Mohon tunggu...
Firman Pebri Nurdiansyah
Firman Pebri Nurdiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik negeri Banyuwangi

futsal dan basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Besarnya Dampak Harga Bahan Pakan terhadap Fenomena Inflasi di Indonesia

21 November 2022   20:53 Diperbarui: 21 November 2022   20:58 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebuah ketergantungan besar pada sektor pertanian masih tinggi, sehingga untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dikendalikan melalui penetapan harga dasar dan harga tertinggi bahan pangan sangatlah penting. Menjaga kestabilan harga sebuah produk pertanian merupakan tugas dari pemerintah, baik pada saat terjadi over produksi maupun saat terjadi masa kegagalan panen. 

Hingga pada akhirnya tidak akan terjadi gejolak harga produk pertanian yang dapat menyebabkan dampak buruk pada kestabilan harga-harga barang dan jasa. Sesuai dengan paparan dari Boediono (2005) Inflasi ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Inflasi telah menggambarkan daya beli suatu nilai tukar dalam suatu periode. 

Daya beli yang terus menurun dapat mengindikasikan terjadinya peningkatan inflasi dikarena ketidakmampuan untuk menjangkau harga yang terus mengalami kenaikan. Presentasi pembelian suatu barang menjadi lebih sedikit, kuantitas yang diperoleh pun dibanding periode sebelumnya dengan harga yang sama.

Inflasi juga berguna untuk indikator kondisi perekonomian yang dapat diartikan positif dan negatif. Melalui tipenya, Inflasi dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu demand-pull inflation, cost-pull inflation, dan built-in inflation. Melalu riset yang telah dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan data inflasi pada barang dan jasa yang dikonsumsi yaitu bahan makanan; olahan makanan jadi, minuman dan rokok ; perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar; sandang; kesehatan; pendidikan, wisata, dan olahraga; transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan; dan umum. Terjadinya suatu perubahan dalam harga barang dan jasa dapat berdampak pada kondisi perekonomian suatu negara, termasuk perubahan bahan pangan pokok. Kontribusi besar diberikan fenomena kenaikan harga bahan pangan terhadap inflasi suatu negara. 

Bahan pangan pokok dapat digolongkan menjadi volatile food yaitu terdiri dari beras, gula pasir, daging ayam, daging sapi, telur ayam, bawang putih, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng. 

Sebagaimana mestinya respon kenaikan inflasi inti akibat kenaikan harga bahan pangan yang terjadi di negara berkembang lebih besar dibandingkan dengan negara maju karena proporsi pembelian bahan pangan di negara berkembang lebih banyak. Jika Menggunakan input yang telah diimpor dengan tingkat inflasi maka terjadilah hubungan nya dengan harga bahan pangan.

Kemudian, peranan Kebijakan moneter yang dapat berpengaruh dalam pergerakan inflasi melalui pengaturan suku bunga yang berdampak pada agregat permintaan. Lalu, biaya transportasi juga mempengaruhi harga pangan dalam hal biaya produksi. Sejalan dengan beberapa data hasil penelitian para ilmuwan, kenaikan harga pangan berdampak pula pada inflasi secara agregat dan inflasi barang non-pangan seperti melalui biaya pada tenaga kerja, substitusi bahan yang lebih tinggi harganya, dan pendapatan relatif produsen. 

Dalam penjelasan Bandara (2013) telah ditegaskan bahwa terjadinya kenaikan harga dan permintaan bahan pangan mengandung protein dan vitamin yang tinggi serta kegagalan sistem distribusi merupakan salah satu penyebab inflasi.

Menurut data yang diberikan BPS (2021), penduduk Indonesia yang mencapai 272.229.372 jiwa apabila dibandingkan dengan adanya ketersediaan bahan pangan yang dibutuhkan seringkali tidak sesuai antara permintaan dan penawarannya. Hal ini disebabkan karena permintaan yang melebihi jumlah produksi, kegagalan panen, hambatan distribusi, permasalahan impor, sehingga mempengaruhi fluktuasi harga bahan pangan. Padahal salah satu faktros yang berkontribusi pada perkembangan inflasi nasional adalah harga bahan pangan. Jadi Inflasi penting untuk diteliti karena merupakan indikator makro yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara.

Berdasarkan data (Kementerian PPN/Bappenas, 2020), secara umum inflasi akhir tahun 2020 cenderung rendah hal ini disebabkan oleh rendahnya inflasi inti sehingga inflasi harga bergejolak dan disebabkan pula oleh harga yang diatur pemerintah. Ketika pandemi terjadi permintaan konsumen menurun dikarenakan penurunan pendapatan di sektor non formal dan cenderung menabung di tengah kondisi ketidakpastian. Inflasi harga bergejolak yaitu volatile foods dengan keterangan harga rendah akibat daya beli masyarakat yang menurun. 

Dalam waktu 5 tahun terakhir, Indonesia telah mengalami perlambatan inflasi inti karena daya beli yang menurun dan sisi permintaan melemah. Presentase Supply jumlah uang beredar akhir tahun 2020 pun 44,7%, dimana lebih tinggi dari tahun lalu yaitu 38,8% dari PDB. 

Kegiatan jumlah uang yang beredar tinggi tersebut berbanding terbalik dengan kecepatan uang berpindah tangan (money velocity) yang terus melambat. Pada akhirnya inflasi juga akan cenderung rendah. Tingkat konsumsi rendah dapat pula dilihat dari sektor keuangan perbankan yang tidak ekspansif terutama pada masa pandemi sejak tahun 2020 karena dana cenderung mengendap ditabungan. Melalui analisis data, dapat diketahui Bahan pangan yang memiliki skewness negatif adalah beras dan telur ayam. Nilai skewness bahan pangan bawang merah, bawang putih, minyak goreng, cabai merah, cabai rawit, daging ayam, daging sapi, dan gula pasir bertanda positif.

Bahan pangan yang cukup besar berperan terhadap kenaikan inflasi ialah daging ayam. Stok daging ayam menipis dan kebijakan culling dan cutting mulai Agustus 2020, sehingga harga daging ayam cenderung meningkat. Kenaikan harga daging ayam dapat dipicu biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan harga pakan dan kenaikan harga biji-bijian di tingkat global. 

Kemudian ada Bawang putih yang menjadi komoditi penting dalam pengolahan pangan skala rumah tangga maupun industri. Hal ini tidak diimbangi dengan kenyataan budidaya bawang putih cukup sulit karena rentan hama dan penyakit serta kesesuaian topografi wilayah tertentu untuk budiaya. Permintaan bawang putih tidak terpenuhi dari ketersediaan domestik menyebabkan harga terus meningkat.

Menurut pendapat (De Gregorio, 2012), sebuah bahan pangan memiliki proporsi yang lebih besar dibanding kebutuhan non-pangan dari total pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu, jika terjadi perubahan harga maka akan mempengaruhi nilai upah riil rumah tangga yang dapat dibelanjakan. Selain itu, salah satu faktor penyebab kenaikan tingkat upah ialah penggunaan tenaga kerja yang banyak pada sektor pertanian, sehingga biaya faktor produksi meningkat yang merupakan cost-pull inflation.

Skala waktu tahun 2017 sampai juli 2021 telah terjadi trend harga bawang merah, beras, daging sapi, dan minyak goreng cenderung meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan, tahun 2017 inflasi volatile food tergolong rendah. 

Harga komoditi turun dikarenakan pasokan melimpah saat panen di sentra produksi dan kebijakan pemerintah seperti operasi pasar dan Cadangan Beras Pemerintah. Harga beras terkendali karena pemerintah melakukan intervensi pada harga eceran tertinggi (ceiling price) dan harga dasar (floor price). Pada tahun 2019, komoditi global mengalami perlambatan yaitu pada CPO dan daging sapi. 

Permintaan minyak goreng semakin menurun seiring pemberlakukan pembatasan aktivitas (PSBB) selalam pandemi Covid-19. Pengaruh adanya PSBB pada sistem agribisnis CPO yaitu terjadi pengurangan tenaga kerja di lahan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, kontribusi perubahan harga minyak goreng dan daging sapi terhadap inflasi cenderung rendah.

Jadi melalui data serta uraian yang telah dipaparkan, dapat ditegaskan bahwa Inflasi merupakan salah satu indikator yang penting untuk mengevaluasi kondisi suatu perekonomian di dalam Negara. Bahan pangan yang tergolong volatile food nyatanya dapat berkontribusi pada pergerakan inflasi nasional karena telah mengalami fluktuasi harga. 

Faktor penyebab fluktuasi harga bahan pangan antara lain supply pada saat masa panen, cuaca, tingkat permintaan, harga bahan baku, dan harga di tingkat internasional. Pada masa pandemi Covid-19, ketersediaan bahan pangan dapat dipengaruhi kebijakan pembatasan aktivitas atau mobilitas. 

Bawang merah, beras, daging sapi, dan minyak goreng memberikan pengaruh negatif pada inflasi, karena bahan pangan tersebut cenderung terjadi deflasi pada pergerakan harga bahan pangan tersebut. Penurunan daya beli turut memicu inflasi yang rendah seiring berjalannya pengaruh Covid-19 terhadap perekonomian. 

Bawang putih, daging ayam, dan gula pasir menghasilkan data yaitu pengaruh positif pada peningkatan inflasi karena memiliki trend pergerakan harga yang meningkat dari jangka tahun 2017-2021 dan merupakan bahan pangan dengan konsumsi yang cukup tinggi dalam konsumsi rumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun