Sesuai apa yang diutarakan investor, untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia seharusnya kepastian hukumlah yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Pemerintah.
Tindakan tegas kepada para aparat yang melakukan tindak pidana korupsi selama tahapan investasi dengan  proses hukum yang bersih dan memenuhi  prinsip hukum acara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan seharusnya terus diupayakan.
Selama investor dirugikan dengan korupsi aparat tapi untuk membawanya ke proses hukum harus dijalani dengan biaya yang tinggi dan memakan waktu panjang (mulai dari penyidikan polisi, penuntutan kejaksaan sampai dengan peradilan oleh hakim, belum lagi kalau banding, kasasi atau peninjauan kembali) maka fenomena suap menyuap akan terus berjalan dan tidak akan pernah menarik bagi investor untuk menanamkan modal.Â
Dalam hal perijinan, UU Cipta Kerja yang digemborkan menyederhanakan birokrasi perijinan, seharusnya di aturan pelaksana turunannya sudah mendetailkan daftar perijinan (berikut syarat-syarat dan biayanya) yang harus disiapkan oleh investor, instansi yang menangani  berikut target waktu penyelesaiannya serta sanksi bagi aparat yg lalai dalam menyelesaikan tugasnya sesuai target.
Semua transaksi terkait pembayaran perijinan harus dilakukan secara cashless non tunai ke kas negara. Hal ini mutlak diperlukan seiring dengan pemangkasan birokrasi agar tidak ada ruang kolusi dan korupsi yang berujung pada ketidakpastian biaya perijinan.
Jika investor nakal "bersimbiosis mutualisme" dengan oknum aparat yang korup dan "mengakali" ketentuan dalam aturan, harus ada tindakan hukum yang cepat dan tegas untuk keduanya.
Diharapkan ada ketentuan dalam aturan pelaksana UU Cipta Kerja yang mengantisipasi hal ini, karena dikhawatirkan investor yang sudah mentaati prosedur harus tenggelam dalam "lingkaran setan" suap dan gratifikasi karena perijinannya "dimainkan" dan memilih untuk tidak memproses hukum karena ketidakpastian dari sisi biaya tinggi dan  waktu yang panjang.
Di aspek keamanan dan pengelolaan lingkungan selama masa investasi, harus disyaratkan juga rencana tata kelola lingkungan oleh investor berikut pengawasannya. Aparat pengawas atas hal ini juga harus diproses hukum jika berkongkalikong dengan investor yang nakal.
Tidak boleh lagi ada oknum yang memaksa investor harus mengeluarkan biaya tidak resmi mulai dari oknum yang berlindung dibalik kedok organisasi / lembaga swadaya masyarakat, serikat buruh bahkan aparat berseragam.
Jika investor melakukan pelanggaran atau kesalahan pengelolaan lingkungan, pilihannya adalah segera dilakukan perbaikan sesuai ketentuan dengan pengawasan aparat atau jika menolak silakan diproses melalui jalur hukum.
Terkait ketenagakerjaan, komparasi produktifitas buruh di Indonesia dengan kenaikan UMK seringkali menjadi isyu yang setiap tahun menjadi perdebatan. Untuk itu investor melalui peraturan perusahaan dan perjanjian kerja dengan serikat karyawan harus menyepakati standar standar penilaian yg proporsional, logis dan sebagian besar terukur secara kuantitatif agar tidak ada pihak pihak yang merasa dirugikan.