[caption id="attachment_91172" align="alignleft" width="327" caption="Makin makin menjadi-jadi. Foto kemacetan di Pelabuhan Bakauheni, Lampung. (Sumber: LTV)"][/caption] KEMACETAN di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni-Merak makin parah saja. Dulu, arus penumpang dan kendaraan hanya tertahan pada saat-saat tertentu, misalnya ketika menghadapi mudik lebaran. Akan tetapi, sekarang kemacetan terjadi hampir setiap hari. Celakanya, sejauh ini kita tak pernah mendengar ada rencana dari otoritas pelabuhan mengatasi masalah yang merugikan banyak pihak itu. Sungguh, kita tak habis mengerti cara Pelabuhan Bakauheni dan Merak dikelola. Pemerintah dan PT ASDP seperti tak punya niat membenahi sistem pelayanan di pelabuhan penyeberangan paling padat di Indonesia itu. Sama sekali tidak pernah dipikirkan dampak negatif yang timbul akibat pelayanan yang buruk tersebut. Ada dugaan yang masih patut dibuktikan keabsahannya bahwa kemacetan di Pelabuhan Bakauhen dan Merak itu sepertinya memang disengaja. Sebab, ada oknum-oknum yang diuntungkan atas tersendatnya arus lalu-lintas laut tersebut. Konon, seorang sopir terpaksa memberi uang pelicin hingga 200 ribu rupiah demi mendapat prioritas diseberangkan. Sopir rela menyuap petugas pelabuhan karena mereka tak mau berlama-lama di kantong parkir yang menghabiskan waktu dan uang jalan. Kecuali itu, para sopir tak mau barang yang mereka angkut keburu busuk atau mendapat komplain dari pelanggan akibat barang terlambat dikirim. Pemerintah dan pihak PT ASDP mesti segera dapat mengatasi kemacetan di Pelabuhan Bakauhen-Merak ini. Sebab, kelambatan dalam penanganannya dipastikan segera memperburuk keadaan. Jangan lupa, setidaknya ada 15 provinsi, 10 di Sumatera dan 5 di Jawa yang memanfaatkan jalur penyeberangan Selat Sunda itu. Provinsi-provinsi itu membutuhkan arus lalu-lintas yang lancar demi memacu pertumbuhan ekonomi mereka. Angkutan feri tentu saja akan selalu menjadi transportasi paling ideal untuk menghubungkan Sumatera dan Jawa. Dengan pelayaran yang lancar maka perdagangan antar-pulau dapat ditumbuhkan secara serentak dan paralel. Begitupun sebaliknya, ketika lalu-lintas macet, kita dapat melihat kematian perekonomian dari kota-kota besar di Indonesia. Kita terus terang tak ingin lagi mendengar alasan yang tidak masuk akal mengenai penyebab kemacetan di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni-Merak. Selama ini pihak otoritas pelabuhan biasa mengambing-hitamkan cuaca sebagai penyebab macetnya arus barang dan orang di Selat Sunda. Padahal, kita semua tahu, penyebab utama dari masalah itu adalah kapal yang dioperasikan hampir semuanya tidak laik jalan. Lihat saja, kapal feri berkali-kali kandas akibat rusaknya sistem kelistrikan mesin haluan kapal. Yang terakhir adalah musibah terbakarnya Kapal Laut Teduh yang menewaskan belasan orang. Sulit dibantah bahwa hampir semua kapal yang melayani rute Bakauheni-Merak memang tidak layak jalan. Selama ini penyeberangan Bakauheni-Merak dilayani 22 feri, delapan di antaranya buatan tahun 1970-1979. Ada 13 yang buatan tahun 1980-1989. Cuma satu yang relatif baru, buatan tahun 1990, KMP Prima Nusantara. Penggunaan kapal rongsok itulah yang menyebabkan pelayaran di Selat Sunda menjadi tidak lancar. Sudah tidak bisa dikebut. Jalur Merak-Bakauheni yang bisa ditempuh dalam waktu satu jam, terpaksa memakan tempo rata-rata 2,5 jam. Bahkan, sepanjang bulan Januari ini waktu tempuh menjadi 3-5 lima jam. Bukan sekali dua kali kapal harus mati mesin di tengah laut. Ini jelas sebuah ironi transportasi laut bagi negeri yang menasbihkan diri sebagai negara maritim. Atas kemacetan yang sekarang, pihak PT ASDP menyebut pemeriksaan manifes sebagai penyebabnya. Memang, usai insiden terbakarnya KMP Laut Teduh, pihak pelabuhan mendata identitas seluruh calon penumpang kapal. Petugas menanyakan dan mencatat nama, jenis kelamin, umur dan alamat setiap penumpang yang melintasi pintu masuk elektrik. Kebijakan ini jelas tidak relevan. Sebab, bahkan penumpang pesawat terbang hanya mencatatkan namanya di tiket. Lalu, tidak pernah ada persoalan dalam urusan klaim asuransi ketika terjadi kecelakaan pesawat. Mendata manifes kapal jelas pekerjaan mubazir. Kendati demikian, urusan tersebut tidaklah akan menyebabkan penundaan keberangkatan kapal sampai berjam-jam. Kita ingin pemerintah dan PT ASDP jujur bahwa memang ada masalah terhadap kapal-kapal yang dioperasikan di Selat Sunda. Kemudian, dengan serius meremajakan armada pelayaran tersebut. Bahkan, kebijakan ini sesungguhnya sudah harus dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Sudah terlambat, oleh sebab itu, jangan sampai ditunda-tunda lagi. Sungguh, banyak orang berharap terbangunnya Jembatan Selat Sunda lantaran hingga sekarang pelayanan angkutan feri di sana buruk sekali. Padahal, semua kita sudah ingin pembangunan perekonomian Sumatera-Jawa dapat disinergikan. Dan, itu tidak bakal terwujud dengan sistem pelayanan pelabuhan feri yang terengah-engah seperti sekarang. Oleh sebab itu, agar Selat Sunda tidak lagi menjadi leher botol arus kendaraan, sekarang tinggal tersisa dua pilihan. Pertama, mengganti kapal feri dengan armada yang layak pakai. Dengan ini kita bisa membuang mimpi membangun Jembatan Selat Sunda yang berbiaya mahal itu. Kedua, mempercepat pembangunan Jembatan Selat Sunda. Dengan demikian, 22 kapal feri yang sudah sepuh itu bisa dikaramkan untuk menjadi rumpon pengganti terumbu karang. Para pemilik kapal tidak akan rugi kalau harus menghentikan operasional kapal-kapal tua milik mereka. Sebab, nilai ekonomi kapal-kapal itu memang sudah habis setelah sekian lama dipakai menyedot uang. Mengganti armada kapal feri atau percepat Jembatan Selat Sunda, salah satu pilihan itu harus diambil. Itu kalau pemerintah memang serius hendak membangkitkan perekonomian pusat-pusat pertumbuhan di Jawa dan Sumatera secara sinergi dan paralel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H