Kebiasaan ikut-ikutan, atau biasa disebut latah, begitu tidak asing bagi semua orang. Kita pernah latah, begitu pun orang lain.
Saat suara orang ketawa terdengar pada suatu acara hiburan di televisi, kita juga ikut tertawa. Kita ikut tertawa ketika teman setongkrongan tertawa mendengar suatu lelucon. Kita ikut mengantri ketika semua orang mengantri. Kita ikut melanggar lalu lintas ketika semua orang melakukannya.Â
Apakah ini suatu kebiasaan yang buruk? Mungkin, tapi penilaian baik buruk adalah persoalan lain. Yang jelas, kebiasaan latah adalah normal. Hampir setiap orang melakukannya.
Fenomena ini, dalam psikologi, disebut "konformitas (conformity)". Pada Januari tahun 2017, Vsauce mengunggah sebuah video tentang topik ini. Video tersebut mencoba untuk menjelaskan apa itu konformitas dan apa saja contohnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalamnya juga ditampilkan beberapa eksperimen yang mencoba menguji seberapa besar pengaruh sosial terhadap keputusan seseorang.
Setiap individu memiliki kecenderungan atau hasrat untuk mencocokan dirinya ke dalam masyarakat agar ia dapat diterima. Penerimaan sosial membuat seseorang merasa aman dan tidak dianggap berbeda. Kecenderungan ini lah yang disebut sebagai konformitas.
Misalnya dalam kasus tertawa. Kita cenderung ikut tertawa saat orang lain juga tertawa, meskipun lelucon yang dilontarkan sama sekali tidak lucu, yang hanya kata-kata biasa dan tak memiliki arti.Â
Tapi mengapa kita ikutan tertawa? Alasannya mungkin akan berbeda-beda pada kasus-kasus tertentu, namun biasanya karena kita merasa sungkan terhadap orang lain, atau agar kita tidak terlihat bodoh.
Eksperimen yang ditampilkan dalam video tersebut memberikan kita pemahaman yang cukup baik tentang kebiasaan ikut-ikutan. Misalnya dengan membuat suatu simulasi uji coba, di mana seseorang diminta untuk mencocokan garis dengan tinggi yang sama.
Simulasi tersebut diikuti oleh enam orang. Seorang di antaranya adalah partisipan yang tidak tahu menahu simulasi ini, sisanya adalah aktor yang diminta untuk berbohong. Keenam orang tersebut (termasuk partisipan) diminta untuk mencocokan garis yang sama pada layar.
Tahap pertama sampai ketiga, aktor akan diminta untuk mengatakan yang sebenarnya. Partisipan tahu mana garis yang tingginya sama dan ia memang benar-benar tahu. Namun, pada tahap selanjutnya (dengan simulasi yang sama) para aktor akan berbohong.