Sejak bergulirnya kasus film "Surat dari Praha" yang dianggap plagiasi atas judul yang sama, buku karya Pak Yusri Fajar, salah satu dosen FIB Universitas Brawijaya Malang; saya pun sangat akrab dan kenal beliau, karena sering berdiskusi dan bertemu dengan beliau. Saya juga memantau proses yang terjadi atas permasalahan tersebut. Karena memang judul film yang dipakai sama persis dengan buku yang ditulis oleh pria kelahiran 1977 tersebut. Hingga permasahan ini bergulir.
Terlebih saat saya menonton salah satu liputan di Net Tv, yang menyebutkan bahwa Glenn Fredly selaku produser film tersebut, mengaku bahwa film yang digarap oleh salah sutradara muda, Angga Dwimas Sasongko itu, adalah benar-benar karya kolaborasi mereka berdua, bukan mengambil cerita dari buku yang ditulis Pak Yusri tersebut. Ditambah ramainya media menayangkan kasus kontroversi film tersebut. Saya pun dibuat penasaran. Hingga saya mencoba melihat proses permasalahan yang terjadi.
Memang, saya belum membaca kumpulan cerpen "Surat dari Praha", karena memang buku itu kini tak beredar lagi, bila ingin membaca, itu pun harus menemui beliau, untuk meminjamnya, atau langsung pesan ke penerbit, saat saya tanyakan kepada Pak Yusri, memang itu adalah kisah yang ia tulis saat beliau studi S2 di Jerman. Dan kisah dalam film "Surat dari Praha" sama persis, yakni menceritakan tentang seorang mahasiswa Indonesia eksil yang sedang studi di Praha, atas nama situasi politik, pasca pergantian presiden Soekarno ke Soeharto, mereka tak mendapatkan hak kewarganegaraan, hingga mengharuskan mereka "terlunta-lunta" di negeri orang. Dan ini pun sama dengan tulisan di buku "Surat dari Praha". Entahlah, ini memang atas ketidaksengajaan atau tidak.
Kemarin, (27/1), saya mencoba menghubungi Pak Yusri via WhatsApp, sekedar bertanya kabar, karena lama saya tak bertemu beliau, dan juga menanyakan perihal permasalahan kontroversi film "Surat dari Praha", beliau pun menjawab, bahwa kasus ini masih dalam tahap dialog dan mencari titik temu, agar permasalahan ini segera ditemukan solusinya.
Dan hari ini (28/1), film "Surat dari Praha" akan tayang di bioskop seluruh Indonesia. Saya sangat penasaran atas karya ini, apalagi ditambah "kontroversi"-nya, yang dianggap melakukan plagiat, meski belum terbukti, dan masih dalam tahap dialog, tapi sangat "ironi" bila memang terbukti kisah dalam film itu sama dengan buku tersebut. Dan tak melakukan konfirmasi atas nama "proses kreatif" dalam sebuah penggarapan karya seni.
Pun sebenarnya, apabila dirunut, bahwasanya dalam dunia seni kreatif, terutama sastra, dari buku diubah ke dalam film, disebut dengan ekranisasi. Proses tersebut juga membutuhkan tahap yang panjang, hingga karya tersebut diangkat ke layar lebar. Biasanya yang sering diangkat, yakni sebuah novel, dan difilm-kan, seorang produser pun seharusnya bila mengambil kisah dan judul yang sama dengan buku yang akan difilmkan, tentunya harus mengkonfirmasi penulis buku tersbut, karena atas nama profesionalitas dan hak cipta. Tentu tidak dibearkan melakuakn tindak palgiasi atas sebuah karya, baik dalam bentuk tulisan, visual, audiovisual, gambar, ataupun karya yang lain.
Dan inilah yang terjadi dalam dunia seni kreatif, sebuah tindakan plagiasi, tentunya sebuah "kasus" penyelewengan, dalam bingkai karya. Itu akan berimplikasi besar, dan tentunya harus diperbincangkan dan dicari "titik temu" yang profesional dan tak saling mengklaim, bahwa itu semua adalah sebuah "buah pikiran" yang nyata-nyatanya adalah sebuah proses penyalinan, tanpa ada konfirmasi kepada penulis atau si pembuat karya tersebut.
Ya, sebagai penikmat dan pemerhati sebuah karya, tak lepas kita melakukan apresiasi, juga melakukan "tanggung jawab" moral, bila memang menjadikan karya orang lain milik salah satu pribadi, tanpa adanya perbincangan yang baik, dan tak mengindahkan atas buah pikiran dan karya yang telah ditulis, dari si pemiliknya.
Dan atas nama etika dunia kreatif, jelas itu menyalahi aturan dan profesionalitas. Sungguh ironis. Bila tak mau memberikan "penghargaan" yang baik kepada seseorang seniman, atas buah karya yang ditulis, bila memang itu mengambil kisah dari seniman tersebut. Ini adalah realita yang terjadi dalam dunia "seni kreatif", tentunya harus disikapi dengan baik, melalui sikap respon positif, dialog dan titik temu kedua belah pihak.
Semoga permasalahan ini bisa segera teratasi, dan sebagai salah satu orang yang mengenal baik penulis buku "Surat dari Praha", saya turut melakukan dukungan moral, dalam tulisan ini, untuk Pak Yusri Fajar. Dan kepada semua pegiat seni kreatif, saya berharap besar agar dapat menempatkan diri dan berkreasi seni dengan baik, tanpa melakukan plagiasi seperti ini, bila memang terbukti kebenarannya.
Â