Mohon tunggu...
Firman Lie
Firman Lie Mohon Tunggu... Dosen - Visual Art - Printmaker

Lahir di Jambi 1961, alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Kesenian Jakarta. Tahun 2003 mendirikan Phalie Studio di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Budaya Massa dan Budaya Populer sebagai Bagian Ekonomi Politik Kapitalis

27 November 2021   16:26 Diperbarui: 6 Januari 2022   15:14 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam realitas kebudayaan di mana konsumsi mengalahkan produksi, nilai tanda dan nilai simbol mengalahkan nilai guna dan nilai tukar, penampilan menjadi tujuan, tuntutan mengejar keuntungan adalah satu-satunya pegangan, maka tak pelak, budaya massa dan budaya populer adalah jawaban bagi masyarakat yang demikian. 

Sebagai semangat zaman baru, budaya massa dan budaya populerpun membawakan nilai-nilai baru, kegairahan baru dan etos kerja baru. Lebih dari era-era sebelumnya, era postmodern adalah kurun sejarah yang memuja bentuk dan penampakan ketimbang kedalaman, merayakan kebebasan, permainan dan kenikmatan ketimbang kekhusukan, serta mengejar keuntungan ketimbang kemanfaatan. 

Tak heran bila dalam masyarakat yang dihidupi budaya massa dan budaya populer -masyarakat konsumer- tumbuh simbol-simbol dan aktivitas kebudayaan baru. Televisi, iklan, shopping mall, video game, kartun, komik, pusat kebugaran, kursus kecantikan, cat rambut, operasi plastik, alis palsu, facial cream, body building, salon mobil sampai senam seks dan sederet ikon gaya hidup adalah kosa kata baru budaya massa dan budaya populer.

Kini segala sesuatu disulap menjadi budaya massa dan budaya populer demi tujuan memperbesar keuntungan. Dalam pengertian ini, budaya massa dipahami sebagai budaya populer yang diproduksi melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal. Budaya massa, dengan demikian tidak lain dari metamorfosa komoditi dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat.

Sementara itu budaya populer adalah sebuah kategori bagi budaya rendah (lowbrow culture) yang biasa dibedakan dengan budaya tinggi (highbrow culture). Budaya populer, atau dalam pengertian awalnya biasa disebut budaya rakyat (folk culture), lahir dari bawah, dari rakyat kebanyakan, sementara budaya tinggi, dibentuk dari atas, dari kalangan aristokrat. Budaya populer ditandai oleh sifatnya yang massal, terbuka untuk siapapun dan lebih mengakar kepada khalayak pemiliknya. Sementara budaya tinggi dicirikan oleh sifatnya yang khusus dan tertutup, terbatas bagi kalangan tertentu dan tidak mengakar ke bawah.

Budaya massa dan budaya populer sebagai bagian ekonomi politik kapitalisme, yang sekaligus menandai lahirnya era postmodernisme, yang mengaburkan batas-batas pengertian antara budaya tinggi dan budaya populer ke dalam satu karakter budaya massa. Dalam realitas kebudayaan dewasa ini, tak ada lagi budaya tinggi yang murni, agung dan luhur, sebagaimana tak ada lagi budaya rendah pinggiran dan inferior. Budaya tinggi kini telah berubah menjadi komoditi, produk budaya yang dikomersialkan. Sementara budaya populer kini ternyata semakin wajar diterima dan dihargai.

Perbedaan hirarkis yang ketat demikian kini tak lebih sebagai nostalgia masa lampau yang borjuis feodal. Realitas kebudayaan dewasa ini adalah realitas kebudayaan yang tunduk pada hukum ekonomi kapitalisme dalam bentuk budaya massa dan budaya populer.

Dalam diskursus sejarah kebudayaan, perkembangan budaya massa dan budaya populer yang mengiringi kelahiran era postmodern setidaknya dapat ditelusuri semenjak era masyarakat primitif. Masyarakat primitif dipandang sebagai masyarakat komunal organik yang utuh, dengan seperangkat nilai dan norma yang mengatur anggota-anggotanya secara efektif. 

Dalam struktur masyarakat ini, ikatan sosial diantara anggotanya masih terjalin kuat. Bentuk-bentuk kebudayaan --terutama seni-- yang lahir dalam masyarakat ini, sepenuhnya adalah kebudayaan rakyat. Kebudayaan inilah yang secara langsung merefleksikan pengalaman dan kehidupan masyarakat awal. Bentuk-bentuk kesenian rakyat, kesenian tradisional dan primitif, pada awalnya lahir untuk menjawab kebutuhan menjaga keutuhan nilai masyarakat awal.

Kondisi ini berubah ketika bersamaan dengan mulai berkembangnya kapitalisme awal, terbentuk struktur masyarakat borjuis feodal. Dalam masyarakat ini, sekelompok golongan menduduki kelas borjuis dan sekelompok yang lain menempati kelas proletar. Klasifikasi sosial ini pada gilirannya melahirkan klasifikasi budaya. Kelas borjuis dengan kebudayaannya yang khas --terbatas, tertutup, bernilai sakral, eksklusif dan mewah--- yang disebut sebagai budaya tinggi. Dan kelas proletar dengan kebudayaan yang bersifat terbuka, massal dan mengakar ke bawah yang disebut budaya rendah.

