Mohon tunggu...
Nina F. Razad
Nina F. Razad Mohon Tunggu... Editor/Jurnalis -

Lahir di Jakarta, besar di Bandung dan jatuh cinta pada Kota Daeng, Makassar. Jebolan ESP Unpad yang "nyasar" menjadi Jurnalis Investigasi & Hukrim untuk Harian Jakarta. Kini bertugas sebagai Editor Website P2KKP (d/h PNPM Mandiri Perkotaan). Tergabung dlm komunitas Rose Heart Writers (RHW), melahirkan buku Kumpulan Cerita Hukum (Cerkum) Good Lawyer (2009) dan Good Lawyer S.2 (2010).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Capresisme

19 Juni 2014   01:05 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:12 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luar biasa Indonesia di tahun 2014. Baru saja kita menapaki bulan ke-enam, sudah banyak saja yang bisa dipelajari dari sekitar kita. Utamanya geliat “euforia berdemokrasi” yang melanda bangsa ini. Berhubung saya tinggal di area Tangerang Selatan dan bekerja di Jakarta Pusat, mungkin cakupan pengamatan saya cukup di dua kota, dua provinsi ini. Dimulai sejak merebaknya poster-poster Calon Legislatif (Caleg) yang ditempeli di pinggir-pinggir jalan, sejak akhir 2013. Memasuki 2014, semakin dahsyat banyaknya poster, bahkan spanduk berwajah Caleg, lengkap dengan atribut partai yang digadangnya, tertempel di kiri kanan jalan. Tak hanya jalan besar, tapi juga gang-gang perumahan. Wow.

Kehebohan mempromosikan Caleg tidak hanya terjadi di dunia nyata, di dunia maya juga sama hebohnya. Masyarakat kita yang semakin melek informasi karena koneksi internet semakin mudah ditemukan menambah serunya hidup. Media Sosial (Medsos), seperti Facebook (FB), Twitter, Path, Instagram, jadi sasaran mengekspresikan diri. Tak hanya mengekspresikan kehidupan pribadi, tapi juga menyatakan opini tentang sekitar mereka. Caranya pun beragam: ada yang menjaga dengan menggunakan bahasa santun, ada pula yang blak-blakan mengungkapkan pendapat tanpa sensor dari segi bahasa.

Namun, menurut saya pribadi, apapun cara yang digunakan, semua menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang bertumbuh-kembang secara sikap. Semua perbedaan cara dan gaya, semoga menjadi bekal bagi kita semua untuk mampu mencerna informasi yang dibaca. Sekaligus mengajari kita untuk memilah dan memilih, serta kelak bisa mengaplikasikannya dalam hidup masing-masing, sebijaksana mungkin.

Pemilu Legislatif telah terlewati. Sempat kita temukan pelbagai kisah tentang Caleg yang gagal meraih kursi di dewan daerah, bahkan pusat, stres. Namun biarlah itu dibahas oleh tulisan kawan saya yang lain. Karena maksud tulisan saya di sini “hanyalah” menangkap fenomena fanatisme terhadap Calon Presiden (Capres), yang saya gabungkan menjadi istilah “Capresisme”. Jujur, istilah ini saya kutip dari pengguna twitter bernama @Benzjava dalam kicauan twitter-nya bertanggal 12 dan 13 Januari 2013. Setahun lalu. Kemudian istilah “Capresisme” ini juga digunakan oleh akun @_Ir_Soekarno tertanggal 7 Mei 2014. Saya suka apa yang saya baca, dan saya kira istilah “Capresisme” ini cukup mewakili definisi fanatisme terhadap Capres, jadi izinkan saya menggunakannya juga. :)

Menurut saya, fenomena Capresisme dalam kehidupan sosial sungguh menakutkan. Tak terbayangkan sebelumnya, kok ya bisa sih hanya karena berbeda memilih Capres, silaturahmi dan hubungan pertemanan bisa terputus, bahkan bercerai. Are you kidding? Menggelikan dan konyol. Namun, itu betulan terjadi lho! Pada 12 Juni 2014 lalu, saya menulis begini di wall FB saya: “Berseberangan dukungan politik bikin putus hubungan, bahkan bercerai? Serius? Ada yang beneran mengalami? Absurd banget.” Banyak kawan saya yang menanggapi status tersebut. Alhamdulillah, hampir semua kawan yang menanggapi (berkomentar) menyayangkan jika itu sampai terjadi.

Tadinya saya sudah mau lega, tapi eh lha kok terus salah seorang kawan saya menulis begini di kolom komentar, “Ada bun. Temen aku lawyer nanganin kasusnya. Kemarenan kita ngebahas ini lohh.. Berawal dr pileg kmrn itu sbnrnya permasalahannya. Beda haluan politik akhrnya pisah ranjang. Pasutri itu kmrn nyaleg jg dr parpol yg berbeda. Ujung2nya gugat cerai dehh.. Weird but so true.”

Astaghfirullahaladzim. Okelah, mungkin permasalahan yang dihadapi Pasangan Suami Istri (Pasutri) tersebut tidak sesimpel dugaan kita–para “penonton” ini. Namun jika benar bahwa ini adalah akibat belum matangnya kita memaknai demokrasi, sehingga perbedaan pilihan, perbedaan pendapat, malah memperuncing permasalahan, duh, ya sungguh disayangkan toh? Saya hanya bisa menjawab, “Ya ampuuuun… gila. Seriusan itu, Mbakyu? Asli lebay banget itu Pasutri. Hadeeehhh.. Kayak Capresnya bakal tanggung jawab aja ya..” Hmm..

Dan, tahukah, kawan. Akhirnya saya malah mengalaminya sendiri. Haha.. Ya, salah satu kawan menghapus saya dari pertemanannya di list FB-nya, gegara kami tidak sependapat. Dia mendukung Capres A, sementara saya mendukung Capres B. Sebelum kejadian, ia melontarkan komentar bernada menyindir cenderung mengejek Capres yang saya dukung. Jujur, saya tidak emosi membacanya. Lha, buat apa emosi? Berbeda pilihan, berbeda pendapat, itu semua biasa kan?

Hanya saja, ucapan pedas kawan saya itu cukup saya jawab dengan kalimat diplomatis, “Hehehe.. silakan punya pendapat soal itu. Semakin seseorang diejek, semakin mulia dia di mata Allah. Tanggapanku simpel aja, dia ngga sebodoh yg ditunjukkan. Capres B itu ahli strategi. Itu aja yg bisa aku katakan. Eeeiitsss tp aku bukan juru bicara, apalagi Timses dia ya. Aku cuma ucapkan apa yg aku tau aja ttg dia.” Dan, beberapa menit kemudian, dia men-delete saya dari pertemanan. Saya hanya tertawa memaklumi. Semoga kawan saya segera sadar bahwa perbedaan itu indah, karena bisa mem-filter mana yang bijak dan mana yang kerdil. Yang sudah bijak, Alhamdulillah, keep it going. Dan mana yang kerdil, ayolah segera belajar lagi agar jadi makin bijak. Simpel dan bersih.

Lalu, tadi malam, seorang kawan baik saya, seorang jurnalis media cetak Nasional berbahasa Inggris di Jakarta, di wall facebook-nya menuliskan status menarik. Sayapun tergoda untuk mengomentarinya. Ia menulis begini: “Please, please stop trying to convince me on who will I vote for on election this year. I’ve already made my choice but I prefer to keep it to myself.” — Tolonglah berhenti mencoba meyakinkan siapa yang akan mendapatkan suara saya di Pemilu tahun ini. Saya sudah menetapkan pilihan, tapi saya lebih suka merahasiakannya.

Saya langsung setuju dengan keluhannya: “It’s crazy. people has turned crazy! Even I had to lose a friend (she deleted me) just because we had a different opinion about our choices. and THAT, my bro, was stupid really.” — Gila betul. Masyarakat sudah menggila! Bahkan saya harus kehilangan seorang kawan (dia menghapus saya) hanya karena kami berbeda pendapat soal pilihan. dan ITU, adikku, sungguhlah bodoh.

Lebih lanjut, saya tidak akan membahas strategi Tim Pemenangan Capres No.1, pun Capres No.2, yang sudah begitu sukses membuat masyarakat terpecah menjadi tiga “jenis”: pendukung Capres  No.1, pendukung Capres No.2, tidak mendukung siapa-siapa (sebagai Golput, ataupun sengaja tak menentukan pilihan sampai nanti di depan kamar coblos. Mereka kini populer dengan istilah “Swing Voters”). Soal itu, biarkan dibahas oleh kawan-kawan lain yang lebih paham sepak terjang dan kehebatan Tim Pemenangan para Capres.

Saya hanya ingin bertanya kepada Indonesia: ada apa sih dengan kita saat ini? Sudah lupakah masyarakat kita pada betapa berharganya silaturahmi? Sudah lupakah kita pada azas kekeluargaan? Sudah lupakah kita pada kepribadian bangsa yang diabadikan menjadi motto “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap jadi satu)?

Alhamdulillah-nya, sejumlah besar kawan saya, yang sangat memahami bahwa perwujudan demokrasi bukanlah dengan cara intimidasi dan pemaksaan (harus mendukung pilihan tertentu), tak jemu melemparkan imbauan positif.

Salah satunya dilakukan oleh www.BatikIndonesia.com. Terima kasih, Kawan! ;)

[caption id="attachment_329656" align="aligncenter" width="480" caption="kampanye damai batikindonesia.com"][/caption]

Sungguh, Capresisme 2014 ini menyebabkan kita cenderung lupa pada kesantunan dan lupa pada toleransi dalam pergaulan/pertemanan. Begitu ketahuan beda pilihan Capres, kawan berubah jadi lawan. Yang ada malah jadi saling sindir, saling ejek, saling hina, saling berkomentar negatif, saling membanggakan Capres pilihannya dan merendahkan Capres lainnya. Tak hanya Capres “lawan” diejek, pendukung-pendukungnya juga direndahkan. Reaksi lebay(berlebihan). Astaghfirullah, bukankah kita sebaiknya tidak berlebih-lebihan dalam hal apapun? Di sisi lain, para Capres juga pastinya tidak menginginkan terjadinya hal ini–euforia politik berubah menjadi gejolak sosial. Saya yakin itu seratus persen.

Jadi, kawan – handai taulan, hentikanlah kegilaan Capresisme ini. Bukankah akan terlihat (maaf) bodoh, ketika Pilpres berakhir, tiada lagi yang tersisa di hidup kita selain penyesalan. Memilih (Capres) adalah hak konstitusional setiap warga negara. Malahan bisa dibilang, hak “prerogatif”, tak boleh diganggu-gugat ataupun dipengaruhi, apalagi dipaksa berubah, oleh orang lain.

Selamat menggunakan hak pilihnya 9 Juli 2014 nanti, Kawan. Semoga Presiden RI berikutnya, siapapun dia, adalah pemimpin negeri yang amanah dan mampu mengantarkan bangsa ini kepada persatuan, kesejahteraan, ketertiban dan keamanan. Aamiin..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun