PPDB). Di tahun ajaran 2019-2020, melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51 Tahun 2018, Pemerintah memberlakukan sistem zonasi berikut sanksi bagi Pemerintah Daerah yang tidak bersedia menerapkan sistem ini.
Seiring dimulainya tahun ajaran baru, orang tua disibukkan dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (Di Surabaya, sistem zonasi diberlakukan mulai SD sampai dengan SMA dengan beberapa ketentuan berbeda di setiap tingkatan, walaupun benang merahnya sama yaitu jarak domisili rumah (berdasar Kartu Keluarga) ke sekolah menjadi pertimbangan utama masuknya peserta PPDB ke suatu sekolah.Â
Di Permendikbud 51 tahun 2018, nilai tidak lagi dijadikan acuan utama dalam seleksi PPDB, tetapi masih ada ketentuan kuota 5% untuk para peserta yang memiliki prestasi berdasarkan nilai UN atau prestasi non UN (olahraga, kesenian dsb.) serta 5% untuk perpindahan tugas orang tua.
PPDB dengan zonasi ini sebenarnya memiliki tujuan yang baik yaitu pemerataan akses terhadap pendidikan. Selama ini muncul label sekolah favorit yang kemudian menjadi rebutan dituju oleh para peserta PPDB. Fenomena sekolah favorit ini muncul berdasarkan kualitas lulusannya atau prestasi siswa-siswanya yang diraih dalam kurun waktu yang bertahun tahun.
Pertanyaan yang muncul adalah ketika prestasi akademik sebuah sekolah mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas, apakah keberhasilan itu dipicu karena dari awal kualitas input siswa-siswanya sudah cukup hebat atau oleh sistem manajemen pendidikan sekolahnya yang baik? Atau jika karena dua-duanya, manakah yang punya kontribusi lebih besar?
Selain kegiatan akademik, beberapa sekolah favorit juga memiliki kegiatan ekstra kurikuler unggulan misal SMAN A jago di bidang olahraga basket, SMAN B memiliki ekskul musik yang keren, SMAN Y dan Z memiliki paduan suara yang bagus. Tidak dipungkiri untuk kegiatan-kegiatan semacam ini di luar sekolah (misalnya lomba), kadang dibutuhkan dana operasional tambahan dari orang tua siswa.
Akhirnya sekolah favorit pun identik dengan siswa-siswa pintar yang mungkin sebagian besar secara ekonomi juga berkemampuan. Dengan komposisi siswa yang mayoritas pintar dan orang tua yang mampu secara ekonomi, manajemen sekolah favorit mampu menjalankan program-programnya (baik akademik maupun ekstra kurikuler) dengan lebih mudah.Â
Belum lagi tingkat kompetisi diantara para siswanya sendiri mampu meningkatkan etos belajar masing-masing siswa. Pada akhirnya mayoritas lulusannya pun mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (jika SMA) ke perguruan-perguruan tinggi ternama. Dan label sekolah favorit pun terus melekat di sekolah tersebut.
PPDB dengan sistem zonasi ingin memberikan akses yang lebih merata ke publik untuk menikmati pendidikan yang berkualitas. Label sekolah favorit seolah di-reset oleh Pemerintah karena nilai tidak lagi jadi acuan utama seleksi PPDB.Â
Sekolah-sekolah favorit yang dulu bisa mengimplementasikan program-program pendidikannya lebih mudah, nantinya akan membutuhkan upaya yang lebih keras dikarenakan kemampuan akademik siswa dan tingkat ekonomi orang tua yang lebih bervariasi. Â Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan merata menjadi tantangan bagi para stakeholder di bidang pendidikan.
Harus diakui kebijakan PPDB zonasi ini terkesan "grusa-grusu" dan tidak melalui studi kelayakan dan perencanaan yang matang. Hal-hal seperti pemerataaan sarana dan prasarana sekolah, tenaga guru yang berkualitas yang terdistribusi dengan baik, ketersediaan daya tampung sekolah terhadap demografi penduduk berdasarkan usia sekolah di suatu lokasi, seharusnya menjadi hal-hal yang dilakukan terlebih dahulu sebelum sistem zonasi ini diimplementasikan.Â
Tapi melihat gaya pemerintahan saat ini, sepertinya hal ini bisa saja dilakukan karena di bidang infrastruktur pun, Pemerintah melakukan hal serupa yaitu mengabaikan perencanaan matang (seperti pembangunan Bandara Kertajati dan LRT di Palembang).
Dari beberapa hari setelah dimulainya PPDB (dalam hal ini di Surabaya), beberapa kasus yang terjadi diantaranya adanya banyak siswa dengan nilai baik tetapi tidak dapat diterima di sekolah negeri karena tidak ada sekolah negeri yang lokasinya representatif secara zonasi. Kalo istilah orang jawa jarak rumahnya "magak" atau nanggung terhadap sekolah-sekolah sekelilingnya.Â
Dengan sistem ini, sekolah lebih menerima siswa yang jarak rumahnya lebih dekat. Akhirnya muncul istilah prestasi siswa kalah dengan jarak rumah, padahal bisa jadi secara ekonomi siswa yang lebih pintar tadi lebih butuh sekolah di negeri daripada siswa yang jarak rumahnya lebih dekat tetapi nilainya lebih rendah.Â
Terkesan pemerintah hanya melakukan pemerataan pendidikan tetapi tidak keadilan pendidikan. Seyogyanya, reward terhadap kerja keras siswa dalam bentuk nilai dihargai dengan lebih proporsional, misalnya pemberlakuan zonasi, tetapi acuannya tetap nilai ujian nasional.
Selanjutnya tugas berat pemerintah adalah mapping sekolah-sekolah yang perlu di-support sarana dan prasarana serta tenaga guru yang berkualitas. Para guru pun memiliki tugas berat mendidik siswa-siswa yang lebih heterogen secara kemampuan akademik dan finansial.Â
Jika kebijakan zonasi ini dilaksanakan berkelanjutan (mungkin dengan beberapa modifikasi dan inovasi yang lebih terarah disesuaikan dengan problem daerah masing-masing) dan ditunjang manajemen sekolah yang baik dan dukungan orang tua murid, akan menghasilkan pemerataan pendidikan yang berkualitas (semoga bukan hal yang negatif yang lebih merata) serta siswa-siswa yang memiliki kecerdasan sosial lebih baik karena mereka akan berinteraksi dengan teman-teman yang lebih heterogen dari sisi ekonomi, sosial dan moral (semoga bukan hal-hal negatif yang menular diantara siswa).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H