Mohon tunggu...
Firman sabar
Firman sabar Mohon Tunggu... Bankir - Manager Perbankan

Peminat sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Catatan Ziarah Rakeyan Sancang: Sri Baduga Raja Hind dari Negeri Sungai-sungai

14 Mei 2023   20:32 Diperbarui: 14 Mei 2023   20:34 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal tahun 2023, tepatnya di bulan Januari, saya dan teman-teman berencana untuk melakukan ziarah ke beberapa kota. Garut-Cirebon-Pekalongan adalah rute ziarah yang kami tetapkan. Kami semua bersepuluh. Kami berasal dari beberapa kota, ada yang dari Garut, Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. 

Malam Jumat, kami bertemu di sebuah majelis pengajian di kota Bandung. Setelah mengikuti acara pembacaan shalawat dan doa bersama, kami berkumpul bermusyawarah mengenai rute ziarah yang kami tetapkan sebelumnya. Singkat cerita, karena berbagai pertimbangan, kami akhirnya sepakat untuk merubah rute ziarah. 

Rute yang sebelumya dimulai dari Garut, kami rubah. Ziarah dimulai dari Pekalongan kemudian ke Cirebon dan berakhir di Garut. Karena kondisi, saya dan beberapa teman tidak dapat ikut ziarah ke Pekalongan dan Cirebon. Saya dan tiga teman saya akan menunggu di Garut, sedangkan yang lainnya berangkat ke Pekalongan. 

Jumat pagi harinya, setelah sholat subuh berjamaah, kamipun berpisah. Saya kembali ke Garut, tiga orang teman saya kembali ke rumah masing-masing, dan enam orang lagi bertolak ke Pekalongan. Kami berjanji untuk bertemu di Garut pada malam harinya.

Di Pekalongan, teman-teman berziarah ke makam guru kami, Imam Hazahirin. Beliau adalah orang bijak yang pernah kami temui. Semasa hidup, beliau wakafkan dirinya untuk melayani sesama. Kami sering datang menumpahkan segala keluh kesah kami tentang kehidupan. Beliau selalu mendengarkan kami. Ringan rasanya hidup kami, jika kami telah bertemu beliau. Bersama beliau, kami bisa mentertawakan masalah yang awalnya terasa berat. Beliau tanggapi masalah kami dengan tenang dan bijak. Jauh dari kesan serius, beliau sangat humoris. Itulah mengapa kami sangat nyaman dekat beliau. Sayangnya, perjumpaan kami tak begitu lama. Tahun 2021, beliau pergi meninggalkan kami.

Dari pusara Imam Hazahirin, mereka bertolak berangkat ke Cirebon untuk berziarah kepada Sunan Gunung Jati dan Syaikh Siti Jenar. Dua tokoh legendaris penyebar Islam di tanah Jawa. Yang satu sangat populer dan yang satu lagi sangat kontroversial. Tetapi, bagi kami mereka berdua memendarkan cahaya yang sama.

Setelah menuntaskan ziarah di Cirebon, mereka langsung menuju Garut. Sabtu, pukul 02.00 dini hari, mereka tiba di rumah. Saat itu, tiga orang teman dari Bandung sudah tiba terlebih dahulu. Kedatangan mereka pun menggenapi jumlah kami.

Sekitar pukul 07.00, kami terbangun. Kami lewati pagi dengan sarapan dan bercengkrama bersama. Setelah dua jam berlalu dan kami masing-masing sudah mempersiapkan diri, kamipun berangkat memulai perjalanan ke lokasi ziarah. Tetapi sebelum menuju lokasi ziarah, kami pergi mengunjungi rumah Abah Wahyu Yunus. 

Abah adalah ketua ormas yang membenahi lokasi ziarah yang kami tuju. Ormas itu bernama Gagak Lumejang. Karena kebaikan hatinya, Abah berkenan mengantarkan kami ke lokasi ziarah. Sekitar pukul 10.00 kami tiba di rumah Abah. Kami disambut dengan sangat ramah. Kami habiskan waktu satu jam untuk bercengkrama di sana. Pukul 11.00 kamipun bertolak dari rumah Abah menuju lokasi ziarah di Gunung Nagara, Garut Selatan.

Kami dan tim Abah berangkat dengan menggunakan empat mobil. Perjalanan cukup jauh. Melewati jalan yang tidak seberapa lebar, berkelok dan berlubang. Tetapi, pemandangan yang kami lalui sangat indah. Rangkaian bukit dan gunung, hamparan kebun teh yang hijau, tebing batu yang eksotis, membuat kami bisa menikmati perjalanan. Ditengah perjalanan, hujanpun turun cukup lebat. 

Setelah sekitar tiga jam berlalu, kami tiba di lokasi ziarah. Kedatangan kami disambut sebuah gapura yang tersusun dari batu bata merah dan anak tangga yang tersusun rapi menanjak. Setelah berfoto-foto sejenak di gapura, kami semua mulai meniti anak tangga. Beberapa teman dan tim Abah berangkat terlebih dahulu, sedangkan saya dan tiga orang teman: Reza, Firman, dan Oki berangkat kemudian.

Firman sebenarnya sedang dalam keadaan sakit lambung yang lumayan berat. Mukanya pucat dan kedua kakinya bengkak. Tetapi semangatnya luar biasa. Tanpa mengeluh, dia titi setiap anak tangga. Saya, Reza, dan Okipun berada bersamanya menemani. Dari Firman, saya belajar kekuatan sebuah tekad. Dimana ada tekad kuat, apapun rintangan pasti dapat dilalui.

Selain Firman, ada juga Fuad yang gempal tubuhnya. Dia hanya berjarak beberapa meter di depan kami. Sama dengan Firman, diapun tampak kelelahan. Tapi hanya keceriaan yang terlihat dari raut wajahnya. Rasa lelah tidak menghalanginya untuk tersenyum. Bahkan sesekali terdengar kelakar yang membuat kami tertawa.

Tak terasa kamipun sampai di kawasan makam yang menjadi tujuan ziarah kami. Sebuah kawasan tanah lapang dikelilingi pepohonan hutan yang rimbun. Ada satu dua pohon besar yang tumbuh di kawasan tanah lapang itu. Di kawasan tersebut hanya terdapat satu makam . Makam itu dikelilingi oleh pagar kawat. Berbeda dengan tanah disekitarnya, tanah dan bebatuan di dalam pagar kawat tertutup oleh lumut. Kamipun memasuki kawasan di dalam pagar kawat tersebut. Kami berbaris antri, satu per satu masuk dan mencium sebuah nisan batu yang harum.

Kami duduk berjajar dua shaf di samping makam. Tiga orang teman sekaligus senior kami: Andito, Dedi, dan Reza didaulat untuk memimpin ziarah. Selama pembacaan doa ziarah, sebuah suara dari binatang yang tak kami ketahui terus mengiringi. Seolah binatang itupun turut merapalkan  doa-doa  ziarah.

Makam yang kami ziarahi adalah makam seorang tokoh bernama Rakeyan Sancang. Tidak banyak informasi tentang beliau. Hanya beberapa tahun terakhir ini, nama beliau banyak diungkap. Beliau adalah tokoh yang selama ini tertukar dengan Kian Santang, putra raja Siliwangi yang memeluk Islam dan konon katanya adalah murid dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Alih-alih Kian Santang, Rakeyan Sancang inilah yang sejatinya merupakan murid sekaligus sahabat Sayyidina Ali bin Abi Thalib. 

Dalam kitab Biharul Anwar, beliau disebut Sri Baduga Raja Hindia dari negeri Suh (sungai-sungai). Dalam kitab tersebut disebutkan pula bahwa wilayah kekuasaan Sri Baduga Raja Hindia ini sangat luas. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, membutuhkan waktu selama 4 (empat) tahun. Pusat pemerintahannya saja seluas 50 farsakh atau sekitar 400 km dan setiap pintunya dijaga oleh 120.000 (seratus dua puluh ribu) asykar/ prajurit yang siap bertempur bila diperintahkan.

Masih dalam kitab itu, diceritakan bahwa berbeda dengan banyak raja-raja yang menolak Rasulullah Saw, Rakeyan Sancang tunduk patuh menerima Islam. Padahal, pada saat itu beliau berusia 925 tahun, jauh lebih tua dari Rasulullah Saw. Tak hanya itu, beliau juga adalah seorang raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Senioritas dan status sosial tinggi tidak menghalangi beliau untuk mengikuti kebenaran. Selain itu, ketika salah seorang sahabat Rasul bertanya kepada beliau, "Bagaimana anda melaksanakan shalat pada usia setua ini?" Beliau menjawab, "Allah Azza wa Jalla berfirman:  Yaitu orang-orang yang mengingat Allah diwaktu berdiri, duduk maupun berbaring." Bagi saya, jawaban tersebut menunjukkan bahwa beliau sudah ber"islam" sebelum Islam.

Rakeyan Sancang harus dikenal oleh banyak muslim di Nusantara. Sebab, keberadaan beliau adalah bukti bahwa Islam bukanlah barang asing bagi Nusantara. Nusantara tidak mengenal Islam kemarin sore. Nusantara mengenal Islam sejak masa awal kelahirannya. Bahkan salah satu tokoh Nusantara mengisi daftar nama sahabat Rasulullah Saw. Tidak hanya sahabat, tetapi menjadi loyalis murid terkasih beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Setelah menuntaskan pembacaan doa ziarah, kami berkumpul di sekitar nisan beliau. Kami memeluk dan menciumnya. Wangi harum yang sama masih tercium. Sambil memeluk dan mencium nisan, kamipun berpamitan. Saat itu mungkin sekitar pukul 17.00. Langit sudah mulai berwarna kuning pekat. Dalam perjalanan turun, kami disuguhi pemandangan merahnya langit senja. Di arah barat, terdapat barisan awan yang sekilas terlihat seperti rangkaian aksara arab. Suasana saat itu sangat syahdu. 

Ketika langit sudah gelap, kami tiba di lokasi pemberhentian mobil. Kami istirahat sejenak di warung yang ada di sana. Di warung, Abah dan beberapa anggota timnya sudah menunggu kami. Abah tidak ikut kami berziarah ke makam. Sebenarnya, Abah sudah ikut naik ke makam, tapi ditengah perjalanan Abah memutuskan untuk kembali turun. Kalau menurut Abah, penyebab Abah turun kembali adalah karena muncul perasaan bahwa ziarah ini bukan jatah untuknya.

Setelah beristirahat sekitar setengah jam, kamipun beranjak pulang. Sekitar pukul 01.00 hari Minggu, kami tiba di rumah Abah. Tak menghabiskan waktu lama, setelah berpamitan dan berterima kasih kepada Abah, kami bertolak ke kediaman masing-masing.

Bagi saya pribadi, pengalaman ziarah ke makam Rakeyan Sancang sangatlah berkesan. Saya tak menduga di sebuah bukit dengan ketinggian 350 mdpl dan luas sekitar 30 ha ini, terdapat makam seorang tokoh penting bagi Nusantara. Keberadaannya masih banyak yang tidak tahu. Bahkan, penduduk sekitar pun tak banyak yang mengetahui. Tetapi, saya bersyukur karena nama beliau sudah mulai sering disebut beberapa tahun terakhir ini dan sejarah tentang beliau mulai terungkap.

(FS)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun