Mohon tunggu...
Firman Darmawan
Firman Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya menyalurkan hobi dalam tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sebuah Kotak Ajaib Bernama Televisi

25 Januari 2012   07:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan benda yang satu ini ? Ya, sebuah kotak ajaib bernama televisi. Kotak ajaib ini sudah mampu membius anak-anak hingga orang dewasa. Televisi bahkan sudah menjadi suatu kebutuhan primer dalam rumah tangga belakangan ini, hampir sama kedudukannya dengan sembako. Jika sehari saja tidak menonton acara televisi, seakan ada yang kurang. Televisi sudah menjadi candu yang adiktif bagi kebanyakan orang yang hidup di jaman millennium. Sejak ditemukan pertama kali pada sekitar tahun 1920-an oleh John Logie Baird, televisi seakan menjadi suatu bentuk hiburan baru yang dapat menyambangi siapapun di rumah. Murah, ekonomis, dan instan. Media cetak seperti buku, koran, majalah dan sebagainya menjadi tersingkirkan dengan adanya televisi. Bahkan radio yang menjadi primadona di jaman dahulu kala, harus rela digeser tempatnya di ruang keluarga oleh televisi. Di tengah kesibukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari, televisi seakan menjadi suatu jawaban bagi manusia untuk mendapatkan kemudahan akses informasi dan hiburan. Manusia jaman sekarang seakan sudah tak punya waktu lagi untuk sekedar membaca buku atau majalah karena tuntutan jaman sekarang yang mengharuskan manusia harus bertindak cepat dan instan jika tidak ingin digilas oleh kejamnya jaman. Dan televisi-pun menjadi jawaban yang paling logis dalam menjawab tuntutan tersebut. Tetapi, dibalik itu semua, sadarkah bahwa saat ini umat manusia sedang dipecundangi oleh sebuah kotak ajaib bernama televisi ?

Saya masih teringat masa kecil dulu saat ibu dan guru TK saya begitu piawai dalam menceritakan dongeng-dongeng yang penuh pelajaran dan filosofi tentang kehidupan nan tinggi. Begitu tersihirnya anak-anak di jaman itu dengan kekuatan dongeng yang terucap secara indah serta penuh kebajikan. Bahkan bisa dikatakan sangat inspiratif menurut pendapat saya. Berkumpul bersama teman-teman sebaya di sebuah taman bacaan atau rental buku bacaan sambil asyik membaca buku, komik, atau novel kesukaan adalah suatu kegiatan yang amat menyenangkan dan indah saat itu. Namun, apa yang terjadi dengan anak-anak jaman sekarang sungguh membuat saya miris. Anak-anak tak lagi menyukai dongeng, tetapi malah mengidolakan tokoh kartun yang ada di televisi. Anak-anak juga tak lagi memenuhi taman-taman bacaan atau perpustakaan, melainkan sibuk di rental game atau menonton film kesukaannya di televisi. Jarang sekali saya lihat anak-anak menjadi kutu buku di jaman sekarang, yang paling banyak adalah anak-anak kutu internet, kutu televisi, kutu handphone, dan kutu game. Memang sebegitu powerfull-nya sebuah kotak ajaib bernama televisi ini, hingga bisa mengubah pola pikir dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, hanya untuk mendiamkan seorang anak yang menangis, televisi-lah yang menjadi pengalih perhatian, seakan orang tua sudah tak sanggup lagi membujuk anaknya yang sedang merajuk. Tetapi, apakah kita rela jika anak kita terus menerus “diasuh” oleh benda yang bernama televisi ?

Sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri tentang dampak menonton televisi. Sebut saja obesitas, meningkatnya kadar kolesterol dalam darah, hingga penyakit kardiovaskular lainnya akibat terlalu lama menonton televisi. Selain itu, dari segi sosial dan kepribadian, televisi juga cenderung membentuk seseorang menjadi bersifat asosial dan cenderung temperamental Namun, ada juga dampak positif televisi seperti misalnya melatih kemampuan berbahasa bagi anak. Sebenarnya televisi bagai mata pedang yang kedua ujungnya sama tajam, tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya. Televisi dapat menjadi suatu media pembelajaran yang bagus bagi siapa saja, asal program atau tayangan yang disajikan mengandung nilai-nilai pengetahuan, penanaman budi pekerti yang baik, hingga pembentukan pola pikir ke arah yang lebih baik dan positif. Sebaliknya, televisi dapat pula berdampak negatif jika tayangan atau program yang ditayangkan sarat dengan kekekerasan/anarkisme, penyalahgunaan obat terlarang, hingga pergaulan bebas. Namun, program televisi yang mengedepankan nilai-nilai positif sangat jarang saya temui di televisi domestik Indonesia. Acara-acara televisi di Indonesia cenderung tidak mendidik dan hanya mengeksplorasi budaya yang sifatnya instan serta hedonis. Sebagai contoh adalah tayangan sinetron dan reality show yang makin menjamur dan hampir ada pada setiap stasiun televisi di negeri kita ini. Demi mengejar sebuah rating yang tinggi atas nama komersialisme, tayangan-tayangan tak mendidik ini malah ditempatkan di prime time alias menjadi tayangan yang sering ditonton sekeluarga.

Sungguh suatu kondisi yang tak layak bagi perkembangan mental dan intelektual para generasi muda kita sekarang, apabila terus menerus dicekoki oleh televisi dengan tayangan-tayangan sampah semacam sinetron maupun reality show. Yang ditakutkan adalah di masa depan, para generasi muda ini cenderung berpikir secara instan untuk mencapai sesuatu, bahkan bila perlu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, seperti layaknya yang tergambar di sinetron maupun reality show. Jika hal ini berlanjut, bukan tidak mungkin suatu saat bangsa kita akan runtuh akibat krisis moral sebagai pengaruh dari tayangan televisi yang tak mendidik. Entah sampai kapan kondisi ini akan terus berlanjut dan semakin merusak kreativitas serta pola pikir positif anak-anak jaman sekarang. Saya hanya bisa berbaik sangka pada seluruh raja televisi domestik di Indonesia agar dapat lebih baik dalam memberikan tayangan yang patut dinikmati oleh masyarakat Indonesia, supaya negara kita lebih maju akibat pengaruh tontonan yang baik dari sebuah kotak ajaib bernama televisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun