Mohon tunggu...
Firman Darmawan
Firman Darmawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya menyalurkan hobi dalam tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Film Contagion (2011):Paranoid Amerika Pada Virus Dan China

21 Desember 2011   08:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 5632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Title: Contagion

Year : 2011

Genre: Medic Thriller/Thriller/Drama Duration: 1 hr 46 mins

Directed by: Steven Soderbergh

Written by: Scott Z. Burns

Starring: Gwyneth Paltrow, Jude Law, Kate Winslet, Matt Damon, Laurence Fishburne, Marion Cotillard Thrill Rate : **** (4/5)

CONTAGION (2011) : PARANOID AMERIKA PADA VIRUS DAN CHINA

KEREN….kata itu yang pertama kali terucap setelah saya selesai menonton film ini hingga credit title-nya habis. Jarang sekali saya mendapat tontonan sebagus dan secerdas Contagion ini. Padahal filmnya sendiri boleh dikategorikan sebagai film kategori “berat” menurut saya. Bagaimana tidak “berat”, karena fim ini banyak menggunakan istilah-istilah medis yang saya sendiri nggak ngerti artinya dan terpaksa harus nanya ke mbah Google. Sutradara Steven Soderbergh memang betul-betul patut mendapat acungan jempol dalam mengelola medic thriller ini sehingga bisa menjadi hiburan yang tidak membosankan, tetap membuat orang penasaran serta duduk tenang hingga film berakhir. Apalagi dilibatkannya aktor dan aktris papan atas di film ini semakin membuat film ini layak untuk ditonton. Jika saya boleh membandingkan, mungkin ini adalah thriller yang tidak terlalu rumit ala Inception-nya Christopher Nolan dengan balutan unsur medis. Contagion dalam tejemahan bebas bahasa Indonesia berarti penularan. Menilik dari judulnya, pasti udah ketebak, film ini menceritakan tentang epidemi suatu penyakit atau virus. Cerita diawali dengan Beth Emhoff (Gwyneth Paltrow) yang sedang duduk sambil minum dan makan kacang di sebuah bandara. Beth nampak tidak sehat dan terbatuk-batuk serta mirip orang yang sedang terkena demam atau flu. Saya selalu heran dengan cara sutradara Amerika menggambarkan orang yang sedang terjangkiti virus, pasti pakemnya adalah orang tersebut batuk-batuk dan seperti orang terkena flu. Tapi, yah sudahlah, mungkin itu cara yang paling efektif bagi sutradara dalam mendeskripsikan orang yang terjangkiti virus.

Selanjutnya ada adegan-adegan pendek tentang orang-orang di China, Inggris dan Jepang yang sama sakitnya akibat serangan virus seperti Beth Emhoff dan akhirnya meninggal setelah sebelumnya kejang-kejang dan mulutnya berbusa. Orang-orang inilah yang menjadi awal petaka penyebaran epidemi virus. Beth akhirnya juga meninggal dan anaknya juga ikut meninggal karena sempat dipeluk oleh ibunya sesaat setelah Beth sampai di rumah. Suami Beth, Mitch Emhoff (Matt Damon) kebal terhadap virus ini, meski sempat dikarantina di rumah sakit tempat istrinya dirawat. Anak perempuan Mitch, Jory Emhoff (Anna Jacoby-Heron), yang tinggal di kota lain, juga kebal dan menemani ayahnya setelah bunda dan adiknya meninggal. Disinilah dimulai petualangan Mitch dan Jory untuk dapat bertahan hidup di lingkungan yang sudah kacau balau akibat epidemi virus.

Sementara itu, pemerintah Amerika, melalui CDC (Center for Disease Control) dan lembaga kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), berpacu dengan waktu untuk menemukan vaksin virus mematikan ini. Mulai dari dokter, peneliti, dan ahli virus saling bahu membahu untuk menemukan vaksinnya. Oh ya, virus ini masuk kategori mematikan dan diduga berasal dari virus yang ada pada kelelawar dan babi yang kemudian bergabung dan membentuk strain baru. Cara penularannya adalah kontak langsung dengan pengidap atau melalui barang-barang yang sudah disentuh oleh pengidap virus. Orang yang telah terjangkiti bisa mati dalam waktu kurang dari 8 jam (kalau nggak salah, maklum, terlalu banyak detail sepanjang film ini). Agen intelejen khusus epidemi dari CDC yang menyelidiki kasus ini adalah Dr. Erin Mears (Kate Winslet), kepala tim CDC (atasan Erin) yaitu Dr. Ellis Cheever diperankan oleh Laurence Fishburne. Pada kondisi chaos seperti ini, agar film ini lebih seru, dimasukkanlah Alan Krumwiede (Jude Law), seorang blogger yang ngakunya jurnalis freelance, untuk memancing di air keruh. Alan yang ternyata kebal virus, dalam video di blognya, berpura-pura sakit dan minum forsythia (obat yang kata Alan manjur untuk virus ini) agar dia sembuh. Alan juga menuding pemerintah Amerika Serikat memiliki konspirasi dengan perusahaan farmasi sehingga forsythia dibatasi. Begitu pula dengan pembuatan vaksin anti virus ini yang dirahasiakan agar kalangan tertentu saja yang bisa mendapat manfaat pertama kali dari vaksin ini.

Di belahan dunia yang lain, yaitu China, seorang peneliti dari WHO, Dr. Leonora Orantes (Marion Cotillard) yang sedang melaksanakan penyelidikan mengenai penyebaran virus ini, harus menghadapi situasi yang diluar dugaan. Dia disandera oleh pemerintah China dengan tebusan vaksin virus ini, karena korban terbanyak akibat virus mematikan ini adalah China. Dalam film ini, China juga dituding sebagai asal muasal penyebaran virus, karena sebelum sakit dan meninggal, para penyebar virus di Inggris, Amerika, dan Jepang sempat melakukan perjalanan ke China.

Secara umum, film ini lebih kompleks dari film yang bertemakan epidemi virus, seperti Outbreak (1995) atau The Crazies (2011), sebagai contoh. Kekuatan film ini berada pada plot yang semakin membuat orang menjadi ingin lebih tahu. Pertanyaan-pertanyaan dasar sepanjang film seperti, siapa penyebar virus ini dan benarkah ada konspirasi dibalik penyebaran virus ini, terjawab satu persatu. Berbagai karakter yang ada di film ini memang tidak dieksplorasi secara kuat, mungkin agar penonton dapat berpikir secara global tanpa harus mengetahui latar belakang seluruh karakter utama yang terlibat. Tidak seperti The Crazies yang memposisikan karakter utama sebagai the only survivor dalam epidemi virus, atau peneliti yang menjadi super hero yang berpacu dengan waktu dalam Outbreak, disini kita diajak untuk melihat dampak epidemi secara lebih menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Kekuatan social media di abad 21 ini sangat kuat mempengaruhi pola pikir masyarakat, apalagi dalam kondisi chaos seperti yang digambarkan dalam film ini. Buktinya, Alan Krumwiede dalam blognya telah berhasil mempengaruhi orang Amerika untuk antri mendapatkan forsythia demi kesembuhannya, padahal itu adalah hoax semata. Pemerintah Amerika di film ini juga terkesan menutup-nutupi tentang kejadian epidemi virus ini beserta vaksinnya, sehingga Alan semakin bebas bicara menyebarkan hoax demi keuntungan pribadinya.

Beberapa hal yang sangat “menyentil” dalam benak saya saat menonton film ini adalah sifat Amerika yang sok super hero, terlalu “parno” sama yang namanya virus dan mengkambinghitamkan China yang seakan-akan memang menjadi “sarang” berbagai virus mematikan di dunia. Dalam film ini digambarkan seakan-akan China sebagai asal perkembangbiakan virus dan Amerika berhasil menemukan vaksin untuk mengobatinya. Pendeknya, Amerika bisa menyelamatkan dunia dari krisis. Saya jadi teringat saat Hollywood membuat film Rambo (tahun 1980-an) setelah Amerika kalah berperang dengan Vietnam. Rambo ini digambarkan sebagai super hero yang mampu melawan ratusan tentara Vietcong dengan senjata seadanya. Hollywood seakan membalas kekalahan Amerika terhadap Vietnam melalui Rambo. Mungkin analogi yang sama juga bisa berlaku untuk Contagion ini, karena China saat ini sudah menunjukkan taringnya sebagai salah satu titan ekonomi terkuat di Asia, sehingga Amerika agak “ngeper” juga melihat perkembangan ekonomi China yang semakin maju. Makanya, mungkin Amerika seakan melakukan “black campaign” terhadap China, salah satunya melalui Contagion ini.

Tetapi ada juga hal positif yang bisa kita petik dari Contagion ini. Seperti misalnya tentang cepat tanggapnya CDC dalam menangani epidemi virus ini atau juga pelajaran hidup tentang kerelaan untuk berkorban demi kemaslahatan orang banyak. Seperti yang dilakukan seorang ahli virus yang menyuntik dirinya sendiri dengan prototype vaksin yang dia sendiri juga belum tahu efeknya. Saya berandai-andai, jika kejadian seperti dalam Contagion ini terjadi di Indonesia, pasti separuh dari rakyat Indonesia sudah mati, tetapi pemerintah masih menganggap sepi-sepi saja dan bisanya cuma “prihatin” serta “mengutuk”. Boro-boro vaksinnya nanti ditemukan oleh departemen kesehatan, yang ada paling jawaban klasik, “Kita masih menunggu perkembangan lebih lanjut dan melakukan observasi”. Sebagai penutup, film ini sangat layak untuk ditonton bagi penggemar film thriller yang lebih mementingkan plot dan perspektif berbeda, dibandingkan kemampuan karakter utama untuk meloloskan diri dari krisis. Everybody in this movie are heroes….karena film ini sangat kental mengupas penyelesaian krisis secara menyeluruh, bukan secara personal. Oh ya, pada ending film ini akan terjawab asal muasal virus tersebut, jadi jangan buru-buru beranjak dari tempat duduk sebelum film selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun