Mohon tunggu...
Firzhea AlysaTahira
Firzhea AlysaTahira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Menumpahkan hobi saya dalam menulis dan bermusik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Tigris Sondaica, Direnggut Hak Hidupnya oleh Serakah Manusia

21 Maret 2024   13:07 Diperbarui: 21 Maret 2024   14:56 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tubuh ramping itu melesat gesit, di antara lebat pohon tanah Jawa yang subur, dalam belukar sunyi menyibak rahasia. Gagah perkasa dalam soliternya, menjadi simbol kuat dan elok perhutanan Jawa Dwipa. 

Loreng hitam menghias pekat oranye kulitnya, mempertegas statusnya sebagai pemangsa puncak. Dahulu kala, eksistensinya jadi corak indah di alam yang megah, jadi setitik warna dari ragam rupa yang menyuasanai Nusantara. 

Dahulu kala, eksistensinya punya ruang kebanggaan tersendiri bagi tanah Jawa, sebagai kekuatan alam tiada banding yang mengembara bebas, menapaki tiap-tiap daerah kuasanya tanpa gentar. 

Pasang mata mana yang tak terpikat oleh pahat garang rupanya? Kemampuan berburunya bisa saja ditandingkan dengan Lintang Waluku, yang di Negeri Barat sana dikenal sebagai Sang Pemburu. 

Tajam indranya jadi keuntungan, waspadanya meningkat berkali lipat. Senantiasa menanti momentum, meramal sekecil-kecilnya ruang baginya untuk menerkam, mencabik, memangsa.

Panthera Tigris sondaica. Kemampuan bertahan hidupnya tak perlu diberi ragu. Jiwa penyendiri sepertinya selalu berhasil menemukan celah, entah apa yang diproses dalam benaknya. 

Sayang seribu sayang, sepoi malam tiba bersama dingin yang berbeda. Pada hari berita itu beredar, mulut ke mulut, telinga ke telinga. Perihal kejinya manusia, merenggut hak hidup kebanggaan tanah Jawa bersama segala jejaknya yang perlahan terkikis waktu. 

Duka merambat merasuk dalam angkasa, menggerogoti hati insan-insan pengagum serba-serbi rupanya, membiarkan lantunan indah hutan nusantara kehilangan melodi dominannya. Duka memenuhi relung hati yang sepi, menggali sedalam-dalamnya kenangan yang tersisa tentang pemburu soliter yang kian pudar kenangannya. 

Leluhur bangsa yang gagah perkasa, meninggalkan nusantara dalam nestapa. Menyisakan lara yang tak kunjung bertemu penawarnya. 

Lantas siapa yang berhak disalahkan? Pada siapa tanggung jawab akan kesedihan itu akan ditumpangkan?

Tak perlu beribu pikir, sudah aku genggam jawaban dari pertanyaan retorik itu dalam saku. Yang aku tumpahkan pada sesingkat-singkatnya paragraf ini, merangkum segala kecewa dan benci pada insan-insan keji yang menjadi antagonis dalam kisah asri Indonesiaku, dalam ragam rupa tanah Jawaku. Apabila diizinkan bagiku untuk membuat kamusku sendiri, Perusak! Maniak! Pembunuh! dan segala sinonimnya akan bermakna satu, Manusia. Serakahnya sudah diluar batas wajar. 

Abad-abad lalu alam sudah lebih dulu ada, menjadi aman dan teduh bagi segala penghuninya. Menjamin hidup seisinya agar tercukupi segala butuhnya. Tak mengharap balas meski sudah memberi banyak. Tapi wujud dari bagaimana manusia menghargai dan tak membiarkan alam lestari di masa lampau sungguh mengecewakan. 

Tindak ilegal tak bermoral menyuasanai masa itu, ketika Harimau Jawa semakin dekat dengan punahnya. Dirambas habis sehijau-hijaunya habitat flora fauna di Tanah Jawa. 

Dialihkannya hutan yang semula asri menjadi lapak keserakahannya. Menurunnya populasi sondaica semakin drastis, segala aksi konservasi aktif yang diupayakan tak dapat menyeimbangkan mengikisnya jumlah satwa endemik itu.

Pilu membiru, tak sanggup aku bayangkan bagaimana derita spesies unik itu ketika hak hidupnya direnggut sewenang-wenang. Deforestasi memulai dominasi, memberi ruang bagi perkembangan infrastruktur dan pertanian yang justru menyusutkan ruang hidup Harimau Jawa. Tak kenal puas, spesies itu pun dieksploitasi, demi memenuhi segala keinginan manusia yang tak kunjung terpuaskan. 

Pemburuan ilegal seolah terlegalisasi, ternormalisasi. Makhluk yang semula gagah perkasa jadi tidak berdaya di tangan manusia yang berlomba-lomba dalam keserakahan. Populasinya semakin terdesak, entah apa isi benak makhluk itu ketika harus meringkuk dalam bekunya malam, menunggu ajal menjemputnya dengan sadis. 

Kehilangan harimau jawa bukan hanya merugikan ekosistem, warisan budaya pun runtuh. Kepergiannya meninggalkan kehampaan besar dalam ekosistem Pulau Jawa. Harimau Jawa bukan sekedar fauna, eksistensinya adalah bagian tak terpisahkan dari identitas Indonesia. 

Punahnya mereka menjadi cermin dari kerusakan yang telah manusia timbulkan terhadap alam, dan merupakan pengingat penting akan perlunya tindakan kolektif untuk melindungi spesies yang terancam punah sebelum terlambat. Maka dari itu, selagi kesempatan masih diberikan, mari kita upayakan pelestarian segala bentuk kekayaan alam kita, hutan salah satunya, tempat di mana mimpi bermimpi. Biarlah lagu alam yang puitis menjadi nyanyian kita, abadi dan suci. 

Kini hanya tinggal cerita di antara pepohonan yang sunyi, tentang kepergian sang jelita dari pangkuan bumi. Namun identitasnya sebagai kebanggaan nusantara tak akan berubah di tengah gempuran segala generasi. Eksistensinya di waktu lalu akan menjadi legenda di masa kini, yang menyala abadi dalam senandung alam permai milik ibu pertiwi. Bagaimanapun, Harimau Jawa akan tetap menjadi elegi yang tak habis dikenang sampai abadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun