Adakah yang menyadari dan bertanya, mengapa sering terjadi cuaca ekstrem, mengapa cuaca terasa semakin panas? Pasti banyak yang menyadari dan bertanya mengenai hal tersebut. Permasalahan tersebut yang akan menjadi isu penting dalam Konferensi PBB tentang perubahan iklim di Glasgow. Dalam Konferensi tersebut dibicarakan tentang Net Zero Emissions.
Net Zero Emissions adalah suatu keadaan dimana wilayah yang kita tempati dan seluruh wilayah di dunia telah bebas dari emisi karbon. Dampak yang terparah berasal dari Global Greenhouse Gas (GHG), emisi karbon yang dihasilkan oleh pesawat dan polusi-polusi dari berbagai industri. Oleh sebab itu, negara-negara maju dan berkembang, pemerintah daerah dan pemimpin industri berkomitmen untuk mencapai bebas emisi dalam wilayah mereka masing-masing. Dikarenakan, emisi karbon merupakan masalah yang krisis maka tiap negara telah menerapkan target pencapaian mereka terhadap emisi karbon. Indonesia sendiri menargetkan bebas emisi karbon pada tahun 2060.
Perubahan iklim merupakan masalah internasional, sehingga Sekretaris Jenderal PBB mendesak setiap negara anggota untuk fokus pada masalah tersebut dan menanggapinya secara serius. Akan tetapi, desakan tersebut tidak hanya ditujukan kepada negara-negara anggota saja, namun diperuntukkan pula bagi para investor, korporasi dan masyarakat sipil.
Pencapaian Net Zero Emissions memang tidaklah mudah. Bagi suatu negara berkembang seperti Indonesia, dibutuhkan dana yang sangat besar. Selain itu, diperlukan pula teknologi canggih yang mendukung, sumber daya manusia yang kompeten dan yang paling penting adalah kesadaran masyarakat baik secara individu, kelompok (korporasi) dan komunitas-komunitas yang ikut bergerak mengurangi penggunaan emisi karbon dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, kehadiran Indonesia dalam Konferensi PBB di Glasgow ini sangat diperlukan karena untuk mendapatkan dana dari negara-negara maju demi kelangsungan program bebas emisi karbon tersebut. Sedangkan dari pemerintah sendiri, menurut Menteri Keuangan menyediakan anggaran sebesar 4,1% bagi perubahan iklim.
Dari bidang industri sendiri, salah satu perusahaan batubara yaitu Indika Energy mengklaim bahwa tahun 2025, 50% pendapatan perusahaan berasal dari usaha non batubara. Sehingga tahun 2050 mereka memastikan akan mencapai bebas emisi karbon.
Sedangkan dari sektor kehutanan akan menekan deforestasi maksimal 200.000 Ha per tahun, upaya konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan, perlindungan dan restorasi kawasan gambut dan pemulihan hutan yang terdegradasi.
Membicarakan tentang hutan sangat berhubungan dengan Net Zero Emissions sebab kondisi hutan yang baik sangat penting untuk menyerap emisi karbon. Bagaimana dengan keadaan hutan di Indonesia? Apakah kondisinya sudah siap untuk menyerap emisi karbon?
Sekitar tahun 1900, sebagian besar wilayah Indonesia ditutupi oleh hutan terutama Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Hampir 84% luar daratan Indonesia ditutupi oleh hutan. Tahun 1950, dimulai pembukaan hutan untuk kepentingan pertanian terutama untuk budidaya padi. Kemudian tahun 1970, penebangan hutan komersial mulai dibuka secara besar-besaran. Awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan jangka panjang. Namun kenyataannya terjadi degradasi hutan hingga penggunaan lainnya. Tahun 1985, mencapai 20% berkurang tutup hutannya. Dan kecenderungan berkurangnya tutup hutan berlanjut terus hingga saat ini. Isu deforestasi menjadi isu yang membuat marah masyarakat Indonesia dan internasional.
Apabila Indonesia mau, Indonesia dapat berkaca kepada negara Bhutan. Bhutan adalah negara kecil yang berada di timur  Pegunungan Himalaya. 70% wilayah Bhutan ditutupi oleh hutan. Hutan merupakan sesuatu yang sakral bagi mereka sehingga mereka sangat menjaga eksistensi hutan. Keberadaan hutan menjadi investasi bagi mereka karena sebagian besar masyarakat adalah petani dan pengelola hutan. Mereka tidak terpacu pada pengembangan ekonomi industrial. Oleh sebab itu, 6 juta emisi karbon dapat diserap oleh hutan mereka yang luas.
Untuk menjaga eksistensi hutan, pemerintah Bhutan memiliki regulasi yang ketat. Sejak tahun 1999, Bhutan sudah melarang menggunakan ekspor kayu dan aturan terhadap penambangan, melakukan ekspor kayu, perburuan dan polusi untuk kawasan hutan. Selain itu, Bhutan juga melarang penggunaan plastik dan larangan merokok. Hal tersebut berlaku juga bagi wisatawan. Langkah lain yang dilakukan Bhutan untuk mengurangi emisi karbon adalah penggunaan transportasi yang rendah karbon, meminimalisir emisi rumah kaca melalui zero waste, membangun energi terbarukan, membangun peternakan serta pertanian yang cerdas bagi ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, strategi emisi rendah di perkotaan dan pedesaan.
Pada intinya, Bhutan hanya fokus pada pembangunan budaya, manusia dan alam. Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga alam juga sangat baik, terbukti Bhutan dapat menanam bibit pohon sebanyak 49.672 hanya dalam waktu 1 jam, pada Juni 2015 lalu. Program tersebut dapat berjalan karena ikut terlibatnya ratusan relawan.
Apakah Indonesia dapat mencapai hal tersebut?  Kita sebagai masyarakat individu memiliki kewajiban pula untuk membantu pencapaian Net Zero Emissions. Bebas emisi akan terjadi karena kita, oleh kita dan kita juga yang memiliki tanggungjawab terhadap lingkungan sebab lingkungan yang tercemar karena kita.
Apakah yang dapat kita lakukan? Dalam kehidupan sehari-hari, apabila ingin bepergian dalam jarak yang dekat, saya lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan untuk perjalanan dengan jarak yang cukup jauh, kendaraan umum menjadi alternatif saya. Dalam rumah tangga sendiri, saya selalu berusaha untuk tidak menggunakan barang-barang yang hanya sekali pakai, tidak membuang sampah di aliran sungai yang merupakan daerah resapan, menanam pohon di pekarangan rumah, tidak mengubur barang-barang elektronik (electonic waste) ke dalam tanah. Electronic waste adalah sampah barang-barang elektronik dimana barang-barang tersebut mengandung 1000 material yang sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya seperti logam-logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lain-lain). Bahan-bahan tersebut apabila terkubur dapat merusak ekosistem tanah sehingga daerah resapan menjadi tidak baik.  Selain itu, tidak membakar sampah, sebab asap yang dihasilkan dari pembakaran sampah selain menjadi polusi, asap tersebut beracun dan berbahaya.
Selalu terdoktrin dalam pikiran saya, bahwa saya berpijak di bumi dan sampai akhir hidup saya akan tetap berpijak di sini hingga jangan sampai saya merusak bumi yang semakin tua ini. Apabila bumi ini rusak dan punah, dimana lagi kita harus berpijak? Kita bukan Elon Musk yang memiliki ribuan trilyun dan dengan kekayaannya tersebut, ia dapat pindah ke planet lain. Kita harus menyadari itu. Saya juga sering berkampanye dalam ruang lingkup kecil dalam hal untuk menggunakan barang-barang recycle product, penggunaan plastik tidak hanya sekali pakai, mengurangi menggunakan kendaraan bermotor, tidak membuang sampah pada aliran sungai. Walaupun tanggapannya beragam, saya berusaha untuk tidak putus asa melakukannya. Perubahan iklim terjadi karena kita, bumi dapat kembali hijau dan bersih oleh kita dan pencapaian bebas emisi karbon untuk keberlangsungan kita semua. Jangann pernah sepelekan perubahan iklim, ini adalah isu yang paling utama untuk saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H