Perpindahan ibukota pemerintahan sebuah negara merupakan wacana politis yang menarik untuk dibahas. Bercermin pada fenomena pertama dan masih hangat dibicarakan, yaitu pemerintahan RI menyatakan rencana pemindahan ibukota Republik Indonesia dari Provinsi DKI Jakarta ke wilayah baru di Provinsi Kalimantan Timur yang terbentuk dari penggabungan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara – Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun beberapa urgensi pemindahan ibukota negara, seperti: 1. Meminimalisir frekuensi bencana alam di wilayah ibukota (semisal berupa banjir, tsunami, gempa bumi, gunung berapi, kebakaran hutan, dan atau tanah longsor); 2. Wilayah ibukota baru memiliki lokasi yang strategis (aspek keterjangkauan geografis wilayah di Indonesia bagian tengah); 3. Kawasan ibukota baru merupakan satelit dari perkotaan yang dinilai cukup mengakomodasi persiapan pembentukan ibukota (Kota Balikpapan dan Kota Samarinda); dan 4. Kawasan ibukota baru memiliki beberapa fasilitas-fasilitas publik yang sudah diakuisisi oleh negara, seperti kepemilikan tanah seluas 180.000 hektar [Kominfo RI].
Fenomena berikutnya dapat dilihat dari pemindahan ibukota RI ke luar Jakarta pada masa Revolusi Indonesia 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Urgensi pemindahan ibukota negara RI memiliki motif seperti: 1. Kondisi ancaman de facto yang terjadi di Kota Jakarta, disebabkan teror/ancaman Pemerintah Hindia Belanda selama masa revolusi fisik (1946-1949) ke Yogyakarta dan 2. Kondisi ancaman de jure pada masa Agresi Militer Belanda II yang memasuki Yogyakarta 1948 yang membuat pemerintahan Indonesia dipindah ke Bukittinggi, setelah ditetapkannya negara dalam kondisi darurat.
Dari adanya fenomena-fenomena yang sudah terlampir tersebut, maka tidak mengherankan apabila pewacanaan pemindahan ibukota bukan “ide baru” untuk melanggengkan kekuasaan politik negara. Dari adanya beberapa urgensi atau kepentingan pemerintah negara yang berusaha untuk memberikan efektivitas dan efisiensi jalannya roda pemerintahan, khususnya melegitimasi eksistensi sebuah negara. Berbeda cerita apabila dikaitkan dengan peristiwa pemindahan ibukota "negara" (atau lebih tepatnya kantor pusat) VOC, sebuah mega korporasi yang berkuasa di Nusantara dari 1602 M hingga 1799 M yang memindahkan ibukotanya dari Ambon ke Batavia (Jakarta) masa pemerintahan direktur jenderal Jan Pieterzoen Coen pada 1620 M. VOC sebagai "negara perusahaan" memiliki motif murni untuk menguasai dan mempertahankan jaringan perdagangan rempah di Asia Tenggara.
Jika dilihat secara politis pada masa Indonesia klasik, pemindahan ibukota pemerintahan sudah pernah dilakukan oleh Kerajaan Medang oleh Mpu Sindok. Berdasarkan Prasasti Canggal (654 Saka/732 M), Kerajaan Medang atau populer dengan penyebutan Kerajaan Mataram Kuno merupakan kerajaan yang terletak di pulau Jawa yang dipimpin oleh Raja Sanjaya, putra dari Raja Sanna yang arif dan bijaksana. Kerajaan Medang terbagi dalam 2 periodisasi, yaitu Masa Jawa Tengah (732 M - 928 M) dan Masa Jawa Timur (929 M - . Perlu dipahami bahwa Kerajaan Medang tidak terhimpun dan tidak memiliki kaitan dalam pengistilahan Medang Kamulan atau Medangkamolan yang muncul dalam cerita mite Ajisaka (Purwadi, 2009).
Kewilayahan ibukota Kerajaan Medang pertama tercatat dalam Prasasti Canggal yang bertarikh 732 M, yang mencatat letak peletakan lingga (patok ibukota) di Kunjarakunja (pebukitan sekitaran Candi Gunung Wukir, Magelang), Jawadwipa (Pulau Jawa). Dari Gambar 1., terdapat beberapa keterangan warna yang merepresentasikan posisi kewilayahan Kerajaan Medang dari sumber primer dan sekunder yang tersedia. Warna oranye tua pada peta merepresentasikan daerah inti Kerajaan Medang yang disebut beberapa kali dalam prasasti-prasasti yang berhasil ditemukan. Warna oranye pada peta ditujukan untuk wilayah yang disebutkan dari sumber-sumber eksternal di luar keraton, seperti Prasasti Sanur dari Dinasti Warmadewa, pendahulu dari Airlangga. Warna kuning pada peta merupakan wilayah yang dideskripsikan di dalam Prasasti Canggal.
Untuk membaca situasi politik Kerajaan Medang, sering kali peneliti sejarah menggunakan Prasasti Telahap bertarikh 899 M dan Prasasti Mantyasih bertarikh 907 M masa Jawa Tengah sebagai rujukan utama sisilah pemimpin Kerajaan Medang yang masa kepemimpinannya relatif stabil (pemimpin yang disebutkan sedikit dan memiliki waktu berkuasa yang relatif panjang).[Soerjono & Leirissa, 2019:168-169] Hal tersebut terbantah ketika Prasasti Wanua Tengah III 908 M mengatakan bahwa terdapat nama-nama penguasa Kerajaan Medang yang tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti di Jawa Tengah [Kusen, 1994: 89-91]. Dapat disimpulkan bahwa dinamika politik berupa perebutan takhta internal dari dinasti Sanjaya di Kerajaan Medang sebenarnya sudah terjadi pada masa itu, terlebih pada masa setelahnya yaitu dari masa Mpu Daksa hingga Mpu Wawa yang mengisi kronologi berdarah Dinasti Sanjaya dari 911 hingga 929 M.[Soekmono, 1981:49].
Tokoh yang menjadi kunci keberhasilan kampanye Kerajaan Medang yang mengekspansi ke Jawa bagian timur adalah Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung Sri Dharmmodaya Mahasambhu (penyebutan prasasti di Jawa bagian tengah), atau Abhiseka Sri Iswarakesawa Samarottungga (penyebutan prasasti di Jawa bagian timur), atau lebih populer dengan nama Raja Balitung, yang berkuasa atas takhta Kerajaan Medang pada tahun 899-911 M. Keberhasilan kampanyenya di ujung timur pulau Jawa tercatat dalam 45 prasasti yang tersebar di kawasan Jawa bagian tengah dan Jawa bagian timur. Salah satu prasasti yang mencatat “keberhasilan” kampanye dari Raja Balitung yaitu Prasasti Kubu-kubu bertarikh 905 M, yang mencatat hadiah tanah sima (hibah) kepada pengikutnya dengan batas-batas yang ditentukan di daerah Bantan (lebih mengarah pada wilayah ibukota baru Medang di sekitar Tamwlang dan Kerajaan Kanjuruhan yang baru ditundukkan).
Gegernya Jawa Tengah akibat intervensi politik sangat memungkinkan terjadi, apalagi jika menyangkut suksesi kepemimpinan. Faktor eksternal dari Wangsa Syailendra (Sriwijaya) atas pemerintahan Kerajaan Medang melalui politik pernikahan yang mengepung Medang dengan kerajaan-kerajaan satelit dari Kerajaan Sriwijaya seperti Kalingga dan kerajaan-kerajaan Pasundan untuk melakukan penyerangan pusat pemerintah ibukota kerajaan sewaktu-waktu. Faktor internal pemerintahan Wangsa Sanjaya (Medang) juga mengalami gejolak suksesi. Beberapa raja yang tercatat dalam Prasasti Wanua Tengah III mencatat kronologisasi kepemimpinan raja-raja Medang di antara masa pemerintahan setelah Rakai Kayuwangi hingga Dyah Balitung yang relatif pendek [Dwiyanto, 1986:92-109].
Terdapat beberapa teorisasi yang menarik dari alasan pemindahan ibukota Medang, yaitu dari seorang pakar geologi, arkeologi, dan antropologi, yaitu Van Bemmelen dan G. Coedes. Teori Van Bemmelen menyatakan bahwa perpindahan pusat ibukota Medang disebabkan oleh letusan Gunung Merapi pada tahun 1006 M, namun pemindahan ibukota sudah dilakukan jauh sebelum itu oleh Mpu Sindok (antara 928/929 M). Kemudian teotisasi dari G. Coedes yang menyebutkan bahwa Kerajaan Medang memindahkan ibukota Medang karena menghindari intervensi Sriwijaya yang tidak lagi bersifat pasifis melalui proses pernikahan seperti penguasa sebelumnya, seperti pada masa Rakai Samaratungga. Kali ini intervensi bersifat militeristik, yang sinergis dengan informasi dari Prasasti Anjukladang (935 M) yang mengabarkan kemenangan orang Jawa dari serangan raja-raja Malayu (Sriwijaya dan negara satelit). Yang perlu dikritisi dari teori G. Coedes yaitu mengenai alasan pemindahan yang bukan sekedar politis, tetapi juga bersifat ekonomis. Perlu di garisbawahi, selain kekurangan dana akibat peperangan dengan Sriwijaya, Coedes mencatat bahwa kekurangan dana kerajaan akibat Wangsa Sanjaya yang 'gemar' melakukan megaproyek kompleks percandian, ambil contoh Borobudur dan Prambanan. Hal tersebut dapat terbantah karena sebagian besar prasasti dalam periodisasi sebelum 908 M hingga setelah pemindahan ibukota kerajaan di wilayah Tamwlang/Hujung (wilayah Kahuripan) banyak mencatat tentang pembagian tanah sima (hibah raja) kepada beberapa elit politik dan tokoh masyarakat masa itu. Dari teorisasi kedua pakar tersebut, dapat disimpulkan pemindahan ibukota jika dipandang dari perspektif politis yaitu untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan Medang secara de facto dari intervensi eksternal militeristik Sriwijaya.
Pendirian Wangsa Isyana setidaknya dapat menjaga legitimasi Kerajaan Medang dari keterpurukan intervensi politik internal dan eksternal kerajaan pada masa itu. Dengan mengubah alur kedinastian dari Wangsa Sanjaya ke Wangsa Isyana diharapkan dapat melanggengkan Mpu Sindok dan keturunannya untuk menjaga eksistensi kerajaan Medang. Pemilihan ibukota di pedalaman kawasan Jawa Timur oleh Mpu Sindok dari Wangsa Isyana juga didasarkan dari kondisi geografis hulu Sungai Brantas yang dapat meminimalisir usaha intervensi dari wangsa asing, khususnya Sriwijaya yang menjadi rival politik. Pelabuhan Hujung (pesisir Surabaya) yang merupakan hilir Sungai Brantas juga dapat melangsungkan kegiatan ekonomi kerajaan melalui perdagangan internasional.