Mohon tunggu...
Firman sabar
Firman sabar Mohon Tunggu... Bankir - Manager Perbankan

Peminat sejarah dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Catatan Ziarah Rakeyan Sancang: Sri Baduga Raja Hind dari Negeri Sungai-sungai

14 Mei 2023   20:32 Diperbarui: 14 Mei 2023   20:34 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi Penulis

Firman sebenarnya sedang dalam keadaan sakit lambung yang lumayan berat. Mukanya pucat dan kedua kakinya bengkak. Tetapi semangatnya luar biasa. Tanpa mengeluh, dia titi setiap anak tangga. Saya, Reza, dan Okipun berada bersamanya menemani. Dari Firman, saya belajar kekuatan sebuah tekad. Dimana ada tekad kuat, apapun rintangan pasti dapat dilalui.

Selain Firman, ada juga Fuad yang gempal tubuhnya. Dia hanya berjarak beberapa meter di depan kami. Sama dengan Firman, diapun tampak kelelahan. Tapi hanya keceriaan yang terlihat dari raut wajahnya. Rasa lelah tidak menghalanginya untuk tersenyum. Bahkan sesekali terdengar kelakar yang membuat kami tertawa.

Tak terasa kamipun sampai di kawasan makam yang menjadi tujuan ziarah kami. Sebuah kawasan tanah lapang dikelilingi pepohonan hutan yang rimbun. Ada satu dua pohon besar yang tumbuh di kawasan tanah lapang itu. Di kawasan tersebut hanya terdapat satu makam . Makam itu dikelilingi oleh pagar kawat. Berbeda dengan tanah disekitarnya, tanah dan bebatuan di dalam pagar kawat tertutup oleh lumut. Kamipun memasuki kawasan di dalam pagar kawat tersebut. Kami berbaris antri, satu per satu masuk dan mencium sebuah nisan batu yang harum.

Kami duduk berjajar dua shaf di samping makam. Tiga orang teman sekaligus senior kami: Andito, Dedi, dan Reza didaulat untuk memimpin ziarah. Selama pembacaan doa ziarah, sebuah suara dari binatang yang tak kami ketahui terus mengiringi. Seolah binatang itupun turut merapalkan  doa-doa  ziarah.

Makam yang kami ziarahi adalah makam seorang tokoh bernama Rakeyan Sancang. Tidak banyak informasi tentang beliau. Hanya beberapa tahun terakhir ini, nama beliau banyak diungkap. Beliau adalah tokoh yang selama ini tertukar dengan Kian Santang, putra raja Siliwangi yang memeluk Islam dan konon katanya adalah murid dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Alih-alih Kian Santang, Rakeyan Sancang inilah yang sejatinya merupakan murid sekaligus sahabat Sayyidina Ali bin Abi Thalib. 

Dalam kitab Biharul Anwar, beliau disebut Sri Baduga Raja Hindia dari negeri Suh (sungai-sungai). Dalam kitab tersebut disebutkan pula bahwa wilayah kekuasaan Sri Baduga Raja Hindia ini sangat luas. Jika ditempuh dengan berjalan kaki, membutuhkan waktu selama 4 (empat) tahun. Pusat pemerintahannya saja seluas 50 farsakh atau sekitar 400 km dan setiap pintunya dijaga oleh 120.000 (seratus dua puluh ribu) asykar/ prajurit yang siap bertempur bila diperintahkan.

Masih dalam kitab itu, diceritakan bahwa berbeda dengan banyak raja-raja yang menolak Rasulullah Saw, Rakeyan Sancang tunduk patuh menerima Islam. Padahal, pada saat itu beliau berusia 925 tahun, jauh lebih tua dari Rasulullah Saw. Tak hanya itu, beliau juga adalah seorang raja yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Senioritas dan status sosial tinggi tidak menghalangi beliau untuk mengikuti kebenaran. Selain itu, ketika salah seorang sahabat Rasul bertanya kepada beliau, "Bagaimana anda melaksanakan shalat pada usia setua ini?" Beliau menjawab, "Allah Azza wa Jalla berfirman:  Yaitu orang-orang yang mengingat Allah diwaktu berdiri, duduk maupun berbaring." Bagi saya, jawaban tersebut menunjukkan bahwa beliau sudah ber"islam" sebelum Islam.

Rakeyan Sancang harus dikenal oleh banyak muslim di Nusantara. Sebab, keberadaan beliau adalah bukti bahwa Islam bukanlah barang asing bagi Nusantara. Nusantara tidak mengenal Islam kemarin sore. Nusantara mengenal Islam sejak masa awal kelahirannya. Bahkan salah satu tokoh Nusantara mengisi daftar nama sahabat Rasulullah Saw. Tidak hanya sahabat, tetapi menjadi loyalis murid terkasih beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Setelah menuntaskan pembacaan doa ziarah, kami berkumpul di sekitar nisan beliau. Kami memeluk dan menciumnya. Wangi harum yang sama masih tercium. Sambil memeluk dan mencium nisan, kamipun berpamitan. Saat itu mungkin sekitar pukul 17.00. Langit sudah mulai berwarna kuning pekat. Dalam perjalanan turun, kami disuguhi pemandangan merahnya langit senja. Di arah barat, terdapat barisan awan yang sekilas terlihat seperti rangkaian aksara arab. Suasana saat itu sangat syahdu. 

Ketika langit sudah gelap, kami tiba di lokasi pemberhentian mobil. Kami istirahat sejenak di warung yang ada di sana. Di warung, Abah dan beberapa anggota timnya sudah menunggu kami. Abah tidak ikut kami berziarah ke makam. Sebenarnya, Abah sudah ikut naik ke makam, tapi ditengah perjalanan Abah memutuskan untuk kembali turun. Kalau menurut Abah, penyebab Abah turun kembali adalah karena muncul perasaan bahwa ziarah ini bukan jatah untuknya.

Setelah beristirahat sekitar setengah jam, kamipun beranjak pulang. Sekitar pukul 01.00 hari Minggu, kami tiba di rumah Abah. Tak menghabiskan waktu lama, setelah berpamitan dan berterima kasih kepada Abah, kami bertolak ke kediaman masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun