Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku Hanya Ingin Mengatakan, Aku Mencintaimu...

16 April 2010   06:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:46 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Apa yang kamu rasakan ketika kamu mencintai seseorang, di saat semua orang beranggapan bahwa ia tidak pantas menerima cintamu? Dan apa yang kamu rasakan ketika cintamu kepadanya masih dan akan selalu terpatri jauh di relung hati, namun saat ini kamu hanya mampu memeluk nisannya? Semua itu.... aku merasakannya.....

Dia.... kini ia telah menuju kehidupan yang abadi... tak ada lagi kekelaman dunia fana bersamanya, tak ada lagi kebenaran buatan manusia memenjarakannya, tak ada lagi.... kini hanya kebenaran hakiki dari Sang Pemilik Kehidupan yang berhak menyentuh ruhnya...

Dalam hidupku, aku tak pernah menyangka harus melewati episode terberat sekaligus terindah yang kurasakan ini. Aku pun masih tak pernah menyangka Tuhan menganugerahkan cinta yang tak biasa yang harus mampu kulewati, cinta pertama sekaligus cinta terakhirku.

Sebelum menjalani sebentuk cinta itu, aku hanyalah seorang gadis manja dan keras kepala yang bergelimangan harta orang tua tanpa memikirkan hidup orang lain. Semua keinginanku harus terpenuhi, tak boleh ada kata penolakan apapun. Namun aku sangat bertanggungjawab pada pendidikanku. Ketika akan mengerjakan tugas akhir, aku ingin penelitian studi psikologi-ku menjadi suatu hal yang berbeda dari teman-teman yang lain. Dengan pengaruh ayahku yang merupakan salah seorang konglomerat terpandang dan pamanku, seorang pejabat yang cukup berpengaruh di negara ini, akupun bisa melalui sebuah akses yang sangat sulit ditembus, apalagi hanya untuk sekedar dijadikan sebagai objek penelitian -  sebuah penjara di suatu pulau terpencil, untuk meneliti aspek psikologis seorang terpidana mati !

Sebenarnya papa dan mamaku menentang keras keinginanku, namun mereka sadar kekeraskepalaanku tak akan bisa dihentikan meski mereka tetap tak mengizinkanku. Ketika aku meminta agar tak ada satupun pengawal yang ikut ke pulau itu - karena aku tak ingin narasumber penelitianku nantinya merasa tak nyaman karena mengetahui latar belakangku - mereka pun akhirnya hanya bisa bersikap pasrah. Aku gembira! Aku merasa menang! Walaupun aku tahu pengawal-pengawal kiriman papaku akan tetap 'bergentayangan' dan mengawasiku meski tak terlihat oleh mata kepalaku.

Setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan prosedur yang lumayan pelik, aku akhirnya berhasil menemui si narasumber yang telah dipilih oleh pihak penjara sebagai narapidana yang paling kooperatif.

Elang...., sebutnya sambil menjabat tanganku saat pertama kali bertemu. Tuhan...! Detik itu juga aku langsung mengadu pada-Nya bahwa aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Oh, mengapa makhluk setampan ini akan menjadi seorang terhukum mati? Detak jantungku sudah berdetak tak karuan. Usianya hampir 30-an. Kulitnya yang sawo matang membungkus tubuh kekarnya yang tinggi menjulang. Meski tak klimis sama sekali seperti para bintang sinetron, namun rahangnya yang kokoh itu membuatnya terlihat sangat jantan. Tetapi... hei... siapa bilang dia cukup kooperatif? Ketika aku memulai penelitianku, jelas sekali ia terlihat ogah-ogahan dan pelit informasi. Penilaian awalku terhadapnya (fisik, maksudku) yang semula mencapai angka 8 dalam skala 10, langsung merosot drastis mencapai angka 4! Benar-benar menyebalkan! Ia benar-benar membuang waktuku! Pada hari-hari awal penelitian, sikapnya tak begitu bersahabat dan tak betah berlama-lama menjawab pertanyaanku. Malah pada suatu ketika, ia malah melontarkan sebuah pertanyaan yang menohok batinku. Anda selalu bertanya tentang ini-itu, padahal... tahu apa anda tentang hidup? Ucapannya pelan tapi sudah cukup membuatku kehilangan kata-kata. Aku lelah menghadapinya, aku muak....! Cepat-cepat aku pergi dari hadapannya dengan berlinangan air mata.

Langsung saja aku mengeluh pada kepala penjara yang bijaksana itu. Kukatakan padanya kalau aku cukup kesulitan dan hampir menyerah menghadapi laki-laki tersebut, dan kalau bisa, aku meminta narasumbernya diganti saja. Sekalipun ia tampan, tapi bukan berarti aku bisa menerima sikapnya tadi. Mau tak mau, sang kepala penjara pun terpaksa ikut turun tangan. Syukurnya, setelah itu sikap lelaki bernama Elang tersebut lebih melunak dari sebelumnya, paling tidak, ia sudah mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan kalimat-kalimat yang lebih panjang. Walau tak terucap, aku tahu tampaknya ia sedikit menyesal karena pernah membuatku menangis. Ia berubah menjadi lebih kooperatif. Maka itu, sesudahnya aku pun mulai mengetahui kasus apa yang membuatnya harus menjalani sebuah hukuman - yang ternyata tak seharusnya ia jalani !

Aku didakwa telah melakukan hal yang tak pernah kulakukan. Aku dituduh membunuh ayah kandungku sendiri, istri keduanya dan dua orang anaknya. Ada orang yang ingin memanfaatkan ketidakharmonisan antara hubunganku dengan ayah. Malam itu, penyakit gagal ginjal ibuku semakin parah dan beliau ingin sekali bertemu ayah untuk terakhir kalinya. Dengan berat hati kutinggalkan ibu di rumah sakit karena aku harus menemui ayah meskipun sudah tengah malam. Tapi betapa kagetnya aku, ketika melihat ayah telah sekarat bersimbah darah dengan sebuah pedang samurai, koleksi pribadinya, yang telah tertancap di tubuhnya. Saat itu aku masih sempat melihat sekelebat bayangan seseorang berpakaian hitam dan bersarung tangan seperti ninja melarikan diri melalui jendela yang terbuka lebar. Aku sempat berusaha mengejar orang itu, namun karena aku tak tega melihat ayah yang kesakitan, tanpa pikir panjang aku langsung mencabut pedang samurai itu dari tubuhnya. Tiba-tiba seorang laki-laki dan perempuan - yang belakangan baru aku tahu bahwa mereka adalah supir dan pembantu rumahtangga di keluarga ayah - datang bersama para warga dan pihak yang berwajib. Aku terjebak pada situasi di mana aku sedang memegang samurai berlumuran darah dan tentu saja sidik jariku yang menempel di sana. Selanjutnya... kamu bisa menebak sendiri bagaimana jalan ceritanya kan?

Tapi kenapa kamu gak membela diri, Mas....? Mungkinkah ini sebuah konspirasi?

Entahlah..., menurut pengacaraku memang seperti itu. Ayahku adalah seorang pengusaha sekaligus seorang ketua partai. Kemungkinan musuh-musuh politiknya yang membuat skenario ini. Banyak bukti-bukti yang mengarah pada sebuah konspirasi besar dan aku dikambinghitamkan karena mereka memang sudah banyak yang mengetahui bahwa hubunganku dengan ayah memang tidak baik sejak dulu. Dan kemungkinan besar supir dan pembantu rumahtangga ayahku ikut terlibat. Namun, semua menjadi semakin samar ketika yang mengatur semua skenario ini adalah sebuah pengaruh besar di negara ini.

Ya Tuhan...., ini pasti sangat sulit kamu dijalani...

Hmmm.... mulanya memang sangat sulit aku menerimanya, Cahaya. Tapi kujalani saja sidang demi sidang dengan harapan yang tak pernah pupus, bahkan sudah sampai pada tahap Kasasi. Namun... keadilan itu tak pernah datang untukku. Sekarang aku hanya mengharapkan keputusan dari Peninjauan Kembali, apakah aku masih mendapatkan kesempatan hidup lebih lama atau harus berakhir di pelaksanaan eksekusi? Tapi.... aku sudah siap menjalani takdir ini, karena saat-saat yang terberat justru telah kulalui...

Saat-saat seperti apa itu, Mas?

Ketika ibuku meninggal dunia dan aku tak dapat mengantarkannya ke peristirahatan terakhir, tapi aku belajar untuk mengikhlaskan semuanya, Cahaya. Hmm...kalau boleh aku meminjam kata-kata guru ngajiku, Pak Kus, bahwa ikhlas itu adalah pelajaran yang tersulit dalam hidup, namun bila kamu mampu menjalaninya dalam takdirmu, kamu akan menemukan kebahagiaan hidup yang sejati.....Ah, bagaimana mungkin seorang napi seperti aku dengan lancangnya mengucapkan kata-kata ini pada seorang gadis anak konglomerat terpandang?

Mas Elang! Kamu sudah tahu aku....

Sebelum kamu datang pun, aku sudah mengetahuinya. Siapa yang tak kenal ayah dan keluargamu? Mungkin orang lain bisa terkecoh dengan penyamaranmu, tapi aku tidak... Elang tertawa pelan. Aku benar-benar merasa sangat bodoh. Tapi entah mengapa aku sangat menyukai suara tawanya yang lepas - yang pertama kali aku dengar - dan nantinya akan selalu aku rindukan selamanya.

Semua proses untuk menyelesaikan tugas akhir itu pun berusaha aku nikmati karena aku bertekad tak akan menunjukkan kecengenganku lagi. Hingga pada satu titik, aku baru menyadari bahwa Elang pun telah terjebak pada sebuah perasaan yang seharusnya tak terjadi. Cinta. Ya Tuhan, Ia mencintaiku... Tapi....ia tak pernah mengatakannya, aku hanya mendapat informasi itu dari seorang sipir penjara yang secara tak sengaja pernah mendengar percakapan Elang dengan seorang napi lain yang dianggapnya sebagai ustad sekaligus ayahnya sendiri, Pak Kus. Oh... saat itu aku benar-benar tak mengerti harus bagaimana mengatur perasaanku, pantaskah aku merasa bahagia - karena ternyata perasaanku yang terpendam ini tak bertepuk sebelah tangan? Ataukah aku harus menepisnya dan bersikap seolah-olah tak pernah ada yang bergemuruh di hatiku ketika mendengar namanya? Aku benar-benar kacau! Aku pun telah terjebak pada perasaan ini.....

Namun sungguh malang, entah bagaimana caranya dan bahkan tanpa aku ketahui melalui siapa, kabar tentang kedekatan antara aku dan Elang sampai juga ke telinga kedua orang tuaku. Papa sangat berang dan memaksa aku kembali ke rumah melalui pengawal-pengawalnya. Aku benci sekali ketika helikopter itu sudah membawa tubuhku meninggalkan pulau terpencil tersebut. Aku terus meronta-ronta dan menangis sejadi-jadinya, tak rela terpisahkan dengan cinta sejatiku dengan cara seperti ini. Sampai-sampai aku harus dibius agar tak nekad menerjunkan diri dari helikopter itu.

Berhari-hari aku dibuat agar tetap tak sadarkan diri dengan cara dibius. Mungkin terdengar kejam, namun orangtuaku punya alasan sendiri. Mereka tahu bila aku dalam kondisi sadar, aku takkan bisa dicegah untuk kembali ke pulau itu. Pembenaran dari mereka - paling tidak, aku dibius hanya untuk sementara sampai saatnya tiba. Saatnya tiba? Ya, saat di mana pelaksanaan eksekusi Elang akan dilakukan. Hari ketika aku dijemput paksa dari pulau itu, merupakan hari di mana kabar tentang keputusan Peninjauan Kembali (PK) kasus Elang ditolak. Harapan Elang untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya telah terkubur! Aku bisa merasakan bagaimana hancurnya hati Elang saat itu, meski hanya dari alam bawah sadarku. Ya, aku sangat bisa merasakannya....! Karena walaupun dalam kondisi tidur - efek dari bius itu, aku tetap bisa bertemu dengan Elang walau hanya dalam mimpiku. Elang memelukku dengan erat dan seolah tak ingin ia lepas lagi. Aku menangis di dadanya, tak terima dengan takdir yang sepertinya tak pernah mau berpihak pada cinta kami berdua. Sesaat kemudian, Elang membisikkan sesuatu di telingaku..... Jaga dirimu baik-baik, Cahayaku... karena kelak di keabadian, aku - Elang, akan mengepakkan sayapku untuk mencarimu, Cahaya yang selalu menyinari relung jiwaku.... Setelah itu, dalam mimpi tersebut Elang melepaskan pelukannya dan menghilang entah ke mana, meninggalkan aku yang hanya mampu memanggil-manggil namanya sambil terus menangis dan menangis.....

Di sini, di depan nisanmu, lima tahun setelah kepergianmu.... aku belum juga mampu memusnahkanmu dari hati dan memori otakku, Elang. Bahkan sepucuk surat milikmu yang dikirimkan oleh kepala penjara untukku setelah eksekusi itu terjadi, masih terus kusimpan rapi. Sebuah surat yang sudah usang, namun sangat berarti dalam hidupku. Kalaupun surat ini kelak akan hancur lebur, namun ingatanku akan selalu meresapinya dalam hatiku, dalam jiwaku.... Kau tahu? Aku sudah hapal di luar kepala apa isinya, dan setiap tahun, disetiap aku menziarahi pusaramu pada hari jasadmu dikembalikan ke bumi, aku akan membacakannya lagi, membayangkan bahwa kamulah yang mengucapkannya untukku....

Cahaya......

Tak tahu dari mana aku harus memulai kata-kata ini..... seperti tak tahunya aku bagaimana rasa ini menggetarkan jiwaku. Kemarin adalah hari di mana keputusan PK-ku ditolak, dan tak lama lagi aku akan menjalani eksekusi itu. Jujur, sejak dulu tak ada rasa takutku menjalani semua itu, karena aku tahu aku akan menemui Tuhanku yang akan memberikan keadilan yang seharusnya menjadi hakku. Namun yang aku takutkan justru ketika aku harus pergi, di saat aku belum sempat mengatakan ini. CAHAYA..., AKU MENCINTAIMU..

Jaga dirimu baik-baik, Cahayaku... karena kelak di keabadian - aku, Elang - akan mengepakkan sayapku untuk mencarimu, Cahaya yang selalu menyinari relung jiwaku....

(Dari sebuah pulau di mana aku akan selalu membawa cintamu, 12 Maret 2005)

ELANG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun