Mohon tunggu...
Firman Adi
Firman Adi Mohon Tunggu... Insinyur - ekspresi sederhana

arek suroboyo yang masih belajar menulis. nasionalis tak terlalu religius. pendukung juventus sekaligus liverpudlian. penggemar krengsengan, rawon dan tahu campur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Noda (yang Tak Kunjung Hilang) di Pendidikan Indonesia

10 Juni 2021   14:02 Diperbarui: 10 Juni 2021   19:46 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agenda kerja rutin tiap tahun Dinas Pendidikan di setiap daerah adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Di Tahun 2021, Metode PPDB dilaksanakan sama dengan beberapa tahun sebelumnya yaitu lewat beberapa metode diantaranya :

  • Jalur Afirmasi / Mitra Warga
  • Jalur Prestasi Akademik dan Non Akademik
  • Jalur Pindah Tugas Orang Tua
  • Jalur Zonasi

Masing-masing jalur tersebut memiliki kuota masing-masing. Tahun 2021 ini proses pendaftaran dilakukan secara daring. Dari tahun ke tahun, jika diamati banyak hal yang harus disempurnakan terkait sistem PPDB ini bahkan jika mundur ke belakang akan perlu standarisasi yang lebih jelas dan tegas terkait penilaian atas prestasi peserta didik.

Sejak era Menteri Pendidikan dijabat Nadiem Makariem, Pemerintah menghapus Ujian Nasional (UN) dengan segala pertimbangannya dan menggantikannya dengan nilai rapor sebagai satu-satunya acuan prestasi akademik siswa. Nilai rapor tersebut kemudian disimpan dalam database terpusat milik Dinas Pendidikan dalam bentuk rapor online yang menyimpan nilai peserta didik sejak awal jenjang pendidikan sampai dengan lulus.

Penulis mengamati tidak adanya standarisasi yang jelas atas pemberian nilai peserta didik atau jika ada standar, tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh guru secara benar dan tidak ada sistem yang mengontrol jika oknum guru memberikan nilai yang tidak sesuai spesifikasi standar yang ditetapkan.

Kasus yang terjadi di lapangan, nilai yang diberikan di rapor kadang tidak mencerminkan prestasi sesungguhnya dari peserta didik. Hal ini terjadi karena ada oknum guru tidak memberlakukan standar yang sama dalam pemberian nilai. Formula nilai rapornya bisa jadi sudah ada standar yang jelas, tetapi pemberian nilai Ulangan Harian,  Ujian Tengah Semester dan ujian-ujian yang lain yang tidak memiliki standar yang jelas. Hal ini bisa terjadi diantaranya karena:

  • Ada guru yang tegas dan memberikan nilai obyektif sesuai kemampuan siswa, tetapi ada oknum guru tertentu yang memberikan nilai tidak obyektif karena faktor-faktor non teknis, misalnya pendekatan orang tua peserta didik ke oknum guru melalui pemberian-pemberian yang diiringi maksud agar anaknya "dibantu". Terjadi juga karena posisi orang tua  peserta didik adalah sosok berpengaruh dan berkontribusi yang membuat pihak sekolah kemudian merasa perlu memberikan "bantuan" atas prestasi anaknya.
  • Yang lebih sistemik adalah keinginan sekolah untuk "mengkatrol" nilai siswanya agar prestasi sekolah ikut naik sehingga guru-guru diarahkan untuk memberikan nilai yang lebih "murah" kepada siswanya.

Sampai dengan saat ini, belum ada sistem di Dinas Pendidikan masing-masing daerah yang mampu mengkontrol hal-hal ini. Akhirnya yang terjadi di PPDB jalur prestasi akademik, peserta didik yang diterima di sekolah negeri tidak selalu mencerminkan prestasi akademik sebenarnya. Kadang-kadang ada peserta didik dengan nilai yang cukup baik dan lebih layak menempuh pendidikan di sekolah negeri secara ekonomi tetapi kalah oleh peserta didik lain yang nilainya lebih baik karena faktor "non teknis" dan secara ekonomi sebenarnya lebih mampu sekolah di swasta.

Bukan hal yang baru lagi, di masa-masa PPDB ini, ada anggapan adalah masa-masa "panen" untuk para oknum pemangku jabatan di dunia pendidikan. Anak-anak pejabat atau yang orangtuanya dekat dengan pejabat atau yang "dibuat" dekat dengan pejabat bisa mendapatkan "katabelece" untuk kemudian menekan kepala sekolah yang dituju untuk menerima peserta didik "titipan" ini. Bahkan kadang-kadang oknum kepala sekolahnya sendiri yang menyediakan diri untuk "didekati". Proses "kedekatan" ini kadang dibangun melibatkan "kapital" dalam jumlah tertentu. Lewat jalur mana peserta didik "titipan" itu masuk? Ya pintar-pintarnya para panitia PPDB dan atau pihak sekolah mengatur dan mencarikan jalur yang pas untuk para peserta didik "berprestasi non-teknis" ini. Kuota jalur-jalur PPDB pun kadang dimainkan untuk mengakomodasi pendekatan non teknis ini.

PPDB jalur zonasi sendiri saat ini murni menggunakan jarak untuk filter masuk ke sekolah negeri. Padahal keberadaan lokasi sekolah negeri sendiri belum merata menjangkau seluruh wilayah. Akhirnya beberapa peserta didik yang lokasi rumahnya "nanggung" atau bahkan jauh dari sekolah negeri tidak dapat ditampung di sekolah negeri yang terdekat, padahal secara ekonomi orang tuanya lebih membutuhkan anaknya untuk sekolah di negeri. Sebenarnya kalau pemerintah menghendaki pemerataan pendidikan dan menghilangkan label sekolah favorit tapi masih mengakomodasi prestasi akademik peserta didik, bisa diterapkan sistem scoring berdasarkan jarak dan nilai. Seharusnya peserta didik yang mendaftar ke sekolah negeri terdekat dari rumahnya, berapapun jaraknya, memiliki score yang sama. Berikutnya tinggal membandingkan nilainya, sehingga prestasi siswa selama di sekolah sebelumnya masih diakomodasi. Sejak berlakunya sistem zonasi beberapa siswa dan bahkan orang tua siswa memiliki mindset bahwa nilai tidak lagi penting yang akhirnya tidak lagi concern dengan prestasi akademik, karena merasa rumahnya cukup dekat dengan sekolah negeri.

Tugas Mas Menteri Pendidikan Nadiem Makariem dan tim ahlinya adalah menetapkan standar yang jelas atas pemberian nilai akademik peserta didik serta membuat sistem yang mampu mengontrol deviasi dan pelanggaran atas implementasi standar yang sudah ditetapkan berikut sanksinya. Jarang sekali memang ada  Operasi Tangkap Tangan (OTT) untuk para pelaku penerima gratifikasi dan suap di dunia pendidikan karena memang mungkin nilainya tidak terlalu besar, tapi faktanya hal ini memang terjadi dan sudah terlalu lama jadi noda di dunia pendidikan Indonesia.

Maju dan Merdeka Dunia Pendidikan Indonesia !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun