Perjuangan yang sangat melelahkan bagi para penikmat perfilman Indonesia setelah 2 tahun lamanya, film 'Barakati' akhirnya ditayangkan di bioskop. Bahagia rasanya ketika menyaksikan sisi dari sejarah tentang Kerajaan Majapahit yang dilukiskan dalam film 'Barakati'.
Film ini dirilis di tahun 2014 lalu, tetapi sempat tertunda 2 tahun dan akhirnya tayang di tahun 2016. Film ini merupakan salah satu film yang bergenre sejarah yang menceritakan pertalian teka-teki sejarah Majapahit di Buton.
Ada beberapa aktor papan atas seperti Fedi Nuril dan Acha Septriasa serta Jono Amstrong yang membintangi film ini. Fedi Nuril yang berperan sebagai Abdul Manan seorang arkeolog yang berusaha membaca jejak sejarah Kerajaan Majapahit, Acha Septriasa berperan sebagai Wa Ambe yaitu gadis asli keturunan Buton yang merupakan anak dari salah satu pemangku adat setempat, Jono Amstrong berperan sebagai Gerry, peneliti sejarah dari Eropa yang membawa lontar kisah jejak Mahapatih Gajah Mada Kerajaan Majapahit.
Abdul Manan merupakan anak keturunan darah Buton yang di tinggal di Jogja. Ayahnya berasal dari Jawa sedang Ibunya merupakan keturunan bangsawan di Kerajaan Buton. Atas permintaan bantuan dari Gerry untuk menjelaskan isi lontar yang dibawanya, Abdul Manan mencoba menelusuri jejak Mahapatih Gajah Mada yang kemudian membawanya hingga sampai ke Buton.
Saya kemudian teringat apa yang di katakan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa hakikat sejarah di batasi oleh dua pengertian yaitu objektivitas dan subjektivitas. Tak bisa di hindarkan objektivitas sejarah melibatkan kepentingan tertentu seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Begitu pun kondisi status sosial budaya Abdul Manan dalam film ini yang cukup kontras, ini disebabkan dari garis keturanan yang berbeda, ibunya yang kemudian menikah dengan keturunan bangsa lain yang membuatnya kurang diterima. Awal kepulangannya ke Buton dikarenakan ia ingin mengabarkan kepada keluarganya bahwa ibunya sedang sakit keras dan ingin kembali ke Buton.
Di sini saya kemudian melihat pesan-pesan kearifan lokal yang masih di pegang teguh oleh masyarakat Buton bahwa sejauh apapun mereka pergi, rasa ingin kembali ke tanahnya akan terus hidup di hati mereka (Barakati). Pada titik ini saya kemudian tersentuh, pikiran saya melayang jauh ke kampung halaman pula. Inilah salah satu bentuk pesan nilai kearifan lokal yang digambarkan.
Setiap nilai kearifan lokal senantiasa bersemayam dalam suatu budaya (culture) yang memiliki sistem nilai (pesan moral) dan menjadi pegangan teguh suatu masyarakat. Budaya yang mengandung nilai kearifan lokal, ini yang menjadi suatu konstruksi sejarah yang melapisi masyarakat. Lapisan-lapisan tersebut dalam perjalanan sang waktu akan tersingkap. Mereka yang kemudian menyerap berbagai pesan moral itu membuka tabir masa lalu. Begitu pun dengan masyarakat Buton yang digambarkan dalam film ini mencoba mengangkat pesan-pesan moral lewat tokoh Abdul Manan dalam film ini.
Namun, kondisi yang membuat Abdul Manan tidak diterima di keluarganya di Buton, membawanya bertemu dengan Gerry dan Wa Ambe. Inilah awal perjalanannya menelusuri jejak Mahapatih setelah ia menerima tawaran mengungkap misteri lontar yang di bawa oleh Gerry itu. Wa Ambe yang merupakan putri pemangku adat di Buton tersebut menjadi sahabatnya untuk menelusuri kisah tentang Mahapatih Gajah Mada di Buton. Penelusuran kisah Mahapatih kemudian dilakukan dengan melalui informasi folklore (cerita rakyat setempat) dan artefak.
Penghubungan ini sulit dihindari karena masyarakat Indonesia menilai tinggi dimensi tersebut. Namun, ini menjadi salah satu ciri khas kebiasaan masyarakat Indonesia. Pendapat lain menyebutkan Gajah Mada turunan Mongol. Ia terlahir sebagai anak anggota pasukan Mongol yang menetap di Jawa dan lalu menikahi perempuan lokal.
Sementara dalam folklore masyarakat lokal Buton meyakini bahwa histeriografi yang dibangun oleh masyarakat Buton dan Liya tentang keberadaan Mahapatih Gajah Mada tersebut, karena diturunkan secara tutur ratusan tahun silam secara turun temurun dari leluhur mereka. Masyarakat Pulau Buton meyakini bahwa makam Patih Gajah Mada berada di atas sebuah bukit di Kelurahan Majapahit, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan.
Seperti yang di katakan Sufyan Al Jawi, Penulisan Sejarah suatu bangsa merupakan kewajiban dari bangsa itu sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarahnya. Ilmu sejarah itu dinamis, tidak statis.
Kedinamisan dalam ilmu sejarah itu lamban, dan bisa berubah apabila ditemukan bukti-bukti baru yang akurat. Sesuai dengan kaidah historiografi, yaitu: ilmiah berdasarkan fakta bukan spekulasi, jujur tidak ada yang ditutupi dan netral terlepas dari kepentingan politik/agama tertentu.
Namun saya cukup puas menyaksikan film ini, setidaknya cukup memberikan umpan penyemangat bagi generasi hari ini untuk kembali melihat masa lalu (sejarah) dan film ini menjadi suatu pemantik romantisme sejarah antara Buton dan Majapahit sehingga menumbuhkan sikap adil dalam melihat bukti sejarah dengan senantiasa menghargai setiap sejarah lokal yang ada.
Penulis: Firno Ardino
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI