Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Tak Pernah Kapok...

28 Agustus 2011   14:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_132031" align="alignnone" width="300" caption="Sumber Ilustrasi detik.com"][/caption] KITA sungguh-sungguh prihatin mendengar kematian yang begitu besar di jalan raya, terutama pada libur lebaran. Setiap hari ada saja kabar orang mati, minimal terluka, akibat kecelakaan lalulintas itu. Satu fakta lagi, korban yang berjatuhan dan mati sia-sia itu umumnya pengendara sepeda motor. Betapa ganasnya jalan raya. Tetapi, kita tentu saja tidak boleh menyalahkan benda mati itu. Sebab, berbagai musibah dan tragedi lalulintas selalu akibat kesalahan kita, para pengguna jalan. Kelihatan sekali, disiplin berlalulintas kita masihlah buruk. Terbukti, angka korban kecelakaan di jalan raya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebuah survei pada tahun 2004 menemukan, kesalahan pengendara menyumbang 90,3 persen penyebab kecelakaan lalulintas. Faktor kendaraan, misalnya soal laik jalan, hanya berkontribusi 4,03 persen. Lalu disusul, kelalaian pejalan kaki hanya 3,5 persen sebagai penyebab musibah di jalan raya itu. Sedangkan kondisi jalan yang dituding sebagai salah satu penyebab kecelakaan, justru memberi sumbangan paling kecil, cuma 2,58 persen. Kita mengemukakan angka-angka ini untuk menyadarkan kita, para pengendara, mestinya mawas diri. Bahwa, kita memang belum benar-benar peduli terhadap keselamatan berkendara. Dalam soal penggunaan helm, misalnya. Banyak orang memakai pengaman kepala itu belum untuk melindungi diri dari kecelakaan, melainkan demi selamat dari kejaran polisi. Motor tidak didesain untuk ditunggangi jarak jauh. Kendaraan roda dua ini juga dirancang hanya untuk dua penumpang: satu pengendara dengan satu pembonceng. Tetapi, di negara-negara berkembang seperti Indonesia ketentuan itu dengan seenaknya dilanggar. Pada arus mudik lebaran kita gampang memergoki motor umumnya mengangkut lebih dari dua orang. Juga untuk dipakai jarak jauh. Berkendara, di manapun, punya risiko tinggi untuk celaka. Kurangnya disiplin menyebabkan risiko itu segera menjadi bencana. Apalagi, secara psikologis orang memang cenderung agresif ketika berkendara. Menjadi tidak sabaran serta gampang memaki. Maka, kecuali bertabrakan atau terperosok jurang, pengendara juga kerap bertengkar dan berkelahi dengan pengendara lain oleh sebab agresivitas tadi. Imbauan mengenai pentingnya disiplin berkendara sesungguhnya sudah bukan barang baru. Tetapi, bangsa kita agaknya memang tidak mempan diberi peringatan. Karena itu, tidak ada jalan lain, aturan dan disiplin berlalulintas yang wajib ditegakkan. Polisi tidak boleh lagi membiarkan pelanggaran lalulintas. Kita tidak ingin makin banyak lagi rakyat ini, para keluarga kita itu, tewas sia-sia di jalan raya. *** YA, penegakan disiplin barangkali menjadi terapi paling jitu dalam meminimalisasi korban kecelakaan lalulintas. Ketika orang tidak bisa dipersuasi, maka yang mesti diayun biasanya langkah imperatif. Semua pengendara dan pengemudi yang potensial mengancam keselamatan jiwanya sendiri dan nyawa orang lain, wajib dihukum. Kita melihat, penumpang motor bisa celaka juga sering disebabkan pengemudi yang ugal-ugalan. Terutama para sopir bus. Para pengemudi mobil besar ini memang umumnya menjadi raja jalanan. Sudah tak terhitung nyawa melayang di jalan raya oleh sebab kebrutalan sopir bus. Untuk memperoleh lisensi mengemudi, para pengemudi itu wajib mengikuti uji kejiwaan yang serius. Terutama mengenai persepsi mereka soal keselamatan berkendara. Manakala untuk memperoleh atau memperpanjang izin mengemudi masih segampang sekarang, sulit diharap kita mampu menekan angka kecelakaan lalulintas. Kita senantiasa ngeri melihat besarnya angka kematian akibat kecelakaan lalulintas di Indonesia. Musibah ini telah menjadi pembunuh nomor tiga setelah penyakit jantung dan stroke. Setiap tahun, tidak kurang 30 ribu jiwa melayang di jalan raya. Sedangkan yang luka-luka mencapai 2,5 juta orang. Kerugian materiil akibat kecelakaan itu juga tergolong raksasa. Yakni mencapai Rp41 triliun atau setara dengan 2,1 persen pendapatan domestik regional bruto Indonesia. Dengan angka itu, Indonesia menempati posisi teratas di kawasan Asia Tenggara mengenai kematian berkendara. Sementara kasusnya terus meningkat seiring naiknya jumlah kendaraan dan produksi motor di Tanah Air yang meledak sejak tahun 2001. Realitas itu menggambarkan betapa tidak amannya berkendara di negeri ini. Selain kerugian harta benda, tingginya angka kecelakaan maut itu serta merta memerosotkan tingkat kesejahteraan rumah-tangga. Sebab, musibah tersebut umumnya menimpa orang yang menjadi tulang punggung keluarga. Oleh sebab itu, masyarakat dan negara patut ikut memikirkan cara mengerem jumlah kecelakaan lalulintas. Negara mesti mengambil inisiatif untuk mengurangi korban bertumbangan di jalan raya. Penegakan terhadap disiplin berlalulintas agaknya menjadi langkah awal yang mesti diayun. Jika negara, lewat para abdinya, tidak menegakkan aturan sama artinya dengan membiarkan rakyat mati sia-sia. Kita percaya, kecelakaan lalulintas lebih disebabkan oleh mental pengguna jalan, bukan akibat kurangnya infrastruktur transportasi. Lihat saja, jalan tol yang begitu tertata justru menyebabkan angka kecelakaan meningkat. Maka dari itu, perbaikan mental itulah yang mendesak dilakukan. Ketika cara-cara persuasif berupa imbauan sudah tidak mempan, mau tidak mau harus ditempuh langkah-langkah imperatif. Memang, cara ini tidak bijaksana. Sebab, di negara–negara demokrasi yang warganya sudah dewasa disiplin itu muncul atas kesadaran pribadi, bukan akibat paksaan negara. Tetapi, kalau langkah ini yang paling mungkin ditempuh, maka mau tidak mau itulah yang harus dipilih. Apapun risikonya. *** PENGENDARA motor merupakan korban terbanyak kecelakaan lalulintas. Tetapi kita menghadapi dilema dalam mengatasi ini, terutama saat mudik lebaran. Orang tidak begitu saja gampang dilarang mudik pakai moda transportasi yang paling tidak aman itu. Pemudik tidak mudah diarahkan untuk menggunakan moda angkutan massal, seperti bus dan kereta api. Banyak orang memilih menggunakan motor untuk pulang kampung dengan alasan lebih praktis dan tentu saja murah. Kemudian, pada perjalanan mudik, mereka juga aman dari risiko kena tilang. Sebab, atas nama toleransi, polisi memang biasa mengendurkan aturan bagi pemudik. Mereka tak harus mengantre tiket dan mesti bersitegang dengan para calo karcis yang senang mengail di air keruh. Padahal, motor tidak dirancang untuk dikendarai jarak jauh. Apalagi dengan muatan berlebihan. Maka, kecelakaan motor terus menerus terjadi. Lalu, nyawa-nyawa kembali harus melayang sia-sia. Kita, setiap tahun selalu melewati suasana libur idul fitri dengan ironi. Pada momentum bergembira itu, kita justru harus terus menerus disuguhi kabar duka mengenai warga yang meregang nyawa di jalan. Kisah sedih inilah yang tidak lagi mau kita dengar atau paling tidak kecelakaan itu bisa terus menurun bobot dan jumlahnya. Pemerintah, lagi-lagi wajib mengambil peran dalam menjamin penurunan angka kecelakaan lalulintas itu. Salah satu yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sistem transportasi yang memadai. Diperlukan angkutan umum dalam jumlah cukup dan tarif yang bersahabat dengan daya beli masyarakat. Ini untuk mengalihkan  minat masyarakat dari mudik menggunakan motor ke angkutan umum. Lalu, untuk menjamin kelancaran mudik, polisi dan instansi perhubungan mesti siaga 24 jam di simpul-simpul kemacetan dan daerah rawan kecelakaan. Ini paling tidak mulai H-7 hingga H+7 lebaran. Kita tahu, kemacetan lalulintas selama mudik tidak selalu akibat jalan raya seperti menjadi lebih sempit oleh sebab kendaraan yang berjubel. Melainkan, lagi-lagi akibat disiplin berkendara yang masih rendah. Semua orang minta prioritas karena tak sabar hendak cepat sampai tujuan. Maka, main terabas jalur biasa dilakukan. Lantaran begitu banyak kendaraan melanggar jalur, terciptalah kemacetan itu. Padahal, jika masing-masing pengendara berdisiplin kendaraan dapat terus bergerak. Memang, tidak akan bisa mengebut seperti keadaan normal karena jumlah kendaraan yang menggunakan jalan naik berkali-lipat. Tetapi tidak akan ada kemacetan sampai berjam-jam itu. Dengan demikian, secara jujur dikatakan, keruwetan, biaya tinggi, serta korban jiwa berjatuhan selama mudik, tidak lain karena kesalahan kita sendiri. Karena kita tidak mau disiplin, Karena kita tidak sabaran. Kita masih jauh dari mental orang beradab ketika berkendara. Tombol klakson begitu gampang dipencet untuk mendesak-desak minta prioritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun