Mohon tunggu...
Firman Adi
Firman Adi Mohon Tunggu... Insinyur - ekspresi sederhana

arek suroboyo yang masih belajar menulis. nasionalis tak terlalu religius. pendukung juventus sekaligus liverpudlian. penggemar krengsengan, rawon dan tahu campur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putaran Nasib 2: Fakta

15 November 2020   10:29 Diperbarui: 15 November 2020   17:40 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

https://www.kompasiana.com/firmanweb/5fb06ccdd541df040147bdf2/putaran-nasib-1-gentayangan

Sesuai tekadnya untuk menebar teror di sepanjang jalan tengah hutan pinus yang merenggut nyawa ayah, adik kembarannya dan dia sendiri, Sandi mulai menakuti nakuti pengguna jalan hanya pada malam hari dengan menampakkan diri secara mendadak sehingga membuat beberapa pengguna jalan terkejut dan bahkan sampai terjatuh. 

Tapi belum ada korban sampai tewas akibat ulahnya itu.Bu Lala, ibunda Sandi dan Aswin, dilanda kesedihan yang luar biasa paska meninggalnya 2 anak kembar kesayangannya. Ironisnya, mereka meninggal di lokasi yang sama dengan suaminya yang menjadi korban perampokan sebulan yang lalu.

Ditinggal 3 orang kesayangannya dalam rentang waktu 1 bulan, Bu Lala seperti limbung, frustrasi, goyah kondisi jiwanya. Beberapa bulan paska kematian 2 anak kembarnya, Bu Lala sering menerima email yang pengirimnya mengaku sebagai Sandi  yang memintanya datang ke lokasi kecelakaan dan mengaku bahwa Sandi masih hidup.

Karena jiwa yang masih labil dan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya Bu Lala memberanikan diri datang ke lokasi kecelakaan dengan naik mobil mendiang suaminya yang sudah dikembalikan oleh Polisi. Begitu sampai di lokasi, Bu Lala tak tahu apa yang harus dikerjakan sampai kemudian bertemu dengan seorang bapak.

"Mohon maaf, saya dari tadi perhatikan, Ibu dari tadi berdiri disini seperti kebingungan. Ada apa ya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?", seorang bapak membuka pembicaraan.

"Saya Lala, Pak. 2 anak kembar saya jadi korban kecelakaan bus sekitar 6 bulan yang lalu. Saya sering mimpi anak saya menyuruh saya untuk datang kesini. Tapi saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan setelah tiba disini", jawab Bu Lala.

Sang bapak membalas," O iya.. Perkenalkan saya Gunadi dan saya ingat dan tidak mungkin lupa kejadian itu. Istri dan anak saya juga jadi korban meninggal dalam kecelakaan itu. Mini bus yang dinaiki oleh anak anak ibu menabrak warung milik saya yang kebetulan waktu itu ada istri dan anak saya di dalamnya. 

Kejadian itu benar benar membuat saya menderita lahir batin dan sampai tidak lagi ingin bekerja karena tidak ada lagi orang-orang yang saya sayangi untuk dinafkahi".

"Nasib kita sama, Pak Gunadi. Kehilangan orang-orang yang kita cintai dalam suatu kecelakaan yang tragis yang pasti bukan kemauan siapa-siapa kecuali atas izin Allah", Bu Lala merespon.

"Eh ... iya tidak sesuai dengan yang kita rencanakan", sahut Pak Gunadi.

Pak Gunadi menambahkan," Kalau Bu Lala berkenan silakan mampir ke warung saya, mungkin kita bisa ngobrol lebih lama".

"Oh, warungnya masih ada ya, Pak? saya pikir setelah kecelakaan itu sudah tidak beroperasi lagi", pikir Bu Lala.

"Masih ada, Bu. Cuman pindah lokasi tidak disini lagi, tapi pindah di sebelah Rumah Sakit Daerah", jawab Pak Gunadi.

"Baik. Karena Bapak yang tahu tempatnya, mungkin Bapak bisa bawa mobil saya sekalian", Bu Lala menawarkan.

"Maaf, Ibu. Saya tidak bisa nyetir mobil.  Ibu saja yang setir, saya ikut sambil bantu tunjukkan arah arahnya", jawab Pak Gunadi.

"Baiklah ...." Bu Lala setuju.

Dari pembicaraan awal itu, Pak Gunadi dan Bu Lala menjadi akrab. Bu Lala memutuskan untuk tinggal selama beberapa hari di hotel sekitar lokasi kecelakaan sambil mendengar cerita Pak Gunadi tentang peristiwa kecelakaan itu.

"Mendiang suami saya, namanya Pak Hari, juga meninggal disini, Pak. Perampokan dan pembunuhan kata polisi. Sebulan sebelum anak-anak saya meninggal. Sampai sekarang pelakunya belum tertangkap", kata Bu Lala suatu hari ke Pak Gunadi.

"O begitu ya, Bu .... semoga Bu Lala tetap sabar dan selalu menjadi 'Rani' yang tegar", sahut Pak Gunadi.

'Rani'? Bu Lala terkejut Pak Gunadi menyebut nama itu. Memang nama panjang Bu Lala adalah Lala Syaharani Indrawati. Tetapi yang memanggil 'Rani' hanya mendiang suaminya. Orang biasa memanggilnya Lala atau sebagian kecil keluarganya memanggilnya Wati. Tidak pernah ada yang memanggilnya Rani kecuali suaminya.

Pada suatu malam gerimis dan angin kencang, di lokasi kecelakaan minibus yang menewaskan Sandi dan Aswin, melintas sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Hantu Sandi merasa ini adalah sasaran empuk untuk mencelakakan mobil berkecepatan tinggi itu. 

Hantu Sandi tiba tiba menampakkan diri di tengah jalan dengan jarak yang sangat dekat dengan mobil, sang pengemudi pun terkejut, tidak mampu mengendalikan kemudi, selip dan menabrak sebuah batu besar di sisi kiri jalan.

Kali ini, akibat ulah hantu Sandi, efek kecelakaannya cukup parah. Sang pengemudi mobil meninggal dunia di tempat. Satu penumpang yang lain selamat walaupun dalam kondisi luka parah di kaki kirinya.

Biasanya, hantu Sandi tidak pernah menghiraukan siapa korbannya.  Betapa terkejutnya hantu Sandi ketika dia sekelebat melihat ibunya meninggal terjepit di dalam mobil dengan kondisi yang mengenaskan, luka parah di kepala dan bagian depan tubuhnya.

"Ibuuuu ...!! Maafkan aku, Ibu. Ibu kenapa ada disini ....", Hantu Sandi menangis sejadi jadinya. Dia tidak mengira korbannya kali ini ibunya sendiri yang sangat dia cintai.

Sadar akan ulah salahnya selama ini, Hantu Sandi memutuskan untuk menyusul ayah dan adiknya hidup di alam kubur. Apakah dia bisa hidup tenang di dalam kubur, hanya Allah yang tahu.

Penumpang yang selamat adalah Pak Gunadi. Ternyata malam itu Bu Lala dan Pak Gunadi naik mobil bersama setelah pulang makan malam. Sebenarnya mulai timbul benih cinta diantara keduanya. Pak Gunadi merasa Bu Lala lah yang bisa mengisi kekosongan hatinya paska ditinggal mati istri dan anak perempuannya.

Begitu juga Bu Lala merasa Pak Gunadi bisa merasakan kepedihan yang sama karena juga ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dalam satu kejadian kecelakaan. Apalagi ketika Pak Gunadi memanggilnya 'Rani', ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. 

Bu Lala sempat menanyakan ke Pak Gunadi mengapa memanggilnya 'Rani', Pak Gunadi hanya menjawab bahwa dari rangkaian nama panjangnya, 'Rani' adalah gambaran yang paling sesuai untuk wajah cantik Bu Lala. 

Tapi benih cinta mereka yang baru tumbuh, harus mati sebelum semakin membesar karena kematian Bu Lala dalam kecelakaan yang diakibatkan ulah hantu anaknya sendiri.

Pak Gunadi pun mengalami tekanan jiwa berat yang membuatnya harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa setempat dalam bimbingan seorang psikiater.

Psikiater yang belum lama bertugas di RSJ setempat dan merawat Pak Gunadi terus sabar memberikan konseling dan berikut bantuan obat penenang, yang membuat kondisinya mulai pulih dan bisa diajak komunikasi secara normal.

Karena sudah bisa diajak berkomunikasi secara normal, psikiater menyarankan Pak Gunadi menceritakan hal dan peristiwa dalam hidupnya yang mengganjal agar mengurangi tekanan jiwanya.

Pak Gunadi yang ingin segera pulih, mulai menceritakan pengalaman hidupnya.

Pak Gunadi mengatakan bahwa sebelum istrinya meninggal, ia adalah seorang kriminal dengan kejahatan mulai mencopet, merampok dan pernah sekali membunuh dalam hidupnya. Hal ini dia jalani untuk menghidupi istri dan anak perempuannya yang lahir dalam kondisi menjadi anak berkebutuhan khusus. 

Sampai kemudian istrinya megetahui bahwa sumber pendapatan suaminya adalah dari hasil kejahatan. Tapi istrinya malah tidak menyuruhnya berhenti bahkan mendorongnya untuk terus berbuat jahat.

Kematian mendiang suami Bu Lala, Pak Hari, adalah akibat ulah Pak Gunadi yang memang sengaja menabrakkan motornya ke mobil Pak Hari. Setelah Pak Hari keluar dari mobil, Pak Gunadi menyakiti Pak Hari hingga kemudian membunuh dengan mencekiknya mengunakan seutas tali. Pak Gunadi selanjutnya mengambil dompet, handphone dan tas milik Pak Hari. Mobil tidak diambilnya, karena Pak Gunadi memang tidak bisa mengemudikan mobil.

Kecelakaan minibus yang menewaskan Sandi dan Aswin juga adalah akibat ulah Pak Gunadi. Saat itu Pak Gunadi dibantu istrinya memasang tali melintang di atas jalan yang kemudian dipasangkan boneka bentuk pocong yang bisa digeser geser. Motif kejahatan yang dirancang Pak Gunadi dan istrinya adalah untuk menguasai harta para penumpang yang akan menjadi korban kecelakaan. 

Obyek putih yang melayang di depan minibus sebelum kecelakaan adalah boneka pocong buatan Pak Gunadi dan istrinya. Yang di luar skenario adalah ketika minibus itu menabrak warung dimana istri dan anaknya sembunyi di warung saat itu. Pak Gunadi tidak menyangka istri dan anaknya ikut tewas dalam kecelakaan yang dia skenario sendiri. 

Sandi dan Aswin sendiri sebenarnya tidak langsung meninggal saat itu, tetapi pingsan. Tapi karena sudah dipenuhi rasa marah dan frustrasi, dan posisi Sandi dan Aswin waktu itu yang terdekat dengan jasad  istri dan anaknya, Pak Gunadi membenturkan ke bodi minibus kepala Sandi berkali kali hingga luka parah dan sulit dikenali dan kaki kanan Aswin hingga tulangnya hancur dan mengeluarkan banyak darah dan akhirnya keduanya meninggal. 

Pak Gunadi sendiri kemudian segera melarikan diri karena khawatir penduduk atau polisi terdekat segera datang lokasi kecelakaan. Pak Gunadi sendiri pura pura baru mengetahui bahwa istri dan anaknya meninggal setelah dihubungi polisi.

Terkait hubungan dengan Bu Lala, Pak Gunadi mengaku pada sang psikiater bahwa setelah ditinggal mati istrinya, sempat membuka buka dompet Pak Hari dan menemukan foto Bu Lala yang ternyata cantik menurutnya. 

Di handphone milik Pak Hari juga ada puisi yang sengaja dibuat Pak Hari untuk Bu Lala saat ulang tahun pernikahan yang menyebut nyebut nama 'Rani' sebagai belahan jiwanya sampai mati.

Pak Gunadi juga lah yang mengirim email ke Bu Lala dan mengaku sebagai Sandi dan mengajaknya untuk datang ke lokasi kecelakaan yang karena frekuensi email yang sering, sehingga terbawa dalam mimpi Bu Lala.

Terkait kecelakaan yang akhirnya menewaskan Bu Lala dan membuat kaki kirinya harus diamputasi, Pak Gunadi menjawab bahwa itu murni kecelakaan tanpa ada skenario apapun.

"Ya ... sekarang Pak Gunadi istirahat, ini saya kasih obat baru dengan dosis lebih tinggi supaya bisa tidur lebih tenang. Soal kaki kiri Pak Gunadi yang sudah diamputasi, tidak usah dirisaukan. Pak Gunadi juga tahu kan, tangan kiri saya juga diamputasi. Setiap orang punya kekurangan, Pak Gunadi di kaki kiri, saya di tangan kiri. Yang penting masing-masing kita tetap bisa berkarya dan sehat" itu yang disampaikan sang psikiater, dr. Roni Anwar Sp. KJ kepada Pak Gunadi.

Beberapa hari kemudian, Pak Gunadi ditemukan meninggal akibat gagal jantung.

Setelah Pak Gunadi meninggal, dr. Roni mempunyai waktu luang lebih banyak. Ketika ada tempat wisata baru "Petik Sayur Organik" di Desa Sarana, dr. Roni bersama keluarga berwisata ke lokasi tersebut. Dalam perjalanan, dr. Roni sempat bergumam "Di perjalanan menuju Desa Sarana ini dulu Sandi dan Aswin, 2 sahabat terdekatku, harus mati karena ulah Pak Gunadi".

Ketika berkendara menjelang pukul 01.00, tiba-tiba dr. Roni dikejutkan dengan penampakan seorang ibu dan anak perempuannya yang berdiri di tengah jalan. Saat itulah dr. Roni kehilangan kendali kendaraannya.

Tamat.

"kesamaan nama dan cerita tidak disengaja dan kebetulan belaka"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun