Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk (SP) Tahun 2010 merilis laporan jumlah suku bangsa di Indonesia mencapai 1.300 suku.Â
Suku Batak menempati peringkat ketiga dengan jumlah populasi terbanyak, mencapai 8.466.969 jiwa atau setara 3,58 persen dari total penduduk Indonesia.
Mengenali masyarakat suku Batak cukup mudah karena mereka masih menyematkan marga di belakang namanya hingga saat ini, khususnya pada dokumen resmi.
M.A. Marbun & I.M.P Hutapea, 1987, sebagaimana dikutip dalam Jonar Situmorang, 2023, bahwa definisi marga adalah nama persekutuan dari orang-orang bersaudara, sedarah, seketurunan menurut garis bapak, yang mempunyai tanah sebagai milik bersama di tanah asal atau tanah leluhur.
Marga adalah family, bangsa (yang) terdiri dari orang yang dari satu keturunan, satu golongan silsilah, golongan-golongan silsilah yang masing-masing mempunyai nama sendiri.
Penyematan marga pada masyarakat suku Batak juga dapat dilihat dalam rekam sejarah perjalanan perjuangan bangsa Indonesia. Pada era pra kemerdekaan kita mengenal perjuangan Sisingamangaraja XII bermarga Sinambela dalam melawan Belanda. Lalu pada masa kemerdekaan ada Jenderal A.H Nasution, Brigjen D.I Panjaitan, Lafran Pane, T.B Simatupang dan lainnya. Hingga saat ini kita akrab dengan sosok Luhut Binsar Panjaitan yang kerap menghiasi pemberitaan di berbagai media.
Marga bagi masyarakat suku Batak adalah identitas yang diwariskan dari Ayah (patrilineal) dan wajib disebutkan dalam setiap perkenalan pertama kali dengan sesama Batak.
Sebagaimana umpasa atau syair yang dituturkan secara turun temurun yang berbunyi "Jolo tinitip sanggar bahen huru-huruan, jolo sinukkun marga asa binoto partuturan" (artinya harus menanyakan marga dahulu supaya diketahui hubungan kekerabatan).
Dalam jurnal Melampaui Kedirian Identitas Batak Melalui Ritual dan Sejarah Masyarakatnya Atas Inspirasi Levinas, Habeahan, Simanjuntak & Marta (2020) mengemukakan penyebutan marga  dilakukan untuk mengetahui garis keturunan setiap suku Batak. Kemudian digunakan untuk mengetahui sapaan yang harus digunakan dalam hubungan kekerabatan. Seperti opung, bapaktua, mamaktua, inanguda, bapauda, tulang, nantulang, namboru, dan amangboru.
Adapun contoh bagaimana penyebutan marga di atas dapat dilihat pada percakapan berikut ini:
- A: Bah, halak kita do hape, marga aha do, Lae?
- (Orang kita Batak ternyata, marga apa?)
- B: Ido, au marga Sihaloho sian Parbaba Samosir. Molo Lae marga aha?
- (Iya, saya marga Sihaloho dari Parbaba Samosir. Kalau kamu marga apa?)
- A: Tulang hu do hape, omak boru Sihaloho. Molo au marga Situmorang.
- (Paman ku ternyata, karena Mama boru Sihaloho. Kalau aku marga Situmorang)
- B: Ido ateh, horas ma Bere. Jadi, Namboru i Sihaloho aha do?
- (Begitu ternyata, salam kenal lah Bere. Kalau tante itu, Sihaloho apa)
- A: Molo Omak, Sihaloho Sinapuran do, Tulang.
- (Kalau Mama boru Sihaloho Sinapuran, Paman)
- B. Molo au Sihaloho Parhambing Sinaborno, Siapudan do Hami
- (Kalau aku Sihaloho Parhambing Sinaborno. Si Bungsu nya kami)