Di media sosial khususnya Twitter, kita sering menemui kata atau kalimat yang menyerukan penegakan paham khilafah. Bahkan, kalimat tersebut kerap mewarnai tren populer di halaman Twitter. Saat ini, kaum radikal memanfaatkan ruang-ruang siber demi meneror musuh-musuh untuk menyebarkan ideologinya. Kemudian, beredarnya informasi hoaks di sejumlah media, menjadi faktor pendukung untuk menggemukkan dan memperluas aksi-aksi teror yang dilakukan kelompok radikal. Oleh karena itu, kita semua harus mewaspadai penyebaran paham radikal di media sosial yang dilakukan kelompok radikal.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memang sebuah keharusan bagi kehidupan manusia. Namun, ilmu tersebut akan menjadi ancaman, jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik dan bijak. Terlebih, apabila media sosial telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan ujaran kebencian dengan mengadu domba setiap pengguna internet. Propaganda yang dilakukan kaum radikal sangat bahaya sekali, mereka kerap memanfaatkan situasi dan keadaan negeri.Walaupun situasi dan kondisi terpantau aman dan kondusif, tetapi kita harus tetap waspada dari berbagai ancaman. Karena ancaman akan selalu mengintai kita dari berbagai penjuru.
Senada dengan Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, menurutnya, dunia maya telah menjadi domain untuk perekrutan generasi radikal dan teroris, yang juga memanfaatkan media sosial sebagai alat propaganda kaum radikal. Dia juga menyatakan, bahwa kekuatan internet dan medsos ini untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme. Maksudnya adalah perkembangan teknologi telah melahirkan senjata baru berbentuk senjata siber, internet, dan media sosial. Maka itu, kita harus mewaspadai propaganda mereka.
Saat ini, penggunaan internet sangat disukai oleh para teroris, karena dapat mendoktrin mereka dengan mudah dan cepat. Biasanya media sosial digunakan beberapa kelompok untuk memengaruhi orang lain yang belum memiliki pemahaman mengenai paham yang akan disebarkannya. Bahkan bahayanya lagi, kaum radikal bisa memanfaatkan media sosial untuk melakukan pendanaan kegiatan dan aksi-aksi teror. Misalnya mereka melakukan modus penggalangan dana, amal, dan sebagainya melalui organisasi yang berafiliasi dengan kelompoknya. Untuk itu kita harus mewaspadai pendanaan aksi teror melalui sumbangan atau donasi.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga selalu mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai akan bahaya propaganda melalui konten penyebaran paham radikalisme di media. Menurut Boy Rafli Amar, "peningkatan kewaspadaan ini harus dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Kesiapsiagaan perlu terus dilaksanakan, karena hingga kini masih banyaknya narasi kebencian dengan konten propaganda yang tersebar di media sosial maupun kegiatan offline yang dinilai dapat memecah belah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari waktu ke waktu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menangkap sejumlah terduga pelaku radikalisme dan terorisme. Dari sini membuktikan, masih maraknya penyebaran paham radikalisme yang menjurus ke terorisme. Sepanjang tahun 2020 saja, Polri telah menangkap ratusan terduga teroris. Belum lagi pada awal tahun 2021, Polri telah melakukan penangkapan terduga teroris mantan anggota Front Pembela Islam (FPI).
Di negeri ini sendiri, terdapat sejumlah kelompok masyarakat yang terbukti menjadi organisasi radikal. Seperti FPI dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lalu ada juga Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang masuk negeri ini. Bahayanya lagi, ISIS telah memiliki banyak pengikut lokal berbentuk kelompok-kelompok jihadis terorisme. Selain melakukan aksi nyata teror, kelompok pengikut ISIS juga melakukan propaganda melalui media. Di samping itu, untuk FPI dan HTI, kedua organisasi tersebut secara resmi sudah dibubarkan dan dilarang keberadaannya oleh pemerintah. Namun, yang harus kita waspadai dari mereka adalah gerakan bawah tanahnya dan gerakan jihad media sosialnya yang bisa mencuci otak warganet untuk menjadi pengikut barunya, begitu pula dengan ISIS.
Untuk membendung penyebaran paham-paham tersebut, maka pemerintah dan masyarakat harus selalu melakukan kerjasama agar gerak-gerik radikalisme dapat terpantau dengan jelas. Kemudian, masyarakat perlu tetap kritis terhadap peredaran informasi hoaks dan doktrin di tengah kehidupan yang berbhineka ini. Jangan mudah percaya terhadap segala informasi yang diragukan kebenarannya. Apabila kita menemukan berita yang mengandung provokasi dan adu domba, maka masyarakat diharuskan untuk melaporkan ke pihak berwajib agar tidak menimbulkan kerusuhan jangka panjang.
Sementara itu, media sosial merupakan alat yang digunakan untuk kebutuhan informasi dan komunikasi. Media sosial banyak memiliki manfaat, tetapi sisi negatifnya juga melimpah. Saat ini, semakin banyak informasi yang tersebar secara bebas melalui internet, maka kita juga akan dengan mudah menemukan berita dan informasi. Oleh karena itu, kita perlu pandai memfilter dan memverifikasi keaslian dan keakuratan berita itu.
Maka itu, kita harus pastikan kevalidan sumber informasi tersebut dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang sumbernya tidak jelas agar tidak terjerumus. Dengan demikian, kita harus mewaspadai penyebaran paham radikal di media sosial, karena alat tersebut telah menjadi senjata baru kelompok radikal untuk menebar propaganda, adu domba, hoaks, dan segala bentuk kebencian lainnya.
Artikel ini pernah diupload di Kadrun.id
Kunjungi juga Kadrun.id dan Kadrun TV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H