berita di saat pemilih banyak tidak berdatangan tapi terjadi penggelembungan suara, apakah pada saat hari pencontengan atau pencoblosan itu ada "hantu" yang bekerja atau ada jokinya?Â
Nah, terlepas dari masalah hantu atau bukan, joki atau bukan. Setiap kali pemilihan umum, termasuk kelak pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota DPR, DPD, hingga DPRD akan ramai diwarnai yang namanya perhitungan cepat dari masing-masing tim pendukung atau tim sukses masing-masing.Â
Mulai dari besar sampai kecil dibagi per-wilayah dan jumlah kursi keterwakilan di lembaga yang direpresentasikan. Tentu perhitungan itu akan berbeda jika yang dipilih adalah pemimpin rakyat, pemimpin masyarakat suatu daerah negara, propinsi hingga kabupaten atau kota.Â
Lembaga-lembaga konsultan politik, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pencitraan personal hingga pencitraan tim sudah melengkapi peralatan mereka dengan alat survey yang namanya Quick Count atau hitung cepat.Â
Dalam UU Pemilu tidak dimasukkan hitung cepat ini sebagai hasil resmi, sering disebut hasil tidak resmi atau hasil bias. Bahkan ada laman hitung cepat yang dicekal karena menimbulkan keresahan. Juga ada yang tidak menyetujui proses pengumuman hitung cepat.Â
Namun masyarakat memerlukan kecepatan informasi untuk mengetahui jagoannya atau wakil-wakilnya yang disenanginya memenangi "pertarungan" ini.Â
Biaya besar pada calon pemimpin, para calon wakil rakyat mulai dari membuat spanduk, baliho, kaos, baju, jaket, tas, stiker, pin tak terhitung besarnya. Mulai dari puluhan juta, ratusan juta hingga milyaran rupiah anggarannya.Â
Dihitung-hitung pengusaha juga bukan apalagi pegawai negeri ikut-ikutan, apakah mengorbankan tabungan atau pinjaman atau belas kasihan? Itu semua kita serahkan etikanya kepada para peserta pemilihan umum. Tentu ada partai sebagai motor penggerak massa yang diakui UU akan menjamin mereka semua dengan berbagai syarat dan ketentuan yang berlaku layaknya operator politik.Â
Konsekuensi politik dan komitmen politik adalah harga mutlak, harga mati yang harus dijalani sesuai kesepakatan politik atau janji-janji kepada induk pengusungnya.Â
Baik dan buruk, untung dan rugi sudah tidak bisa dihindar lagi saat hari pencoblosan tiba. Proses hitung cepat atau quick count sendiri, sebenarnya secara sederhana dapat kita lakukan dengan penuh kepercayaan dan integritas.Â
Statistik yang dipergunakan cukup dengan statistik inferensial mengukur sebaran data dengan ukuran memusat. Indikasi kemenangan adalah kandidat yang banyak mendapatkan suara dari sejumlah batas tresshold-lah yang memenangkan pertarungan atau putaran pencoblosan. Langkah-langkah hitung cepat menurut saya : (mudah-mudahan tidak melenceng dari jalur statistika)
- Hitung jumlah TPS dalam suatu wilayah, misalnya dalam suatu wilayah ada lima kecamatan (sebagai pusat induk) dan masing-masing kecamatan terbagi menjadi tempat pemungutan suara (TPS).
- Kemenangan mutlak dari calon bukan kemenangan di semua wilayah seperti pemilu presiden Amerika Serikat, tetapi kemenangan yang dicapai calon berdasarkan prosentase pemilihnya. Maka hitung jumlah pemilih yang memiliki hak (berdasarkan data yang dikeluarkan KPU secara real time dapat diperoleh)
- Dalam statistika, Menentukan ukuran sampel merupakan bagian dari teknik sampling, dimana jumlah anggota sampel sering dinyatakan dengan ukuran sampel. Jumlah sampel yang 100% mewakili populasi adalah sama dengan populasi. Makin besar jumlah sampel mendekati populasi, maka peluang keselahan generalisasi semakin kecil dan sebaliknya makin kecil jumlah sampel menjauhi populasi, maka makin besar kesalahan generalisasi (diberlakukan umum). Pengambilan uji sampel dapat dilakukan sebesar 20% dari jumlah populasi. Semakin besar jumlah sampel yang diambil sebenarnya mendekati kebenaran (dibandingkan kebiasan atau melencengnya kebenaran informasi). Dari jumlah pemilih tentukan 20% jumlah sampel yang akan disebar menjadi 20% jumlah TPS di wilayah pemilihan. Semakin besar sampelnya maka semakin mendekati kebenaran perhitungan (kemenangan) yang ingin diketahui.
- Pengambilan sampel untuk mencegah penyimpangan dari penghitung ditentukan secara acak menggunakan bilangan random (sering disebut random sampling) misalnya ada 1000 TPS maka pengambilan sejumlah 20% ke-1000 TPS (berarti ada 200 TPS sebagai sampel), nomor urutnya diambil secara acak dari hasil pencetan tombol kalkulator saintifik #RANDOM sampai diperoleh 200 sampel tersebut.
- Kemudian disebarlah ke-200 TPS tadi saksi atau penghitung independen (jika resmi mengantungi surat dari KPU, jika tidak resmi cukup mencatat data dan mengikuti perhitungan suara yang biasanya dilakukan di akhir pencoblosan pada ke-200 TPS tersebut) dengan cara turus pada masing-masing tabulasi kandidat.
- Kecepatan informasi dan sebaran data yang terverifikasi semakin cepat disebarluaskan kepada masyarakat juga semakin cepat tanggapan dan harapan masyarakat terjawab, apalagi dengan kemajuan informasi saat ini, memungkinkan jurnalis sipil, jurnalis masyarakat mengabarkan tentang proses pemilihan umum yang Jurdilka (jujur, adil, dan terbuka)-terlebih kompasiana telah melengkapi aplikasi k-report pada perangkat blackberry sehingga mudah dan rapi melaporkan hasilnya per TPS, per kecamata, per kabupaten, bahkan per propinsi.
- Masalahnya penentuan jumlah sampel tidak terlalu besar agar memudahkan peneliti, tapi jika suatu partai atau organisasi memiliki kekuatan massa yang banyak, maka tidak sulit menugaskan setiap anggota PAC atau DPC atau DPD berada pada masing-masing TPS guna memantau jumlah suara yang sah atau yang golput atau suara rusak. Diperlukan integritas saksi masing-masing calon agar tidak mudah teromabng-ambing atau mudah diiming-iming keadaan tertentu untuk membiaskan informasi perhitungan suara terakhir.
- Kebenaran perhitungan dari setiap TPS dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran "apakah ada kecurangan dari saingan kandidat?" atau ada kecurangan dari penyelenggara pemilu yang dapat berbuah tindakan melawan hukum sebagaimana UU Pemilu. Walaupun nanti kebenaran perhitungan terus diplenokan berjenjang setelah rangkaian perhitungan di TPS, meningkat ke PPK, kemudian ke KPU.
- Kecurangan Pemilu diganjar dengan pidana, tentu para partai pengusung calon pun tidak tinggal diam mengawasi jalannya "pertandingan" dengan fair dan cantik. Kita semua tentu tahu bentuk-bentuk kecurangan pemilu itu, seperti serangan fajar untuk memilih kandidat tertentu, kampanye di luar waktu, kampanye di masa tenang, menyebarkan kampanye hitam (black campaign), money politics tentu saja (ini sulit dibuktikan!). Â Kadang-kadang warga masyarakat karena tidak tercatat sebagai pemilih juga merasa masa bodo dengan tindakan-tindakan seperti itu, jadi menyuburkan praktik-praktik yang tidak membangun kesadaran akan kejujuran dan keadilan! dilematis tragi !
- Serahkan kepada petugas yang berwenang untuk mencatat kemenangan setiap kandidat dan harapan kami selaku warga masyarakat, pemenang adalah kandidat terbaik yang Memberikan harapan dan cita-cita melalui Visi dan Misi yang terencana, terukur, tepat sasaran dan dapat diawasi oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Mari kita memilih pemimpin yang amanah, visioner, peka dengan lingkungan, tanggap dan (sensitif), juga penyabar dan tawakal, serta cerdas lagipula pintar oh Boy.Â
Maaf, ini bukan kampanye dari salah satu kandidat calon pasangan Gubernur - Wakil Gubernur, atau Bupati - Wakil Bupati, juga Walikota dan Wakil Walikota tertentu.Â
Pun bukan pesanan, ini semata-mata panggilan nurani untuk menyuarakan pengetahuan berhitung-hitungan yang "cukup" saya ketahui secara matematikal statistik kesederhanaan. Sumber lain tentang sampel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H