Mohon tunggu...
Firman Seponada
Firman Seponada Mohon Tunggu... -

Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh.....

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kutukan Industri Tapioka

11 April 2010   17:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 2846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_116216" align="alignleft" width="300" caption="Limbah tapioka, mengandung sianida dan mengancam warga. (Dok: Roy MP/Lampung TV)"][/caption] PABRIK-pabrik tapioka di Lampung terus menunjukkan kutukannya. Sekarang, di Gunungsugih, Lampung Tengah, banyak warga tidak bisa meminum air sumur karena tercemar. Mereka menuding PT Budi Sakura Starch dan Budi Acid Jaya sebagai biang keladi. Dua perusahaan pengolah singkong ini membuang limbah di kolam penampungan yang kemudian merembes ke sumur-sumur warga. Setelah 10 tahun diam saja, kini warga mulai marah. Mereka menutup akses jalan sehingga dua perusahaan itu terpaksa stop beroperasi. Warga menuntut perusahaan bertanggung-jawab atas pencemaran itu. Di antaranya dengan mendesak bak pembuangan limbah dekat permukiman warga, supaya diperbaiki. Mereka juga meminta perusahaan membuat dua sumur bor untuk memasok air bersih bagi 21 kepala keluarga. Warga Kampung Buyutilir, Gunungsugih itu juga meminta perusahaan membayar Rp337 juta. Uang itu sebagai ganti kerugian karena selama 10 tahun mereka terpaksa membeli air bersih oleh sebab sumur tak bisa dikonsumsi. Tuntutan terakhir, warga meminta perusahaan memperbaiki jalan kampung yang rusak akibat aktivitas kendaraan perusahaan. Sungguh, kita memang risau atas beroperasinya banyak pabrik tapioka di daerah ini. Dari berbagai studi, manfaat ekonomi dari industri berbahan baku singkong itu tidak sebanding dengan dampak kerusakan yang dihadirkannya. Selalu, bisnis ini hanya membikin makmur para pengusaha. Belum ada rakyat sejahtera dari usaha ini karena diganjal kartel yang dibangun pengusaha besar. Pemerintah daerah juga tidak memperoleh pendapatan signifikan dari sektor ini. Yang terjadi justru kerugian teramat besar harus diderita daerah dan masyarakat. Sebab, lingkungan hidup rusak berat akibat pola monokultur ubi kayu yang haus lahan. Kita tahu, singkong menyedot dengan sangat rakus unsur hara. Akibatnya tanah menjadi kurus, tandus, dan berujung pada erosi. Iming-iming keuntungan materi, memaksa sebagian masyarakat mengonversi ladang-ladang mereka menjadi kebun singkong. Sebagian lagi menjarah hutan secara besar-besaran. Membabati pepohonan dan mulai menanam ubi kayu. Akibatnya, kawasan yang dulunya hutan berubah menjadi titik rawan longsor yang melenyapkan sumber-sumber air. Berkurangnya hutan kemudian segera menyebabkan sungai-sungai menjadi dangkal. Arusnya melemah akibat dibendung lumpur dan kekurangan pasokan air menyusul menyusutnya mata-mata air. Sungai kekeringan pada musim kemarau. Sebaliknya menjadi sumber bencana banjir bandang pada musim penghujan. Jalan-jalan provinsi, kabupaten, dan desa juga rusak berat dilindas truk-truk pengangkut singkong. Maklum, jalan yang dibikin hanya kuat menahan beban maksimal delapan ton, tetapi dipaksa menyangga mobil bermuatan 25 ton. Dan, perbaikan jalan rusak itu anggarannya dari dana publik. Bukan dari para pengusaha yang justru biang perusaknya. *** [caption id="attachment_116220" align="alignright" width="300" caption="Dari kolam, air limbah beracun seenaknya dibuang ke sungai. (Dok: Roy MP/Lampung TV)"][/caption] KITA hampir tidak pernah mencium udara segar ketika melintas di Lampung Tengah, Lampung Utara, Lampung Timur, dan Tulangbawang. Aroma busuk dari limbah tapioka sudah begitu mencemari udara. Tetapi, sesungguhnya, bau busuk dari bahan buangan pabrik tapioka, bukanlah yang paling berbahaya. Masalah besar bersumber dari sianida yang terlarut dalam air sungai dan menguap ke udara. Sianida, kita tahu, adalah zat berbahaya. Bahan kimia ini yang dulu dipakai Hitler untuk membunuh secara massal kaum Yahudi di Jerman. Limbah cair mengandung sianida itu dihasilkan dari proses pembuatan tapioka, mulai dari pencucian bahan baku sampai proses pengendapan pati. Kecuali limbah cair, industri tapioka juga memproduksi sampah padat. Yakni, singkong yang tak terparut, kanji berkualitas jelek, dan onggok. Semuanya mengandung bahan yang mengancam itu: sianida. Penanganan yang sembrono selama ini, telah menyebabkan kotoran cair dan padat itu mencemari sumur, sungai dan udara. Merosotnya kualitas sungai-sungai di Lampung, dapat dijelaskan dari sudut pandang ini. Sungai yang dulunya besar dan berair bersih, sekarang banyak yang menciut dan kotor. Mereka sedang meratap karena pabrik-pabrik yang berdiri di dekatnya seenaknya menggelontorkan limbah dan mencemari air. Sungguh, sebuah kerugian amat besar bagi rakyat dan daerah ini. Atas nama manfaat ekonomi jangka pendek, kita harus kehilangan manfaat jangka panjang. Sungai tidak lagi bisa dikonsumsi, bahkan untuk sekadar mandi, cuci, dan kakus. Padahal, secara tradisional, masyarakat memanfaatkan sungai bagi berbagai keperluan. Seperti untuk air minum, mandi, cuci dan kakus, irigasi sawah dan kebun, rekreasi, dan mencari ikan. Kegunaan tadi lenyap seiring tercemarnya sungai. Ikan, udang, dan keong mati dan punah karena tempat hidup mereka sudah mengandung racun. Warga pun tidak bisa lagi mengonsumsi sumber gizi yang sebelumnya gampang diperoleh itu. Sungai juga sudah tidak boleh lagi untuk mandi, mengairi sawah dan kebun, juga diminum ternak. Air limbah yang masuk tambak akan membunuh ikan piaraan. Masalah belum lengkap karena masih banyak muncul problem lain harus dihadapi warga. Nyamuk penyebar penyakit menular, seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya, populasinya meledak. Sebab, serangga ini sudah kehilangan predator, yakni satwa-satwa penghuni air. Berbagai penyakit juga bermunculan, misalnya gatal-gatal. *** [caption id="attachment_116224" align="alignleft" width="300" caption="Dari pabrik, limbah dibuang ke kolam dan merembes ke sumur-sumur warga. (Dok: Roy MP/Lampung TV)"][/caption] BANYAK orang memang cenderung menganggap sepele berbagai dampak buruk lingkungan hidup menyusul semberononya pengelolaan pabrik-pabrik. Kita baru geger ketika melihat ribuan ikan mati mengambang di sungai. Lalu, ribut menuntut perusahaan bertanggungjawab membersihkan kembali sungai. Padahal, itu barangkali hanya sejumput masalah dari kerusakan dahsyat sumber daya alam akibat dikelola serampangan. Memang, dampak kerusakan itu selalu lambat disadari. Butuh waktu beberapa tahun sampai sebuah pabrik diketahui telah mencemari lingkungan. Akibatnya, banyak pihak tidak awas sejak awal. Reaksi baru bermunculan setelah dampak buruknya kasat mata. Tetapi kadang-kadang semua sudah terlambat. Lingkungan yang rusak tidak bisa dipulihkan lagi atau perlu waktu sangat lama dan mahal. Gejala penyakit akibat keracunan sianida, misalnya, tidak terlalu khas. Sehingga orang sering menyepelekannya. Seperti, sakit kepala, sesak nafas, tubuh lemah, buang air kecil tidak lancar. Penderitanya menyangka kena sakit biasa. Mereka tidak menyadari telah teracuni bahan kimia berbahaya. Dan, itu bersumber dari pabrik-pabrik yang berdiri gagah di dekat permukiman warga. Sunggguh, kita tidak memerlukan kaca pembesar untuk mengetahui betapa pabrik-pabrik telah mencemari lingkung hidup. Pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan faktor lingkungan, dipercaya menjadi biang keladi kerusakan itu. Padahal, lingkungan hidup yang sehat dan bersih adalah hak asasi manusia. Tanpa kecuali. Akan tetapi, yang terjadi justru kualitas lingkungan hidup terus merosot. Itu sebabnya, limbah industri wajib ditangani dengan baik dan serius. Pemerintah mesti berperan sebagai pengawas yang tak kalah serius. Sementara pengusaha wajib menjamin tidak ada pencemaran itu. Di antaranya dengan melakukan daur-ulang limbah dan memasang alat pencegah pencemaran. Sayangnya, semua itu belum pernah dilakukan. Sehingga, semua industri dengan gampang bisa seenaknya merusak lingkungan hidup. Pada masa depan, persoalan limbah industri ini akan semakin besar dan rumit. Manakala pemerintah masih bertekuk lutut di depan pengusaha, kelangsungan lingkungan hidup tidak akan bisa terjamin. Apalagi, industri sedang berkutat dengan persoalan penghematan. Mereka sibuk menekan biaya produksi, belanja pegawai, dan ongkos energi yang terus melambung. Akibatnya, pengelolaan limbah yang juga membutuhkan biaya, menjadi tidak dilakukan. *** [caption id="attachment_116226" align="alignright" width="300" caption="Kebun singkong, rakus lahan dan unsur hara. Berkat sekaligus laknat. (Dok: Roy MP/Lampung TV)"][/caption] KITA selalu saja gemas dan marah oleh sebab terus merosotnya kualitas lingkungan hidup oleh sebab pencemaran industri ini. Sebab, pemerintah tampaknya sama sekali tidak memetik pelajaran apapun. Izin industri terus saja diberikan. Sementara pengawasan terhadap sepak terjang pengusaha sama sekali tidak dilakukan. Sepertinya, sama sekali tidak ada evaluasi terhadap dampak lingkungan. Pada era otonomi daerah, terjadi tarik menarik kepentingan antara pemerintah provinsi dan kabupaten-kota soal perizinan industri. Tetapi kompetisi merebut wewenang itu sekadar berkaitan soal siapa yang meraup biaya perizinan. Jauh dari upaya menata agar pengusaha tidak semena-mena merusak alam. Sejauh ini, penegakan hukum terhadap pencemar masih lemah, karena melulu mempertimbangkan ekonomi dan politik. Itu sebabnya, standar pengolahan limbah industri kerap diabaikan. Padahal, banyak aturan harus dipatuhi agar perusahaan bisa punya manfaat ekonomi, diterima secara sosial, dan ramah lingkungan. Celakanya, peraturan yang dibuat jarang diterapkan. Sampai hari ini, secara jujur dikatakan, aparat pemerintah memang belum serius mengatasi pencemaran lingkungan hidup. Dalam sejarahnya, belum pernah ada perusahaan pencemar lingkungan yang kena hukum. Sementara pemerintah daerah begitu gampang mengeluarkan izin. Padahal, lokasi pabrik dekat dengan pemukiman penduduk. Lalu, semua dokumen pelengkap perizinan juga seolah formalistis saja. Misalnya, buruknya kualitas AMDAL dan  sarana pengolahan limbah yang seadanya. Kita senantiasa berharap, semua orang tidak lagi menganggap ringan dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan industri. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain, perusahaan yang berpotensi mencemari lingkungan wajib diawasi sepak-terjangnya. Bagi yang tidak mematuhi ketentuan pengelolaan limbah, sebaiknya ditutup saja. Tidak boleh lagi ada kompromi bagi perusak lingkungan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun