Mohon tunggu...
Lia Agustina
Lia Agustina Mohon Tunggu... pegawai negeri -

bukan manusia sempurna....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita si Kalender Usang

13 April 2010   16:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:49 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Creeek!

Tanggal 29 Desember 2009

Pukul 07.00

Jemari lembut Tasya menyobek kertas berangka 28 dari tubuhku, meremasnya lalu membuangnya di tempat sampah. Angka 29 sudah terpampang di depan sebentuk wajah cantik pemilikku. Dari ia bangun tidur tadi, senyum manisnya sudah mulai mengembang. Ia terlihat gembira. Benar-benar gembira. Sambil bersenandung pelan diambilnya handuk dan langsung saja ia melangkah ke kamar mandi.

Heiii…apa dia tahu bahwa tugasku sudah hampir selesai? Aku sudah usang dan akan segera pensiun beberapa hari lagi. Ah, mana mungkin dia ikut bersedih dengan ketidakhadiranku lagi di ruangan ini nantinya! Tapi…tak apa lah…. memang beginilah siklus hidupku….

Tak lama kemudian, ia pun sudah keluar dari kamar mandi dan segera berpakaian. Ia terlihat terburu-buru, karena tak ada tanda-tanda ia akan sarapan dulu. Setelah sedikit berdandan di depan cermin - karena tanpa berdandan pun ia sudah cantik - lalu ia mengambil tas dan memakai sepatu. Ia tak membawa buku-buku, jelas ia tidak kuliah hari ini.

[caption id="attachment_195720" align="alignleft" width="217" caption="Ilustrasi : www.myniceprofile.com"][/caption]

Ups! Tasya menepuk jidatnya. Mungkin masih ada yang terlupa. Cepat-cepat ia mencari sesuatu yang tersimpan di dalam laci lemari pakaian dan langsung mengambilnya. Tasya mengeluarkan sebuah benda mirip sebatang korek api dari dalam kemasan plastik. Tampak dua strip merah tergambar pada benda tersebut. Wajah Tasya mendadak sendu, seperti ada yang berkecamuk di dalam batinnya saat itu. Namun setelah dihelanya napas panjang, secepatnya Tasya menyelipkan benda tersebut ke dalam tasnya. Tanpa membuang waktu lagi ia segera menghilang di balik pintu kamar kos berukuran 3 x 3 yang masih tampak berantakan itu. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu telah terkunci.

Pukul 15.00

Brakkk!

Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Sosok Tasya muncul dengan wajah pucat dan disusul masuk oleh seorang laki-laki muda, yang sudah setahun ini jarang terlihat olehku, terakhir mungkin tiga bulan yang lalu. Raut muka laki-laki itu terlihat tegang. Sambil menutup pintu dengan pelan, laki-laki itu mendekati Tasya yang terbaring lemas di atas kasur. Tasya menutupi wajahnya dengan bantal, namun tubuhnya tergoncang-goncang. Tasya menangis.

Tasya….., panggil laki-laki itu dengan suara parau.

Jadi…, gimana dengan aku?balas Tasya dengan mata nanar.Di mana tanggungjawabmu, Kemal?

Maafkan aku…..Laki-laki itu tampak tertunduk. Aku gak mungkin menolak keinginan orang tuaku, Tasya….. Kepulanganku kali ini semata-mata hanya untuk memenuhi semua itu…

Tega sekali kalian memperlakukan aku seperti ini! Suara tangis Tasya semakin menjadi.

Laki-laki itu memeluk Tasya dengan erat, seperti berusaha menenangkan tubuhnya yang terus meronta. Tetapi tak lama kemudian, laki-laki itu bangkit dan hanya menatap sekilas ke arah Tasya sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu. Tasya tak punya daya lagi untuk mengejarnya, ia ditinggalkan dengan air mata yang masih terus berlinang. Gadis itu pun akhirnya terlelap karena lelah menangis.

***

Creeek!

Tanggal 30 Desember 2009

Pukul 08.00

Dengan wajah sembab, Tasya masih sempat mengoyak lembaran angka 29 di tubuhku. Sinar mentari pagi yang menembus kisi-kisi tirai jendela, tampaknya tak mampu membuat raut wajah Tasya lebih cerah. Ia terlihat lemas. Kasihan dia, dari kemarin sore ia tertidur dan kelihatannya tak punya selera makan sedikit pun. Ia hanya termangu, menatap dengan pandangan kosong bingkai-bingkai foto yang berjejer di atas meja di samping kasurnya. Diraihnya sebuah foto dengan tiga orang objek di dalamnya. Ya… foto itu selalu terpampang di kamarnya. Tasya, laki-laki itu dan seorang perempuan - masih berseragam putih abu-abu - tampak sedang tertawa ceria. Entah apa yang dipikirkan Tasya saat itu.

Tok! Tok! Tok!

Sebuah ketukan di pintu kamar, membuat Tasya terperanjat. Diletakkannya lagi foto tersebut di tempat semula, lalu ia bergegas membuka pintu. Seperti berharap seseorang akan muncul dari balik pintu itu.

Pagi Tasya….,sapa sesosok gadis manis yang muncul di hadapan Tasya. Usia gadis itu tampaknya sama dengan Tasya. Dengan wajah kecewa, Tasya langsung berbalik dan membiarkan gadis itu masuk ke kamarnya. Tasya menekan-nekan remote TV seolah-olah berusaha tak peduli dengan kehadiran gadis yang rasanya pernah kulihat itu. Tapi di mana ya?

Aku bawakan bubur ayam. Sarapan dulu ya…, ucap gadis itu lembut.

Makasih, aku udah kenyang, Irene…., sahut Tasya tak bersemangat. Matanya yang sayu masih terus memperhatikan layar TV yang terus-terusan berganti channel.

Tasy…

Pulanglah… aku sedang ingin sendiri….

Kita tak pernah menyangka akan begini…

Dari SMA dulu kau sudah tahu kan kalau aku sangat mencintai Kemal? Hhhh….London…. Satu tahun yang lalu, semua sudah dimulai kan? Restu orang tua telah didapat. Besok adalah sebuah babak baru buat kalian. Semoga berbahagia…..

Tasya…

Pulanglah, Irene…Aku benar-benar sedang ingin sendiri…Tak perlu susah-susah menghiburku seperti ini.Aku baik-baik saja….

Tapi…. besok kuharap kau datang….

Hening. Tasya tak menjawab. Bahkan sampai gadis manis itu melangkah meninggalkannya dan menutup pintu kamar, Tasya tetap diam. Ia terpaku menatap gambar-gambar di layar kaca yang sebenarnya tak diperhatikannya sama sekali. Namun sebuah benda mirip sebatang korek api masih saja tergenggam erat di balik jemari tangannya sejak kemarin sore.

Pukul 23.00

Tak seperti biasanya, Tasya tampak bersiap-siap untuk keluar. Ia tak pernah keluar terlalu malam seperti ini, tapi entah mengapa ia terburu-buru sekali berpakaian. Lima menit kemudian, ia sudah menghilang di balik pintu kamar.

***

Pukul 02.30(dini hari, seharusnya sudah memasuki tanggal 31 Desember 2009, namun angka 30 masih melekat ditubuhku)

Beberapa jam lagi tugasku akan selesai, pagi-pagi nanti sebelum berangkat ke Puncak untuk acara tahunbaruannya, Tasya pasti akan menyobek lembaran 30 ini dan akan berganti menjadi angka 31. Lalu setelah itu… aku benar-benar akan pensiun besok. Ya…. aku hanya akan menjadi sebuah kenangan. Tapi tak apalah, aku juga bahagia sudah bisa bertemu dengan gadis yang cantik dan baik seperti Tasya….

Tapi… tiba-tiba pintu kamar terbuka. Tasya masuk sambil cepat-cepat kembali menutup pintu, entah dari mana ia tadi. Wajahnya terlihat pucat. Lalu gadis itu terduduk diam di samping kasurnya, menatap kembali foto yang tadi pagi juga dipandanginya. Rautnya benar-benar dingin dan kaku… bibirnya gemetaran seolah ingin membuncahkan tangis. Cepat-cepat dihidupkannya TV dengan volume suara sedang, seperti ingin menutupi suara isak tangisnya. Dan oh….. kenapa? kenapa dengan tangannya? Seperti berdarah! Lihat..! Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Oh tidak….! Itu sebuah pisau yang berlumuran darah!

Maafkan aku!ucap bibir Tasya lirih, sebelum akhirnya tubuhnya pun ambruk karena sebuah sayatan di  nadi dari pisau berdarah tersebut.

Tiba-tiba, semuanya telah menjadi gelap…..

Pukul 08.25

Entah bagaimana ceritanya, aku baru tersadar bahwa di dalam ruangan 3×3 itu sudah penuh dengan petugas-petugas berseragam yang berseliweran. Mungkin aku betul-betul shock melihat pemandangan dini hari tadi. Wajah-wajah asing yang menyembul di dekat pintu terus mendesak dengan penuh rasa ingin tahu, namun petugas-petugas berseragam berusaha menertibkan mereka untuk menjauhi ruangan yang telah dibatasi oleh garis kuning bertuliskan ‘Police Line’ itu. Hanya beberapa orang dengan rompi Labfor yang diperbolehkan berada di kamar tersebut selain para petugas.

Aku benar-benar tak mengerti apa maksud dari semua ini, tapi dari sorot lampu kameramen beberapa televisi nasional, aku pun segera tersadar bahwa sebuah tragedi besar telah terjadi semalam. Namun di balik riuh rendah suara para warga yang ingin melihat apa yang terjadi, aku masih sempat mendengar sedikit obrolan ibu-ibu yang bergosip ria di luar jendela kamar kosan.

Wah, saya rasanya masih gak percaya mbak Tasya ngebunuh pacar dan sahabatnya sendiri ya. Udah gitu pake acara bunuh diri segala…..

Ah, denger-denger karena dia udah dihamili duluan ama pacarnya…. Padahal baru dua hari kemaren lho pacarnya itu pulang lagi dari London, tau-taunya……eh, si pacar malah mau kawin ama sahabatnya! Katanya sih dijodohin ma orang tuanya….. biasalaaaah, orang kaya ya maunya ma orang kaya juga… Mbak Tasya kan orang biasa…

Hussh… tapi mbak Tasya itu kan baik, cantik, ramah lagi….

Iya, tapi gak mungkin lagi jadi mantu kamu, wong dianya udah mati….

Heh..heh…sssssttt!!! Udaaah jangan pada berisik aja…!!!Kalo ntar malem gentayangan, pada ngacir lu….

Pukul 23.55

Suara detik jam dinding menemani aku yang kesepian. Kesibukan orang-orang dalam keramaian tadi pagi hingga sore hari sudah tak tampak lagi. Ruang kamar itu benar-benar sepi, namun sisa-sisa aktivitas para petugas berseragam tadi masih tetap seperti waktu terakhir ruangan ini mereka tinggalkan.

Suasana keramaian di luar sana begitu kontras dengan suasana kamar ini. Semua orang akan menyambut pergantian tahun dengan bahagia dan harapan baru yang dimulai esok pagi, dan lima menit lagi tugasku usai. Tapi.. lihatlah tubuhku….! Angka 30 saja masih melekat, bagaimana lagi dengan lembaran angka 31 di belakangnya? Ah, aku betul-betul terkatung-katung! Dari begitu banyaknya orang yang lalu lalang sejak tadi pagi, tak ada satu orang pun dari mereka yang berniat membantuku menyelesaikan tugasku. Hanya Tasya yang selalu ingat untuk menyobek lembaran-lembaranku dan membuat aku selalu merindukan senyuman manisnya.

***

Creeek!

Oh…, angka 30-ku tersobek! Siapa yang melakukannya? Apa….? Oh, jemari itu, dingin sekali…! Wajahnya…, oh…. sebuah sosok yang sangat kukenal! TASYA..!!!! Ia sangat pucat dan sudah tak kasat mata…. namun aku masih dapat melihat senyumnya, meski tampak jelas ada semburat kepiluan yang tersirat di sana….

Maaf… aku melupakanmu… kau tak berhak terkatung-katung begini seperti aku. Kau sudah menyelesaikan tugasmu… Terima kasih telah menemaniku selama setahun ini…. Terima kasih….”Suara Tasya yang lembut layaknya desir angin, seolah-olah membisikkan sebuah salam perpisahan. Aku benar-benar terharu, ia belum melupakanku…

Tiba- tiba di luar sana langit pun semarak dengan letupan kembang api dan suara terompet yang bersahut-sahutan menyambut pergantian tahun.

Creeek!

Lembaran angka 31 itu pun terkoyak dan melayang-melayang sendiri, sebelum akhirnya menyentuh lantai yang masih penuh dengan noda darah yang belum lama mengering…..

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun