Mohon tunggu...
Firman Adi
Firman Adi Mohon Tunggu... Insinyur - ekspresi sederhana

arek suroboyo yang masih belajar menulis. nasionalis tak terlalu religius. pendukung juventus sekaligus liverpudlian. penggemar krengsengan, rawon dan tahu campur.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengukur Kebijakan Infrastruktur

26 Maret 2019   17:38 Diperbarui: 27 Maret 2019   08:05 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah saat ini sedang giat membangun infrastruktur mulai dari pembangkit listrik, waduk, bendungan, jalan tol, bandara, pelabuhan, rel kereta, Light Rail Transit (LRT) termasuk yang terupdate mulai beroperasinya Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta. Dari pembangunan ini, tentu saja yang diharapkan pemerintah adalah efek positif baik dari sisi bergeraknya sektor bisnis, kenyaman publik menikmati layanan dari masing-masing infrastruktur yang nyaman dengan harga terjangkau, terserapnya tenaga kerja dan efek-efek positif yang lain.

Untuk publik/masyararakat tentu saja hal ini menguntungkan karena artinya untuk publik semakin banyak pilihan moda transportasi yang bisa dipilih tinggal menyesuaikan dengan kemauan, kebutuhan dan kemampuan.

Pengusaha logistik dan ekspedisi juga diuntungkan karena pilihan yang semakin banyak akan memberikan opsi bagi pengusaha ekspedisi untuk memilih moda pengiriman yang diharapkan secara biaya akan lebih efisien.

Di sisi yang lain, pembangunan infrastruktur ini juga memberikan semacam efek "predator" bagi sesama pelaku bisnis di bidang transportasi seperti perusahaan jalan tol, maskapai penerbangan, pengusaha angkutan kapal, kereta api dan bidang-bidang industri lain yang terkait dengan memindahkan manusia/barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

Dengan fenomena preadator ini, apakah artinya kebijakan infrastruktur pemerintah tidak terukur?

Beberapa hal yang bisa menjadi contoh efek predator bagi sesama pelaku bisnis di bidang transportasi ini di antaranya adalah sejak beroperasinya Jembatan Suramadu, jumlah penumpang kapal Surabaya -- Madura menurun drastis atau semakin menurunnya pengguna Kopaja di Jakarta sejak beroperasinya Bus Trans Jakarta.

Yang terbaru adalah fakta bahwa sejak tersambungnya tol trans jawa dari Jakarta ke Surabaya, jumlah penumpang Bandara Soekarno Hatta, Halim Perdana Kusuma dan Juanda s.d. Maret 2019 menurun di kisaran 14-20%.

Terlepas dengan naiknya harga tiket pesawat dan pemberlakukan biaya bagasi, dengan adanya tol trans jawa, penumpang kolektif, jarak menengah -- pendek dengan bawaan bagasi yang cukup banyak akan lebih memilih jalan darat/jalan tol dibanding angkutan udara dengan keunggulan fleksibilitas waktu dan aksesibilitas yang lebih baik di tempat tujuan.

Turunnya jumlah penumpang pesawat juga berimbas pada meningkatnya pengguna angkutan kapal laut dan kereta api.

Penumpang kapal PELNI meningkat sekitar 20% di tahun 2019 s.d. bulan Februari sedangkan penumpang kereta api naik 15% setelah kebijakan maskapai penerbangan menaikkan harga tiket pesawat.

Hal-hal yang bisa ditarik dari fenomena-fenomena ini antara lain :

  • Langkah Pemerintah membangun infrastruktur di semua bidang seharusnya  menguntungkan publik / masyarakat karena opsi yang semakin banyak dan pelayanan yang semakin baik.
  • Akan terseleksinya para pelaku bisnis transportasi yang dituntut terus berinovasi dari sisi pelayanan, akurasi jadwal, keselamatan dan harga karena jika itu tidak dilakukan maka akan ditinggalkan oleh publik.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait efek pembangunan infrastruktur ini diantaranya:

Mengapa Pemerintah masih membangun beberapa bandara, padahal di satu sisi jumlah penumpang dan penerbangan sedang menurun? 

Apakah artinya kebijakan pembangunan bandara yang dilakukan pemerintah ini tidak terukur? 

Di luar Jawa pembangunan bandara rasanya masih dibutuhkan karena harus diakui masih adanya kesenjangan fasilitas infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa.

Selain itu beberapa bandara komersial di pulau Jawa pada dasarnya dioperasikan oleh Angkasapura tetapi di lahan-lahan milik TNI seperti Halim Perdana Kusuma, Bandara Juanda, Bandara Husein Sastranegara dan beberapa bandara lainnya.

Pembangunan bandara komersial sipil masih diperlukan dengan nantinya bandara-bandara di lahan TNI bisa kembali sepenuhnya digunakan untuk kepentingan militer.

Apakah dengan adanya MRT di Jakarta, akan mematikan bisnis ride-sharing online? 

Jakarta adalah sebuah kota dengan kondisi traffic yang saat ini rasanya sudah overload terutama dengan penggunaan kendaraan pribadi.

Diperlukan upaya-upaya ekstra dari Pemerintah untuk mengatasi diantaranya dengan menaikkan biaya parkir, pemberlakukan ganjil-genap di beberapa wilayah, yang rencana juga akan diberlakukan adalah ERP (Electronic Road Pricing -- Sistem Jalan Berbayar) di beberapa wilayah terbatas serta naiknya pajak BBN (Bea Balik Nama) kendaraan. Hal ini tentu saja akan meningkatkan Biaya Operasional Kendaraan di Jakarta. 

Bagi yang mampu silakan meneruskan kebiasaan melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi. Bagi yang tidak mampu atau berniat mengefisiensikan biaya perjalanan, Pemerintah berusaha membangun moda transportasi umum terintegrasi MRT- Bus Trans Jakarta - termasuk dengan bisnis ride-sharing untuk menjembatani publik ke tujuan yang tidak terjangkau oleh angkutan umum.

Pembangunan trotoar yang cukup lebar, nyaman dan representatif di area pusat kota Jakarta sepertinya merupakan sinergi dengan kebijakan pembangunan moda transportasi umum yang lebih baik.

Beberapa ruas di Tol Trans jawa masih sepi, apakah artinya kebijakan ini ambisi yang tidak terukur dari Pemerintah? Konsep jalan tol adalah jalan alternatif dan efek ekonomisnya memang jangka panjang dalam bentuk pengembangan wilayah berupa pemukiman dan industri (produksi, pariwisata, hotel dsb). 

Tulisan efek jalan tol lainnya bisa disimak di Efek Pengoperasian Jalan Tol  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun