Mohon tunggu...
Firmino Botan
Firmino Botan Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba dengan harapan. Dan berharap untuk terus mencoba

Kesuksesan bukan hanya milik orang-orang yang pintar, melainkan juga milik mereka yang tekun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjadi Pribadi yang Otentik: Kesadaran dan Tanggung Jawab

11 Mei 2023   20:47 Diperbarui: 11 Mei 2023   20:52 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menjadi Pribadi Yang Otentik: Kesadaran dan Tanggung Jawab

Tinjauan Filosofis Eksistensialisme Jean Paul Sartre

Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya (kesadaran), muncul di dunia dan menentukan dirinya (kebebasan dan tanggung jawab). 

Menjadi pribadi yang otentik merupakan impian dan dambaan semua manusia. Menjadi pribadi yang otentik berarti seseorang memiliki keselarasan atau keseimbangan atau lebih tepatnya kematangan dalam dimensi emosi, spiritual, intelektual, tindakaan, afeksi dan lain-lain. Maka seluruh peziarahan hidup manusia tidak lain dan tidak bukan adalah penyelarasan seluruh dimensi yang ada dalam dirinya. Ketika seseorang telah mencapai keselarasan tersebut ia dapat dikatakan sebagai pribadi yang otentik, yakni dapat dipercaya, asli dan sejati. 

Di samping itu, ke-otentikan diri tidak dipahami sebagai sesuatu yang statis. Bahwa kita tidak perlu memperjuangkannya setelah kita sudah mencapainya. Tetapi ia harus diperjuangkan secara terus menerus untuk dipertahankan dan dikembangan. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk yang dinamis, yang selalu terbuka pada perubahan dan perkembangan, dimana dapat mempengaruhi kesejatian dirinya. Manusia yang menyadari ke-berada-annya di dunia ini dalam bingkai kebersamaannya dengan yang lain pun turut memberi dampak pada pembentukan kesejatian dirinya. Hal ini yang digeluti oleh para filsuf eksistensialis, yang merefleksikan manusia dalam kaitannya dengan fenomena hidup sehari-hari. Sebab, Eksistensialisme memberikan tekanan yang sangat kuat pada yang konkret dan yang real.

Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, dan bereksistensi yaitu menciptakan dirinya secara aktif, berbuat menjadi dan merencanakan.[i] Disamping itu, bereksistensi harus diartikan secara dinamis, artinya menciptakan dirinya secara aktif. Dengan kata lain, manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Maka eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konret dan pengalaman eksistensial.[ii] Tujuannya adalah membuka ilusi kehidupan sehari-hari dan meminta perhatian manusia pada suatu pandangan yang serius mengenai tanggung jawab mereka.[iii] 

 Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Perancis di abad 20 adalah salah satu pemikir Eksistensialis yang membicarakan manusia sebagai subjek yang eksistensial. Menurutnya, Eksistensialisme juga merupakan filsafat tentang 'ada', tetapi dia menolak untuk membakukannya menjadi satu-satunya hakikat pemikiran. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dia menyebut 'etre-en soi' terhadap objek kesadaran manusia dan 'etre-pour soi' terhadap kesadaran manusia itu sendiri. Tujuan kesadaran manusia menurut Sartre adalah menjadi 'etre-en soi- etre-pour soi' atau 'kesadaran yang penuh pada dirinya.

 Dua hal yang mau ditelaah penulis dalam pembahasan ini adalah soal Kesadaran dan Tanggung Jawab, yang secara khusus diperhatikan oleh Sartre sekaligus mau dihubungkan dengan pembentukan karakter manusia. Tetapi sebelum masuk pada inti pembahasan, hendaklah kita mengenal secara singkat biografi dari tokoh tersebut.

 A. Biografi Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre merupakan tokoh eksistensialisme yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris. Ayahnya bernama Jean Baptiste seorang perwira Angkatan Laut Prancis dan ibunya Anne-Marie. Ketika berusia 15 bulan ayahanya meninggal karena menderita penyakit usus. Sejak saat itu Sartre diasuh oleh ibu dan kakek-neneknya., yaitu Charles dan Louise Schweitzer. Charles (kakek Sartre) adalah seorang guru bahasa dan pengarang buku bahasa Jerman.[iv] Figure kakeknya ini memberi pengaruh bagi Sartre dikemudian hari. 

Sejak kecil Sartre memiliki tubuh atau fisik yang lemah, sehingga menjadi cibiran sahabat-sahabatnya. Oleh karena itu, ia adalah pribadi yang suka menyendiri dan menghabiskan waktunya untuk melamun dan berkhayal. Namun, hal ini berbeda dengan kemampuan intelektualnya. Sartre dikenal sebagai anak yang cerdas, dan mempunyai semangat tinggi dan ketekunan dalam belajar. Pada usia yang ke tujuh belas tahun, ia memulai enam tahun studinya di Universitas Sarbone untuk mendapat aggregation, suatu ujian yang memberi peluang karier akademis dalam filsafat. Pada 1928 ia gagal dan parahnya mendapat peringkat terakhir dikelasnya. Namun, dari penundaan itu ia bertemu Simone de Beauvoir, seorang tokoh feminis yang menjadi kekasih seumur hidup. Mereka sering bersama dan menjadi kekasih intelektual juga. Sartre lulus sebagai peringkat pertama pada ujian tersebut dan Simone de Beauvoir peringkat sesudahnya. Pada tahun 1929 mengikuti wajib militer. Ia sempat ditahan Nazi pada 21 juni 1940 hingga akhirnya melepaskan diri pada maret 1941.[v]

Kesehatan Sartre mulai menurun ketika Sartre berusia 70 tahun. Sartre merasa kakinya sangat sakit jika digunakan untuk berjalan dengan jarak lebih dari satu kilometer, di samping itu mata Sartre sudah mulai kabur hingga hampir buta. Pada 15 April 1980, di usia yang ke-74, Sartre meninggal dunia setelah sempat dirawat dirumah sakit selama satu bulan.[vi] 

B. Kesadaran dan tanggung jawab

 Kesadaran merupakan hal fundamental yang ada pada manusia sebagai makhluk yang bereksistensi sekaligus co-eksistensi (ber-ada bersamaan dengan ada yang lain). Kata kesadaran dalam bahasa latin adalah Conscientia. Istilah ini memiliki arti yang menarik, sebab ia dibentuk dari dua kata "cum" (dengan) dan "scientia" (tahu, pengetahuan). Jadi, kesadaran boleh dikatakan sebagai "dengan penge(tahu)an".[vii] Di samping itu, kesadaran juga diartikan sebagai pengalaman akan hal-hal dan kegiatan-kegiatan dari kesadaran seseorang seperti pencerapan, representasi, pikiran, perasaan, emosi, dan hasrat. Atau kemampuan untuk melihat dirinya sendiri dan menjadi objektif tentang dirinya sendiri.[viii] Pengertian ini sebenarnya dalam bingkai mencapai pemahaman yang utuh untuk mengenal diri sendiri secara baik dan mendalam (dalam kesadaran). Oleh karena itu, permenungan rasionalitas Cartesian, khususnya Descartes yang menegaskan "Cogito Ergo Sum "Saya berpikir maka saya ada", dibalik secara ekstrem oleh kaum eksistensialis dengan pernyataan: "Saya ada, maka saya berpikir".[ix] Fokusnya bukan lagi apa yang dipikirkan, melainkan siapa yang memikirkan. Penekanannya terhadap subyek yang ada (ber-eksistensi) dalam kesadarannya.

 Pengakuan atas 'keberadaan' manusia sebagai subyek yang bereksistensi terletak pada kesadaran yang langsung dan subyektif, yang tidak dapat dimuat dalam sistem atau dalam suatu abstraksi. Tidak ada pengetahuan yang terpisah dari subyek yang mengetahui. Maka, kelompok eksistensialis membedakan antara eksistensi dan esensi. Sementara  Sartre dengan lebih tegas menyatakan bahwa "eksistensi mendahulai esensi"(L'existence prcde l'essence). Eksistensi menekankan bahwa segala sesuatu itu ada (memiliki aktualitas). Sementara esensi menekankan apa-an sesuatu (apa sebenarnya sesuatu itu sesuai dengan kodrat inherenya).[x] Singkatnya, pernyataan Sartre ini lebih menegaskan subyektivitas manusia yang sadar akan keberadaan dirinya. Atau lebih mudahnya, manusia akan memiliki dan memahami esensi jika ia telah eksis.

 Dalam bukunya Eksistensialism is Humanism (Eksistensi adalah Humanis), di situ Sartre mempertentangkan ide yang berlaku sejak dahulu mulai dari Plato dan terutama Kristianisme yang mengatakan "esensi mendahului eksistensi". Jalan pikir ini menurut Sartre, dilandaskan pada konsep atau bayangan Tuhan sebagai pengrajin. Mirip dengan pandai besi. Sebelum ia menciptakan sabit, pertama-tama ada "ide sabit" (esensi) di kepalanya. Setelah itu barulah ia bekerja dan menghasilkan sabit yang ril (eksistensi). Keberatan dari Sartre adalah bila manusia bukan ciptaan Tuhan, berarti tidak ada esensi apapun yang mendahuli eksistensinya. Dalam bahasa yang lebih sulit, karena ada manusia tanpa esensi, maka adanya bersifat kontingen (tidak mutlak).  Maka sifat dasar ada manusia adalah kebebasan total.[xi]

 Dengan pemahaman Sartre di atas, dapat dipahami bagaimana eksistensialisme membuat sebuah tesis yang penting yakni, "tidak ada yang namanya kodrat manusia, tidak ada sesuatu yang mengawang-awang bernama esensi yang darinya bisa ditarik tujuan hidup manusia. Karena di mata Sartre, manusia adalah makhluk yang ada-nya untuk meledakan sejenis kategori dan defenisi yang selama ini memenjarakannya. Harkat terdalam manusia adalah fakta bahwa ia ada. Hal ini mau membedakan manusia dari binatang dan benda mati lainya, ada-nya manusia ditandai oleh kebebasannya.[xii] Kaum eksistensial berusaha menemukan kebebasan dengan menunjukkan suatu fakta, bahwa benda-benda (obyek) tidak mempunyai makna tanpa keterlibatan pengalaman manusia. Manusia merupakan titik pusat dari segala relasi, sebagai subyek dengan pengalamannya. 

 Dengan demikian, kebebasan adalah inti pokok manusia. Manusia yang bebas selalu menciptakan dirinya. Manusia yang bebas dapat mengatur, memilih dan dapat memberi makna pada realitas. Bagi manusia, eksistensi memiliki makna keterbukaan, berbeda dengan benda lain yang  keberadaannya sekaligus esensinya. Dalam kata-kata Sartre "man is nothing else but what he makes of himself (Manusia tidak lain adalah apa yang ia hasilkan dari dirinya sendiri.).  Inilah asas esensial dalam filsafat eksistensialisme, yang disebut oleh Sartre sebagai 'subjektivitas'. Eksistensi manusia selalu memiliki kebebasan sejauh tindakannya mendatangkan manfaat atau berguna bagi eksistensi hidupnya. Manusia harus selalu siap bereskistensi dan mengisi nilai sendiri bagi eksistensi hidupnya. Di samping itu, manusia juga harus sadar, bahwa kematian setiap saat siap merenggut eksistensi hidupnya.

 Lebih lanjut, di sisi lain manusia secara individual mempunyai kebebasan untuk mencipta dan memeberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada dengan merancang dirinya sendiri. Namun, harus disadari bahwa, ia tidak bisa sendirian, atau tidak bisa dilakukan perseorangan saja, tetapi harus berlangsung dalam konteks intersubyektivitas, yaitu bersama dengan yang lain. Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre menemukan bahwa orang lain merupakan syarat untuk eksistensinya sendiri.[xiii] Dengan kata lain, aku semakin menyadari keberadaanku berkat ada-keberadaan yang lain (eksistensi sekaligus co-eksistensi). Maka dalam konteks ini, Sartre berusaha membuat suatu aturan moral. Sebab, setiap orang terikat dalam relasi dengan orang lain, maka kebebasannya sebagai manusia harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain. Atau dengan kata lain, kebebasan seseorang selalu dibatasi oleh kebebsan orang lain. Kebebasan adalah ketidak-bebasan. 

 Tetapi, menurut Sartre, hakikat setiap relasi antar manusia ternyata adalah konflik. Dimana orang lain membuat saya menjadi obyek atau 'saya' meng-obyek-kan orang lain. Saya mengobyekan orang lain, dan orang lain mengobyekan saya. Yang terjadi kemudian adalah konflik dan keterasingan. Barangkali konsep yang sangat radikal 'aku' dan 'engkau' sesungguhnya merupakan satu konflik, karena 'aku' akan selalu menjadi subyek yang meng'engkau'kan (mengobyekkan) orang lain.

 Namun, bagi Sartre, manusia yang sadar adalah manusia yang bertanggung jawab. Bila manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu bukan berarti bahwa ia hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, tetapi juga pada semua manusia yang lain. Pendapat Sartre tentang eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan situasi keberadaan manusia di tengah manusia. Lebih dari itu, Sartre hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh semua manusia sebagai manusia. Sebab eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia dan sesama yang lain. Dari konsep ini muncullah ciri hakikat keberadaan manusia. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia. Atau dengan kata lain, nilai manusia adalah ketika ia berpartisipasi dalam kemanusiaan universal.

 C. Catatan Kritis dan Relevansi

 Eksistensialisme merupakan filsafat yang tidak mudah, sebab tidak ada tempat untuk disalahkan. Hal ini disebabkan oleh penekanan yang sangat kuat terhadap subyek, atau subyek menjadi titik centrum refleksi dan pembentuk realitas. Tidak ada pihak luar yang memutuskan perasaan kita, hidup kita, atau siapakah diri kita. Titik sentral persoalan dalam eksistensialisme adalah eksistensi manusia. Dan eksistensi manusia itu diperoleh manusia itu sendiri, tanpa ada bantuan dari orang lain, manusia bersandar sepenuhnya pada pilihan-pilihannya.

 Namun, dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa, Sartre, disamping menekankan subyek sebagai pusat untuk menciptakan realitasnya sendiri, di sisi lain, ia juga menekankan kesadaran subyek terhadap keberadaan yang lain. Dan lebih dari itu, walaupun setiap subyek itu memiliki kebebasan total, tetapai ia tetap dalam kesadaran akan keberadaan orang lain juga memiliki kebebasan yang sama. Dimana saya dapat meng-obyek-kan yang lain, tetapi diri saya juga dapat di-obyek-kan oleh mereka.

 Maka untuk menjembatani dua ekstrem tersebut, Sartre menekankan tanggung jawab. Hal ini saya lihat sebagai sebuah etika relasional inter-subyektif. Dimana kita bebas untuk bertumbuh menjadi diri sendiri yang otentik, tetapi selalu dalam penghargaan terhadap subyek yang lain. Dimana pribadi-pribadi yang lain juga bebas untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak manapun. Pemikiran Sarte ini masih relevan bagi kita di zaman sekarang ini, yang ditanadai oleh masyarakat yang sangat menekankan kebebasan bagi setiap pribadi. Namun, kebebasan yang ditawarkan oleh Sartre bukan kebebasan yang egoistik, melainkan kebebasan yang selalu dalam kaitan dengan kebebasan kebebasan orang lain. Jika hal ini disadari dan diwujudkan dalam tindakan nyata, maka nilai-nilai kemanusiaan universal dapat terwujud dalam kehidupan bersama.

catatan akhir:

[1] Yunus, Firdaus, "Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme": Jean Paul Sartre, Jurnal Al- Ulum, Volume. 11, Nomor 2, (2011) hlm  Hal. 267-282

[1] Lorens bagus, Kamus Filsafat,(Jakarta: Gramedia, 1996), hlm 187

[1]  Linda Smith & William Raper, Ide-ide, Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang  (Yogyakarta: Kanisius, 2000)  hlm77-78

[1] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)  hlm. 71.

[1] https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/sartre-biografi-dan-pemikiran/. Di akses pada Senin, 04 Mei 2020, pkl 12.05.

[1] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm 314.

[1] Armada Riyanto, CM, Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-hari, (Yogyakarta: Kanisius, 2013) hlm 98.

[1] Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm 453.

[1][1] 2 FX. Mudji Sutrisno, dan Budi Hardiman (ed)., Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992) hlm.100

[1] Lorens bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm 183.

[1] A. Setyo Wibowo, Basis, Eksistensi Jean Paul Sartre, No 01-02, Tahun ke-69, 2020, hlm 5-6

[1] A. Setyo Wibowo, Basis, Eksistensi Jean Paul Sartre, No 01-02, Tahun ke-69, 2020 hlm 6

[1] Yunus M. Firdaus, Kebebasan Dalam Filsafat Eksistensialisme: Jean Paul Sartre, Jurnal Al- Ulum

Volume. 11, Nomor 2, (2011) hlm  270-274.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun