Mohon tunggu...
Maghfiroh
Maghfiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Nama Saya Maghfiroh, saya seorang mahasiswa aktif di perguruan tinggi negeri Cirebon. Saya menyukai banyak hal, diantaranya adalah membaca, menulis fiksi dan non fiksi, bernyanyi, dan belajar bahasa korea.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembar Abu, Teriakan dari Sebuah Surat

22 Oktober 2024   09:01 Diperbarui: 22 Oktober 2024   09:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada yang lebih menyakitkan dari rasa sakit yang tumbuh akibat dampak penghianatan. Saat rasa cinta itu telah hilang akanku patahkan hatimu berkali-kali. Aku ingin kamu juga belajar bagaimana sakitnya ditinggalkan.

Kelabu, kala suram tak jua menemukan bayangan. Bayangan yang terpantul itu miliku sedangkan kamu adalah cahayanya. Aku kehilangan validasi atas keberadaan diriku sendiri, mencari dengan menolehkan pandangan secara kasar sambil berkata, "di mana bayanganku? Di mana keberadaan diriku?" setidaknya begitulah aku saat keputusan yang kamu ambil adalah pergi.

Rumah kaca yang selama ini aku idam-idamkan! Dengan sejumlah prestasi yang sakral untuk disentuh dan sengaja disimpan untuk dipajang di dalamnya. Hengh! Luka! Muak! Itu yang aku rasakan saat ini ketika aku melihatnya.

Begitu menusuknya rahasia yang kamu sembunyikan. Begitu mengenaskannya keberadaan diriku yang bahkan tak bisa menjaga dirimu. Sakit! Menyeruak seolah merobek kenangan baik yang seharusnya menjadi permanen. Aku tidak mengerti, berapa banyak lagi kata yang harus aku ketik demi memuaskan rasa hausku, menggambarkan rasa kecewa ini.

Ketika rasa ketidakmengertian ini membuat rasa dahaga dan hausku menusuk dan mencoba berpikir keras bagaimanapun caranya aku harus bisa menggambarkan rasa kecewa ini.

Terlalu banyak hal baik yang kamu berikan, menjadikan rasa kecewa ini seolah terkucil dan tak sebanding dengan penuturan awal, karena terlalu banyak hal baik yang kamu berikan. Tapi! Dinding kepercayaan itu, runtuh! Bahkan dengan prasangkaku yang tak pernah terduga, runtuhnya dinding itu karena kapak besi yang ada ditanganmu.

Aku tidak mengerti dengan epilog yang kamu hadirkan. Tapi satu hal yang aku mengerti, kita sama-sama pernah mendengar, "hati-hati dengan teman penulis. Karena jika kamu membuat sakit hatinya kamu akan abadi dalam setiap karya-karyanya." Pertanyaan mengenai mengapa aku tak pernah membuatkanmu sebuah karya. Karena kamu selalu sempurna dimataku. Kamu tidak pantas dilahirkan sebagai rasa sakit dari seorang penulis. Dan jawaban ini ...? Mengapa jawaban ini baru bisa aku temukan setelah terciptanya karya ini.

Aku belajar, ternyata rasa mencintai itu benar. Apa yang benar? Cinta buta dan tuli? Atau bodoh? Atau semua ini hanya arogansiku saja, yang merasa puas akhirnya aku menemukan sisi burukmu? Penuturan yang membuatku merasa hina.

Lantas siapa lagi yang harus aku percaya? Setelah ternyata menaruh kepercayaan itu sebesar ini rasa sakitnya. Pelukan yang biasa menjadi hadiah saat aku ketakutan, aku tak pernah menyadarinya ternyata itu adalah pelukan berduri. Duri yang beracun! Sampai-sampai membuatku terhipnotis dan beragan kalau duri itu adalah sebuah bulu selimut lembut yang menghangatkan.

Aku marah! Sangat marah! Pada dirimu dan diriku sendiri.

Ternyata benar! Aku setuju, abu-abu sangat cocok denganmu.

"AAAAAAAAaaaaaaaa ...!!!!!" tolong! Tolong mengerti! Tolong menangislah. Keluarkan air matamu itu dan sesali kepergianku. Aku ..., aku kecewa .... sangat kecewa ..., bagaimana jika waktu tak bisa menyembuhkan rasa kecewaku?

Aku kecewa padamu. Dan pada diriku sendiri.

Aku yakin karya ini sebentar lagi akan berubah menjadi surat cinta.

Beberapa dinamika kala aku mencoba berpikir tentang keputusanku untuk pergi. Kata-kata ini selanjutnya akan menjadi untaian rindu kala kita yang tak bisa lagi saling menyapa.

Iya, ...

Di halaman ini aku berniat untuk pamit dari dirimu. Maaf karena aku tidak sebaik itu untuk menerima semuanya. Meski aku tahu, diri yang melakukan tentu menjadi samudra kecewanya. Dibandingkan dengan rasa kecewaku yang mungkin tak sampai setetes jika dibandingkan.

Kalimatku mulai berat. Namun entah kenapa aku sangat yakin kamu bisa mengerti.

Kepercayaanku runtuh. Ketakutan yang tak bisa dijelaskan ini membuatku tersiksa setengah mati.

Aku bergulat dengan diriku sendiri. aku bergulat dengan harapanku sendiri. Kepercayaan yang aku buat ....

Aku kehabisan kata-kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun