Pukul 16.00 WITA, seorang lelaki paruh baya berkacamata turun dari mobilnya. Tampak kebersahajaan dari raut wajah, sikap tubuh, dan pakaian yang ia kenakan. Saya datangi lelaki itu dan dia pun segera mengulurkan tangannya. "Sinung" ujar lelaki itu. Logat jawa yang kental, senyuman di wajah yang teduh, dan tubuh yang merengkuh tunduk mempertegas identitasnya sebagai "wong jowo." Kamipun saling bertukar nama. Lelaki itu bernama Herman Sinung Janutama yang akrab dipanggil Ki Sinung. Seorang budayawan lulusan fisika dari Yogyakarta yang sempat membuat gempar melalui bukunya yang berjudul "Majapahit Kerajaan Islam".
Hari itu, saya dan teman saya, Ujang, memang janji bertemu Ki Sinung di Yogyakarta. Ujang adalah aktivis sebuah lembaga kemasyarakatan di Garut bernama Gagak Lumejang yang concern melawan radikalisme dengan cara pelestarian sejarah leluhur bangsa. Tindakan nyatanya adalah dengan membangun makam-makam bersejarah dan mengajak orang untuk berziarah. Memang itulah arahan dari Ketua umum mereka, Wahyu Yunus yang akrab dipanggil Abah. "Anti tahlil, anti ziarah" adalah rumusan sederhana yang Abah cetuskan untuk mengidentifikasi radikalisme. Oleh karena itu, Gagak Lumejang selalu berusaha untuk terus menghidupkan budaya tahlil dan ziarah dalam masyarakat muslim Garut.
Cerita pertemuan kami dengan Ki Sinung bermula dari pengalaman ziarah saya dan Gagak Lumejang ke makam tua Rakeyan Sancang di Garut. Tokoh bernama Rakeyan Sancang ini belum terlalu dikenal di Indonesia. Makamnya pun pada awalnya tidak banyak diketahui. Pada tahun 2019, Abah dan tim Gagak Lumejang akhirnya menemukan makam ini setelah tertutup sekian lama dengan kesimpangsiuran nama dan berbagai mitos. Tidak lama setelah ditemukan, sebagaimana yang sudah dilakukan terhadap makam-makam tua sebelumnya, akses jalan masuk ke makam yang berlokasi di Gunung Nagara ini pun mereka bangun. Hari ini, kita akan menjumpai gapura yang megah di pintu masuk makam dan anak tangga yang memudahkan kita mendaki ke puncak bukit tempat makam berada.
Tidak banyak cerita tentang Rakeyan Sancang. Tetapi menurut Abah, Rakeyan Sancang adalah Maharaja Nusantara yang hidup sebelum zaman Rasulullah Saw sampai setelah Rasulullah Saw wafat. Beliau bertemu dengan Rasulullah Saw dan diperintahkan untuk berguru pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Beliau menjadi murid, sahabat, dan pendukung perjuangan Rasulullah Saw. Bahkan menjadi panglima perang Sayyidina Ali dalam perang shiffin. Beberapa manuskrip menyebutnya sebagai sahabat dari timur jauh, Malik Al Hind atau Abdullah As Samudri. Informasi ini, Abah dapatkan setelah beliau dan tim berkeliling ziarah ke berbagai makam di Jawa, Barus, Wajo untuk menapaki jejak-jejak penyebaran Islam di Nusantara. Kesimpulan dari Abah, Rakeyan Sancang adalah kunci pembuka sejarah Islam di Nusantara yang sebenarnya.
Ki Sinung pun dalam kajian-kajiannya sering menyebutkan nama Rakeyan Sancang. Merasa memiliki kesamaan, kami coba kontak beliau. Gayung bersambut, Ki Sinung merespon dan terjadilah diskusi daring dengan beliau. Singkat cerita, kami sepakat bertemu di Yogyakarta.
Pertemuan kami diisi dengan diskusi tentang Islam dan Nusantara. Di awal diskusi, Ki Sinung banyak berbicara tentang Nusantara yang sudah memiliki peradaban tinggi. Nusantara adalah negeri persemakmuran yang terdiri dari banyak kerajaan. Tetapi, tidak pernah ada peperangan antar kerajaan. Setiap kerajaan dengan kerajaan yang lain hidup harmonis.
Ki Sinung pun mengungkapkan bahwa Nusantara adalah bangsa Ahlul kitab. Bangsa bertauhid dan penanti kehadiran Rasulullah Saw. "Dalam catatan Prof.Gerini, disebutkan bahwa pada tahun 606 M sudah banyak pengikut Al Amin di Nusantara. Itu berarti sebelum Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul pada tahun 610 M. Dengan demikian, bangsa Nusantara sudah mengetahui tentang Rasulullah Saw jauh sebelum dakwah Rasulullah Saw dimulai." Ungkap Ki Sinung.
"Rasulullah Saw rutin mengirimkan sahabat-sahabatnya ke Nusantara." Ujar Ki Sinung. Beliau berpendapat bahwa Nusantara adalah kunci keberhasilan tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Letak geografis Nusantara yang berada pada persimpangan jalur perdagangan dunia saat itu, membuat banyak bangsa berkumpul di Nusantara. Inilah faktor strategis yang diperlukan untuk syiar Islam. Oleh karena itu, Rasulullah Saw rutin mengirim sahabat-sahabatnya ke Nusantara. Sahabat yang dikirim Rasulullah Saw pun adalah sahabat-sahabat besar. Ini menunjukkan perhatian khusus Rasulullah Saw terhadap syiar di Nusantara.
Salah satu sahabat besar yang pernah menginjakkan kakinya di Nusantara adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Menurut Ki Sinung, Sayyidina Ali pertama menginjakkan kaki di Garut atau yang dikenal dengan nama Sancang saat itu. Kedatangan Sayyidina Ali ke Nusantara terindikasikan dalam kitab Nahjul Balaghah khutbah 165 tentang burung Merak. Dalam khutbah tersebut, Sayyidina Ali menggambarkan tentang keindahan burung Merak sebagai salah satu bukti kemahakuasaan Allah SWT.
"Habitat merak di dunia itu cuma ada satu, yaitu di Nusantara. Di Nusantaranya pun cuma ada dua, yaitu di pulau Jawa ujung paling barat dan di sepanjang hutan Kendeng, Jawa tengah." Ungkap Ki Sinung.
Menurut Ki Sinung, Sayyidina Ali memiliki istri dari Nusantara bernama Ummu Quraisyi dan memiliki anak yang menjadi salah satu penguasa adil di Nusantara, Ratu Sima namanya. Nama Sima ini adalah akronim dari Siti Fathimah."Sejarah ini adalah salah satu yang ditutupi, sehingga kita tidak banyak mendapatkan informasi tentang Ratu Sima. Dalam buku sejarah hanya disebutkan bahwa Ratu Sima adalah penguasa adil dari Kalingga." Tutur Ki Sinung.Â