Mohon tunggu...
Firman Rahman
Firman Rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger Kompasiana

| Tertarik pada finance, digital marketing dan investasi |

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saat Pendidikan Difokuskan di Pendidikan Dasar, Namun Syarat Kerja S1

18 Mei 2024   10:22 Diperbarui: 18 Mei 2024   13:30 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Gambar: gagasanonline.com)

Pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan, sehingga tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Ungkap Tjitjik Sri Tjahjandaries, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), terkait tentang UKT (uang kuliah tunggal) di perguruan tinggi yang semakin mahal.

Berita santer di televisi dan media sosial membuat beberapa orang tua di pos kamling tertegun dan   gusar, bukan masalah harga beras yang naik 500 sampai 1000 rupiah, tetapi semakin naiknya biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau.

Dari beberapa orang tersebut, hanya mengatakan, dimana peran negara dalam kondisi ini, kerja sehari-hari hanya cukup untuk makan saja sudah ngos-ngosan, apalagi dengan naiknya biaya kuliah yang sundul langit.

Memang sebagaian belum tahu di posisi dan golongan berapa kenaikan biaya itu, namun mendengar biaya sekolah atau kuliah naik saja membuat para orang tua mengernyitkan dahi, kepala pusing, hingga garuk-garuk kepala, tidak tahu dengan cara apa untuk membayar biaya kuliah yang naiknya tidak karuan tersebut.

Memahami Maksud Pendidikan Tinggi adalah Pendidikan Tersier

Tidak dapat dipungkiri, bagi orang tua, bisa membiayai dan menyekolahkan anak hingga tingkat perguruan tinggi adalah kebanggaan. Begitu pula dengan sang anak, bisa melanjutkan pendidikan di kampus yang diimpikan tentu menjadi sebuah kebanggaan diantara teman-temannya, apalagi di kampus negeri dan favorit.

Namu beda dahulu, beda sekarang, fenomena kebutuhan, naiknya beban biaya, hingga pengetatan anggaran, membuat pemerintah harus memprioritaskan biaya pendidikan dalam hal ini bantuan operasional yang ternyata belum bisa menutup kebutuhan operasional setiap perguruan tinggi.

Mungkin dari sinilah penyebab uang SPP (dahulu)  atau UKT (Uang Kuliah Tunggal) menjadi mahal. Hal senada juga disampaikan Tjitjik Sri Tjahjandarie, yang merupakan Sekretaris Dirjen Kemendikbudristek.

Hal ini juga disampaikan Tjitjik seperti yang dilasir dari cnn.com, bahwa pada dasarnya pendidikan dasar di Indonesia hanya 12 tahun, dari SD, SMP, hingga SMA. Dengan melihat hal tersebut, maka pendidikan tinggi termasuk pendidikan tertier. Hal ini berarti tidak semua lulusan SLTA dan SMK wajib masuk perguruan tinggi, karena bersifat pilihan.

Dapat disimpulkan dalam hal ini, karena pendidikan tertier, maka pendanaan pemerintah difokuskan dan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar (dalam hal ini 9 tahun).

Selain itu yang disampaikan Tjitjik tersebut, pada dasarnya masih ada Kelompok UKT 1 sebesar Rp 500 ribu dan Kelompok UKT 2 sebesar Rp 1 juta yang menjadi standar minimal perguruan tinggi negeri, yang pembebanannya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi, karena dalam UKT terdapat beberapa golongan.

Yang menjadi masalah bukan pada UKT 1 dan UKT 2, namun penambahan golongan yang membuat harga pendidikan tersebut menjadi semakin mahal.

Nah yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana bila ternyata calon mahasiswa dan orang tua tidak mendapatkan UKT 1 dan UKT 2, padahal orang tua hanya mampu membiaya sebesar UKT 1 dan UKT 2 tersebut?

Disinilah peran pemerintah dalam mengatasi persoalan UKT ini, karena pada dasarnya pendidikan merupakan hak anak Indonesia tanpa melihat status ekonomi dan sosial, meskipun kenyataannya memang terdapat perbedaan dalam cara pandnag.

Solusi Bila Tidak Melanjutkan S1 Karena Biaya UKT Tinggi, Apa yang Harus Dipersiapkan untuk Anak

Bagi orang tua yang sangat awam dengan peraturan terbaru, khususnya Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 tentu informasi kenaikan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang naik tinggi, ditambah biaya IPI (Iuran Pengembangan Institusi) menjadi momok tersendiri.

Ilustrasi (Gambar: gagasanonline.com)
Ilustrasi (Gambar: gagasanonline.com)

Selain menjadi momok tersendiri bagi para orang tua, ada pertanyaan sederhana untuk Pemerintah, khususnya tentang penyediaan tenaga kerja bila anak-anak tidak bila melanjutkan kuliah.

Karena faktanya:

Meskipun kuliah hanya sebagai kebutuhan tersier, namun syarat kerja, khususnya BUMN mewajibkan minimal S1.

Tentu hal tersebut menjadi PR (Pekerjaan Rumah) besar bagi Kemendikbudristek dan Pemerintah, atas persyaratan kerja dan penataan pendidikan tinggi tersebut termasuk biaya-biaya pendidikan.

Bila memang fakta berkata demikian, maka dapat dipastikan pemerintah beserta kementerian di bawahnya belum bisa menjamin hak hidup rakyat banyak khususnya dalam pendidikan, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tentu sebaga rakyat, masyarakat memahami bahwa tidak bisa mempengaruhi bahkan merubah peraturan yang ditetapkan pemerintah. Dengan melihat kondisi tersebut, sebagai orang tua hanya bisa memberikan solusi dan mengarahkan pada hal yang mendukung mereka (anak-anak) agar nantinya bisa melsnjutkan pendidikan tinggi sesuai jangkauan mereka.

Dapat diakui, penyataan bahwa Pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier seperti menjadi simalakama bagi pihak terkait khususnya pemangku kebijakan. Bagaimana semua golongan rakyat ini bisa pandai bila semua menjadi mahal, hal ini berbading terbaik dengan pernyataan pemimpin negara ini yang heran mengapa lulusan pendidikan tinggi ini sedikit, berbeda dengan negara lain.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan dan disarankan untuk anak, apabila anak dengan terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan tinggi, antara lain:

1. Mengikuti kursus

Kursus yang dimaksud disini adalah kursus untuk bidang yang dicari dalam dunia kerja, sehingga anak bisa memiliki keahlian dan pengalaman di bidangnya.

Setelah kursus maka anak bisa bekerja atau berusaha sendiri, dan bila masih ingin melanjutkan pendidikan tinggi, anak bisa menyisishkan uangnya untuk biaya kuliah tanpa mengkhawatirkan biaya kuliahnya.

2. Mengeksplor bakat, minat dan passion yang dimiliki

Saat ini adalah dunia digital, yang membuat anak jaman now sangat memahami teknologi digital. Bila memang masih belum memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi karena biaya, maka anak bisa diarahkan untuk membuat konten yang bisa dimonetize.

Hasil dari monetize itu bisa disihkan untuk biaya kuliahnya nanti. Orang tua harus mendorong, bahwa pendidikan tinggi meskipun kebutuhan tersier, masih sangat penting untuk masa depan.

3. Mulai mempelajari bahasa asing

Selain kursus untuk mendapatkan pengalaman kerja, anak bisa belajar bahasa asing, sehingga secara tidak langsung akan memiliki nilai plus.

Bahasa asing tidak hanya bemanfaat untuk bekerja saja, namun bisa berguna bila ingin membuat konten yang bisa dimonetize, bahkan anak bisa belajar bahasa asing melalui online yang tentu saja biayanya sangat murah.

4. Membuka usaha

Selain berbagai hal di atas yang bisa dilakukan, membuka usaha menjadi jalan atau solusi yang banyak dilakukan anak muda saat ini.

Tidak perlu malu, karena ternyata membuka usaha kecil-kecilan bisa menjadi jalan bagi mereka untuk bisa cepat kaya dan sukses.

Itu dia sedikit catatan tentang "Saat Pendidikan Difokuskan di Pendidikan Dasar, Namun Syarat Kerja S1". Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun