Permenunganku adalah cintaku
Permenungan atau kata kerjanya merenungkan merupakan hal yang sulit untuk dipraktikkan oleh sebagian orang-orang zaman ini. Kesulitan atau kendala seseorang untuk merenungkan dapat dilihat dari dua faktor penyebab. Penyebab pertama adalah faktor eksternal (di luar dirinya).Â
Hal ini berkaitan dengan tawaran-tawaran dunia yang semakin menarik dan menghibur ketimbang harus menghabiskan waktu untuk sendirian dan bermenung.Â
Bahkan, merenungkan dilihat sebagai hal buruk dan tidak bermanfaat, kuno dan tidak kontekstual dengan perkembangan dan perubahan zaman. Bahwa, perkembangan saat ini sudah lebih menjanjikan untuk seseorang memperoleh kebahagiaan.
Faktor penyebab kedua adalah faktor internal (dari dalam diri sendiri). Orang berpikir untuk apa harus merenungkan. Harus berdiam diri di suatu tempat yang sunyi, sepi, dan sendirian. Bukannya kebahagiaan juga bisa diraih tanpa harus dengan merenungkan.Â
Bahwa, saya bisa mengapai kebahagiaan dengan caraku sendiri, melalui kemampuan intelektual, harta atau kemewahan, menjalin persahabatan dan relasi yang spesial dengan seseorang yang saya cinta. Itu semua bisa mendatangkan kebahagiaan. Untuk apa harus merenungkan?
Untuk apa harus merenungkan? Atau mengapa harus merenung? Bukannya membuat kita murung sendirian. Itulah pertanyaan sekaligus jawaban kesal dari Sebagian orang yang malas tahu atau bahkan memandang tidak penting soal merenungkan.
Merenungkan memang hal yang tidak mengasyikkan, jika dipandang sepintas. Dan merupakan hal yang sulit diterapkan. Mengapa sulit.Â
Karena kita harus berani menarik diri dari keramaian, rutinitas dan kesenangan-kesenangan semu yang selama ini kita genggam. Merenungkan dapat juga dikatakan sebagai suatu proses internalisasi.Â
Internalisasi adalah suatu usaha yang kita lakukan secara sadar untuk melihat kembali pengalaman atau pun kejadian-kejadian yang kita alami yang telah berlalu dan mencoba menemukan makna seta nilai yang terkandung dari setiap pengalaman itu.
Hidup kita, dengan segala pengalaman yang kita alami adalah harta yang sangat berharga. Â Banyak orang yang menyia-nyiakan setiap pengalaman yang ia alami terlewat begitu saja.Â
Ada orang yang hanya menerima untuk melihat pengalaman baik atau manisnya saja, dan menolak atau takut untuk melihat dan merenungkan pengalaman pahit yang pernah ia alami.Â
Tetapi ada juga yang berani untuk melihat semua pengalaman hidupnya, entah yang pahit mau pun yang manis.Â
Orang yang berani melihat semua pengalamannya secara utuh adalah seorang yang kuat, bahkan bisa dikatakan seorang yang dapat bertumbuh menjadi pribadi yang Tangguh dan kuat. Sebab, ia dapat mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik.
Untuk mencapai semuanya itu, tidak bisa lepas dari kemauan untuk merenungkan setiap pengalaman hidup. Ada sebuah adagium yang berbunyi, "pengalaman adalah guru terbaik". Bahkan, Albert Enstein pun mengatakan, satu-satunya pengetahuan adalah pengalaman.Â
Memang benarlah demikian. Tetapi itu bukan berarti kita menerima pengalaman begitu saja. Pengalaman itu menjadi guru terbaik dan pengetahuan, ketika kita mampu merefleksikan, atau seperti yang dikatakan sebelumnya, yakni menginternalisasi.Â
Karena dengan merenungkan dan menginternalisasi pengalaman tersebut, kita mampu untuk menemukan nilai-nilai baik yang tersirat di balik pengalaman tersebut.
Maka, janganlah sia-siakan setip pengalaman hidup kita. Jangan biarkan pengalaman-pengalam itu berlalu begitu saja. Setiap pengalaman yang kita alami, apa pun itu, entah yang membahagiakan atau yang sedih, selalu memiliki tujuan, makna seta nilai yang mulia.Â
Oleh sebab itu, cobalah untuk tenang dan mencoba untuk merenungkannya. Karena hanya dalam ketenangan dan keheninganlah kamu dapat menemukan harta yang paling berharga untuk diri dan hidupmu, yang tidak bisa dirampas oleh orang lain.Â
Dan hanya dan melalui jalan permenunganlah kamu akan semakin mengenal siapa dirimu, dengan segala kekuatan, kelebihan serta kekurangan dan kelemahan.
Permenungan atau merenungkan setiap pengalaman hidup merupakan jalan pada kehidupan yang otentik. Hidup tidak layak dihidupi hanya karena kita hidup.Â
Hidup bisa menjadi lebih bermakna, ketika kita mampu untuk merenungkannya. Filsuf bijak Yunani Kuno, Aristoteles mengatakan, hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tidak layak untuk dihidupi. Sebab, pada hakikatnya, hidup selalu membicarakan pada kita arti terdalam dari kehidupan ini.
Permenungan menjadi kesempatan bagi kita melihat dan menemukan arti terdalam dari kehidupan tersebut. Bisa juga menjadi kesempatan untuk menertawakan diri sendiri, menangisi diri sendiri, atau bahkan bangga pada diri sendiri.Â
Merenungkan hidup itu indah. Karena kita semakin menyadari warna-warni kehidupan yang sudah kita lewati. Ia juga adalah seni, karena kita menemukan keindahan, nilai serta makna yang terkandung didalamnya.Â
Pandor Meum, Amor Meus: Permenunganku adalah cintaku, kiranya menjadi habitus dalam upaya menemukan harta berharga untuk diri dan hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H