Seiring dengan perkembangan kapitalisme ke arah kapitalisme lanjut, struktur masyarakat pun kembali mengalami perubahan. Dari masyarakat primitif, masyarakat borjuis feodal ke masyarakat massa. Dengan industrialisasi dan urbanisasi serta perkembangan teknologi percetakan, secara perlahan-lahan terjadi proses transformasi sosial. 

Perubahan ini didorong oleh, di satu sisi, perkembangan teknologi mekanik berskala massal dan peningkatan populasi penduduk di kota-kota besar yang menyebabkan perubahan pola hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Dan di sisi lain, sebagai akibat perubahan di atas, terjadi erosi dan kegoncangan struktur nilai sosial masyarakat, luruhnya ikatan sosial dalam komunitas pedesaan, turunnya status agama dan merebaknya proses sekularisasi serta diabaikannya nilai-nilai moral.

Masyarakat massa terdiri dari individu yang berhubungan dengan individu lain tanpa didasari oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Individu dan individu yang berhubungan atas dasar kontrak, berjarak dan bersifat sementara ketimbang sebagai ikatan komunal yang erat. Proses seperti ini juga disebabkan oleh runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi. 

Keluarga, desa dan agama yang dahulu pernah memberikan perasaan identitas psikologis, kepastian moral dan sosial, kini digantikan perannya oleh media massa dan pelbagai bentuk budaya populer. Dalam kondisi ketika tidak ada lagi kepastian psikologis, moral dan sosial demikian, individu membutuhkan acuan moralitas baru. 

Peran inilah yang diisi oleh budaya massa dan budaya populer, sebagai pemberi pegangan nilai moral dan sosial dalam masyarakat. Budaya massa dan budaya populer tidak lagi dipandang sebagai budaya rendah, melainkan sebaliknya, budaya dominan yang diterima, didengar dan diikuti secara luas dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Merebaknya budaya massa dan budaya populer ini selanjutnya didukung oleh perkembangan kapitalisme lanjut serta peran pendidikan dan demokrasi. Menarik dicatat bahwa demokrasi dianggap sebagai pendorong merebaknya budaya massa dan budaya populer. Demokrasi dipandang berjasa dalam merobohkan hierarki tradisional mengenai kelas, citarasa dan budaya dengan memberi tempat kepada massa untuk menentukan keputusan-keputusan politik.

Sementara lewat pendidikan, semakin banyak anggota masyarakat yang memiliki kemampuan baca tulis untuk mendapat lebih banyak informasi tanpa harus tergantung kepada lembaga-lembaga tradisional. Maka kini budaya massa dan budaya populerpun menjadi institusi baru yang menggantikan peran lembaga-lembaga tradisional. 

Dalam kerangka kapitalisme lanjut, tujuan utama budaya massa, tentu saja adalah untuk kepentingan memperoleh keuntungan. Budaya massa merupakan salah satu strategi budaya yang disodorkan kapitalisme untuk menciptakan produk-produk massal, melalui industri produksi massal untuk konsumer yang massal pula. Lewat produk-produk budaya massa, kapitalisme berusaha memperbesar margin keuntungannya sampai batas yang tak terhingga. Semakin luas jangkauan penyebaran budaya massa dan budaya populer, maka semakin besar kapital yang dapat dikeruknya.

Karakter budaya massa dicirikan oleh sifatnya yang baku, standar, merupakan hasil duplikasi dan reproduksi. Budaya massa merayakan kesenangan yang dangkal, sepele dan sentimental, sembari menolak nilai-nilai yang otentik, luhur dan sakral. Budaya massa adalah sebentuk kebudayaan yang rendah, budaya remeh-temeh yang kehilangan, baik realitas sublim (seks, kematian, kegagalan, tragedi) maupun realitas sederhana, kenikmatan-kenikmatan spontan, karena realitas-realitas itu kini telah menjadi terlalu nyata, dan kenikmatan-kenikmatan menjadi terlampau hidup untuk disentuh. 

Penerimaan terhadap budaya massa yang membius dan komoditi-komoditi yang dijual sebagai pengganti kegembiraan, tragedi kecerdasan, perubahan, orisinalitas dan keindahan hidup sebenarnya yang sudah tidak dapat ditetapkan dan diramalkan. Massa yang telah dikotori oleh hal-hal demikian, pada gilirannya menjadi massa yang mabuk oleh produk-produk budaya yang remeh-temeh namun memberi rasa nyaman.

Maka budaya massa adalah budaya yang miskin rangsangan dan tantangan intelektual, namun kaya fantasi dan ilusi kesenangan. Ia adalah kebudayaan yang kehilangan semangat pemikiran dan penciptaan yang otentik, namun sebaliknya membawakan semangat pluralitas dan demokrasi. 

Maka budaya massa adalah sebuah kekuatan dinamis, revolusioner, yang meruntuhkan sekat-sekat lama tentang kelas, tradisi dan citarasa, serta meluruhkan semua perbedaan budaya. Ia mengaduk dan mencampur-baurkan segala sesuatu secara bersama-sama, memproduksi apa yang mungkin disebut sebagai kebudayaan yang homogen. Ia dengan demikian meluluh-lantakkan semua nilai, karena penilaian mengasumsikan adanya diskriminasi. Budaya massa adalah budaya yang sangat demokratis, ia benar-benar menolak untuk melakukan diskriminasi terhadap atau antara sesuatu hal atau orang.

Jakarta, 27 November 2021

Firman Lie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun