Mohon tunggu...
Firman Adi
Firman Adi Mohon Tunggu... Insinyur - ekspresi sederhana

arek suroboyo yang masih belajar menulis. nasionalis tak terlalu religius. pendukung juventus sekaligus liverpudlian. penggemar krengsengan, rawon dan tahu campur.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mahasiswa 2019 Vs Pemimpin (Tegas?)

1 Oktober 2019   12:26 Diperbarui: 1 Oktober 2019   13:50 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menelisik kondisi akhir akhir ini terkait gerakan mahasiswa yang masif bergerak serentak di beberapa kota di nusantara, publik menyikapi dengan berbagai reaksi baik positif, negatif ataupun netral saja.Gerakan mahasiswa kali ini menyuarakan beberapa tuntutan di antaranya:

1. Pembatalan pengesahan UU KPK yg telah disahkan DPR bersama pemerintah.
2. Perlunya pembahasan ulang beberapa RUU yg di dalamnya terdapat beberapa pasal kontroversial dan multi tafsir, diantaranya RUU KUHP, Pertanahan, Keamanan Siber dan beberapa RUU yg lain.
3. Upaya yg tegas, nyata dan terukur pemerintah dalam memberikan tindakan tegas terhadap para pelaku kebakaran hutan.
4. Meredakan konflik di Papua dan memberikan perlindungan bagi semua unsur masyarakat yang menjadi korban kerusuhan di Papua khususnya Wamena.

Terkait UU KPK yang baru, saya melihat mutlak harus dilakukan pembatalan (terkait bentuk pembatalannya dengan Perppu atau Judicial review via MK mungkin bisa didiskusikan, walaupun Perpu bisa lebih cepat). Pasal yg mengindikasikan bahwa korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa, penyadapan harus atas izin dewan pengawas yg kita tidak pernah tahu siapa anggota2 dewan pengawas, dan beberapa pasal lain yg terkesan menjadikan kewenangan kpk menjadi lemah atas para koruptor.

Terkait RUU yg lain, Presiden sudah menyatakan akan menunda pembahasannya dengan DPR. Artinya masih ada waktu bagi publik untuk merevisi pasal2 yg dianggap kontroversial dan multi tafsir. Para ahli yang menyusun draft RUU tersebut bisa dihadirkan di hadapan publik untuk menjelaskan dan mereview bersama pakar - pakar yg dipercaya publik di bidang masing2. 

Pasal-pasal kontroversial di antaranya terkait kemudahan remisi terhadap para koruptor di RUU KUHP, HGB yg hanya bisa diperpanjang 1x di RUU Agraria dan kebijakan RUU Siber Internet yg beberapa dianggap sudah terlalu masuk ranah privat dan tentu saja beberapa pasal2 yg lain di berbagai draft RUU.

Kebakaran hutan terjadi tidak hanya di tahun ini, bahkan tidak hanya di era presiden yg sekarang. Aparat sudah menetapkan beberapa pihak baik perorangan maupun korporasi (bahkan beberapa korporasi terlibat adalah dari negara asing / tetangga) menjadi tersangka dalam kasus ini. 

Bahkan di tahun2 sebelumnya denda yg cukup besar melalui proses peradilan sudah ditetapkan untuk korporasi pelaku pembakaran hutan. Kalau saat ini masih ada tuntutan terkait hal ini dari gerakan mahasiswa, mari berbaik sangka mungkin ekspektasi publik dan mahasiswa yg besar terhadap pemerintah sekarang agar lebih adil, cepat dan tegas menyelesaikan hal ini, tidak melakukan negosiasi tuntutan dan tebang pilih.

Terkait Papua, Pemerintah terkesan sangat ekstra hati-hati dalam melakukan tindakan. Sudah ada aparat TNI-Polri, warga sipil dan bahkan tenaga medis yg jadi korban jiwa. Tidak dipungkiri ada kelompok pemberontak yang  sengaja membuat kerusuhan di sana. Benny Wenda salah satu pimpinan OPM, berusaha membawa permasalahan Papua di forum forum internasional termasuk di sidang Dewan Keamanan PBB (walaupun akhirnya ditolak) yg tujuan akhirnya adalah referendum dan Papua memisahkan diri dari NKRI. 

Tentu Pemerintah tidak ingin disintegrasi yg terjadi di Timor Timur terulang di Papua. Pemerintah harus melindungi masyarakat sipil disana sekaligus melakukan tindakan tegas dan terukur menumpas kelompok pemberontak di sana. Jika pemerintah melakukan kesalahan fatal yg dinilai terlalu represif dan melanggar HAM (di sisi ini, seringkali PBB dan negara barat memberlakukan standar ganda yg tidak fair) bisa menjadi pintu masuk PBB untuk mendesak dilakukannya referendum di Papua. Perjuangan militer dan diplomasi luar negeri harus berjalan beriringan agar koridor NKRI masih terus terjaga. 

Tapi satu hal yg harus dicermati publik adalah mengapa ini semua terjadi di Papua ketika pemerintah gencar membangun infrastruktur di sana dan saham Freeport 51% telah berhasil dinasionalisasi. Adakah pihak pihak yang ikut bermain mengelola konflik dan isu ini agar Pemerintah menjadi terlihat tidak cukup mampu mengatasinya? Apakah dari pihak asing atau bahkan para politisi dalam negeri?

Terkait demo mahasiswa di mana beredar beberapa video yg mempertontonkan aksi represif aparat kepolisian berupa tindakan kekerasan kepada mahasiswa dan publik (bahkan di Kendari sampai menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa), sudah seharusnya kepolisian melakukan evaluasi dan mengusut oknum aparat yg melakukan tindakan kekerasan di luar SOP yg tidak seharusnya.

Mahasiswa pun selayaknya melakukan evaluasi atas gerakannya mulai tuntutan yg lebih fokus (meningkatkan literasi dan diskusi internal atas hal2 yg akan dituntut), membuat koordinasi lapangan yg memudahkan deteksi kekerasan dari oknum internal mahasiswa maupun penyusup dari luar mahasiswa. Fasilitas umum yang rusak, perusakan sarana pendukung lalu lintas, kendaraan yang dibakar, kaca-kaca gedung yang pecah, semua itu dibangun dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Tentu jika hal ini diteruskan, akan bikin kesal dan gerakan mahasiswa tidak akan mendapat simpati publik.

Beberapa kali pihak kepolisian menyatakan ada pihak di luar mahasiswa yg menunggangi aksi. Kalau memang polisi mempunyai cukup bukti, tangkap dan sampaikan ke publik, siapapun itu (nggak usah ewuh pakewuh karena misalnya penunggang adalah unsur dari para mantan pejabat baik sipil maupun militer, dari parpol baik yg kontra atau bahkan pro pemerintah, atau bahkan misalnya kelompok yg menggunakan simbol2 agama sebagai gerakan politik yg inkonstitusional).

Di masa transisi ini, banyak pihak yg bermain untuk kekuasaan yg bahkan sudah menyampingkan hati nurani dan kemanusiaan. Seolah politik kekuasaan dan nurani kemanusiaan tidak dalam satu irisan bahkan saling menegasikan. Kepemimpinan yang tegas dan berpihak pada rasa keadilan publik yg saat ini dibutuhkan.

Seorang pemimpin sudah selayaknya berani mengambil keputusan di saat saat yang diperlukan. Memahami persoalan dan paham pada keberpihakan (yang tentu saja seharusnya berpihak pada nilai nilai moral dan rasa keadilan publik) adalah kunci yang mengiringi ketegasan dalam pengambilan keputusan. 

Arahan pada para pembantunya terkait hal hal teknis seharusnya bisa diimplementasikan oleh pembantu  pembantu yang obyektif dan kompeten. jika ternyata apa yg dilakukan pembantunya menyimpang dari arah kebijakan sang pemimpin, punishment yg tegas harus berani dilakukan mulai peringatan hingga pencopotan jabatan.

Parpol melalui DPR sudah beberapa kali melalui survey terbukti menjadi institusi yang tidak dipercaya oleh publik. So, bukan putusan yang sulit bagi sang pemimpin jika pilihannya adalah mengakomodasi parpol atau berpihak pada publik/rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun