Pemilihan serentak selama ini dianggap dapat merugikan kandidat perempuan dalam pemilihan legislatif karena seluruh pemilih hanya akan memusatkan pilihannya pada kampanye presiden, sehingga mempersulit perempuan untuk menerobos publik dan mencapai perhatian yang mereka butuhkan.
Akan tetapi pada tahun 2019 hasil yang dicapai dari Pemilu serentak justru peningkatan signifikan keterwakilan perempuan di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, DPR). Sebanyak 120 perempuan terpilih menjadi anggota badan nasional, mengambil 20,9% kursi (Komisi Pemilihan Umum, 2019).
Penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden serentak 2019 untuk pertama kalinya merupakan inovasi signifikan dalam sistem pemilu Indonesia. Bisa diasumsikan perubahan ini juga akan berdampak pada keterwakilan perempuan. Beberapa kandidat mengatakan bahwa pemilu serentak memberikan beban ganda pada kandidat, mengharuskan mereka untuk mempromosikan tidak hanya pencalonan individu dan partainya tetapi juga kandidat presiden yang didukung oleh partainya.
Dua alasan mengapa pemilu serentak dianggap merugikan caleg perempuan :
- Pemilu serentak berpotensi meningkatkan beban kampanye yang dialami oleh calon secara signifikan
- Menyangkut stereotipe Pemilih
Memetakan Hasil Untuk Perempuan
Untuk menganalisis hubungan antara hasil pemilu serentak dengan pemilu tahun 2019 guna memetakan hasil kandidat calon legislatif perempuan, perlu dikaji hubungan antara hasil pemilihan presiden dan parlemen secara lebih rinci. Antara lain dengan langkah berikut :
- Menjajaki angka keterwakilan perempuan di antara dua koalisi partai pendukung masing-masing pasangan calon presiden
- Melihat sebaran geografis caleg perempuan terpilih dan menganalisis bagaimana persebaran tersebut berkaitan dengan peta elektoral dalam pemilihan presiden
Dampak Pemilu Serentak dengan Kampanye Perempuan
Pelaksanaan Pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang dilakukan secara serentak membawa dampak positif bagi kampanye perempuan itu sendiri.
Mekanisme utama yang menghubungkan antara pemilihan serentak dengan keberhasilan lebih besar yang di dapatkan oleh calon legislatif perempuan adalah dalam kampanye presiden ikut memberikan kesempatan pada calon legislatif perempuan untuk membangun hubungan dengan pemilih yang mungkin tidak tertarik dengan pendekatannya atau mungkin selama ini meragukan kapasitasnya.
Akan tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya bisa berlaku, kandidat legislatif perempuan yang berada pada Daerah Pemilihan Presiden lemah harus menyusun strategi kampanyenya sendiri untuk mencapai kemenangan. Kandidat legislatif perempuan juga harus bisa berimprovisasi untuk menarik massa.
Kesimpulan
Representasi politik perempuan dipengaruhi oleh faktor desain sistem pemilihan dan sumber daya yang bisa di mobilisasi oleh kandidat perempuan. Faktor-faktor ini tentu saling berkaitan, bagaimana kandidat perempuan juga harus membuat strategi guna menarik hati para pemilih.
Pemilihan serentak yang menggabungkan antara pemilihan presiden dengan pemilihan legislatif menjadi peluang yang amat besar bagi kandidat calon legislatif perempuan.
Faktor kelembagaan dapat meningkatkan keterwakilan politik perempuan. Selama ini banyak kajian terkait keterwakilan perempuan hanya di titik beratkan pada sistem affirmative action mulai dari pencadangan kursi, sistem resleting dan kuota. Tetapi alternatif lain juga membuktikan, dilaksanakannya Pemilu serentak menghasilkan coattail effect yang dapat membantu meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di tingkatan legislatif nasional.
Meskipun terdapat peningkatan partisipasi politik perempuan, representasi perempuan masih cenderung rendah. Kesenjangan gender masih terjadi dalam semua bentuk sumber daya yang dibutuhkan kandidat untuk suksesi politik, termasuk keuangan dan sumber daya, akses ke jaringan elit, dan pengalaman kepemimpinan politik.Â
Penerapan affirmative action juga masih berdampak pada ketidaksetaraan gender. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa sikap patriarki masih menjadi masalah besar.Â
Penelitian juga menunjukkan bahwa politik klientelistik cenderung merugikan perempuan mengingat dominasi laki-laki di jejaring sosial informal yang melakukan perantara peran dalam politik klientelisme. Pengalaman Indonesia juga menunjukkan pada kehadiran yang berpusat pada perempuan dan modal homososial sebagai alternatif menuju kekuasaan bahkan dalam konteks klientelistik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI