Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Ayah Harus Menjadi Badut...

7 Juni 2010   12:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lama kemudian...

Dari kejauhan aku menatap nanar sosok 'asing' itu. Sosok seorang laki-laki berpakaian warna-warni dan berperut gendut yang disumpal busa, pakaian khas seorang badut! Laki-laki itu sedang mengipas-ngipas peluh menggunakan sebuah wig merah. Ia duduk di samping temannya yang berpenampilan sama dan sedang menghitung lembaran uang ditangannya. Kelihatannya mereka baru saja selesai melakukan sebuah atraksi. Karena sudah tak tampak lagi kerumunan orang-orang di sekeliling mereka. Riasannya pun tampak mulai terhapus, sehingga membuat mataku segera mengenali wajahnya....

Jderrrr!!! Rasanya bagai tersambar petir di siang bolong, aku masih tertegun di tempatku berdiri. Kukerjap-kerjapkan mata, berharap pandangan ini tak salah melihat. Namun, tungkai-tungkaiku terasa kian melemas. Dengan bibir gemetar, terlontar sebaris kata. "Ayah...???"

A... apa benar itu ayah? Tanya batinku berulang-ulang. Tapi.... aku tak mampu lagi mengingkari, karena mataku telah bersaksi! Maka sedetik kemudian, secepat kilat kutinggalkan tempat itu dengan berurai air mata. Sungguh, aku tak sanggup lagi! Hatiku benar-benar hancur!!

"May....?" Suara Kak Bayu yang lembut membuyarkan lamunanku. "Kamu masih shock ya?"

"Hah? I... iya, Kak... A...ada apa?" Aku gelagapan dibuatnya. Cepat-cepat jemariku menghapus linangan air mata yang masih saja mengalir bak air sungai. Berusaha bersikap sewajar mungkin, namun gagal!

Kak Bayu tak mengulang pertanyaan. Dari sikapku, mungkin ia sudah tahu jawabannya. Cowok itu hanya mengangsurkan dua helai tisu kepadaku.

"Makasih, Kak" ucapku dengan suara parau.

Kak Bayu mengangguk sambil tersenyum. Sesaat kemudian dialihkannya kemudi menuju ke pinggir badan jalan. Lalu ia memberhentikan mobil di sana. Sepertinya ia sedang tak berkonsentrasi.

Sejenak Kak Bayu menghela napas panjang, namun matanya masih memandang lurus ke depan. "Maaf.... Maafin aku, May ," ujarnya tiba-tiba.

"Maaf apa, Kak?" Aku menoleh tak mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun