“Masuk jam lima pagi? Harus berangkat jam setengah lima dari kosan, brrrgh,” keluh batinku. Terbayang dibenakku jika aku harus melintasi pekuburan saat sebelum subuh, dingin, gelap, seraaam…
***
Aku menggeliat malas ketika alarm hp-ku memekik nyaring mengorek-ngorek telinga kiriku, “Jam empat lima belas,” gumamku begitu mematikan bunyi yang mengusili tidurku. Aku bergegas ke kamar mandi di lantai bawah, tapi kehilangan hasrat untuk mengguyur tubuhku dengan air di pagi buta yang dinginnya merayap hingga tulang itu. Hanya membersihkan muka dan menggosok gigi yang sanggup aku lakukan.
Terdengar suara berderit ringan ketika Aku membuka pintu gerbang rumah kos itu, setelah menutupnya kembali segera aku meluncur dengan sepeda motor menyusuri jalanan yang masih kelam dan berkabut tipis. Hawa dingin serta merta dengan mudah menembus sweater yang aku kenakan, tubuhku yang terasa agak bergetar bahkan tak mampu lagi menahan gemeletuk gigiku, kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motor ketika dari kejauhan mataku menangkap bangunan pos jaga di mulut masuk ke perumahan itu, pos jaga itu gelap tanpa penerangan karena memang tak ada orang yang berani bertugas di situ saat menjelang malam hingga terbit matahari. Ada segelintir keraguan merasuki hatiku…
“Kamu besok masuk jam lima pagi ya? Hati-hati, kamu tahu, kan? Pos jaga sebelum masuk ke perumahan tempat kosmu itu, tak ada orang yang berani lewat sana saat gelap. Kalau nanti lewat sana, coba kamu perhatikan pohon jati tua yang tumbuh di sebelah pos jaga itu, angker. Kata orang-orang asli sana, sewaktu perumahan itu baru dibuka, pohon jati tua itu pernah dicoba untuk ditebang, tapi kayunya keras sekali, ditebangi dari pagi hingga menjelang senja baru sepertiganya yang dimakan gergaji mesin, hingga diputuskan untuk dilanjutkan esok harinya. Begitu si penebang hendak melanjutkan pekerjaannya keesokan hari, tak ada lagi bekas gergajian kemarin pada pohon itu. Tapi si penebang yang malang itu tak ambil peduli, terus berupa menyerang pohon itu dengan gergaji mesinnya. Tapi rantai gergaji mesin itu malah putus menghempas keperut dan mengoyaknya hingga ususnya terbu…”
“Sialan, mengapa aku malah mengingat bualan konyol Heriasa,” batinku ketika memori di kepalaku mengingatkan aku akan cerita teman sesama trainee saat di locker room ketika habis jam kerja sore kemarin.
Sepeda motorku kembali bergerak perlahan semakin mendekati pos jaga yang gelap gulita, angker. Begitu melewati pohon jati tua meranggas di sebelah pos jaga itu, mataku sangat enggan melepas lirikan, berusaha meluruskan pandangan ke depan mengikuti arah penerangan lampu sepeda motorku. Tapi tak kuasa juga aku mengekang kebebasan pandangan ketika sekelebatan bayangan melompat dari pohon jati tua meranggas itu, refleks kedua bola mataku menangkap sesosok hewan yang tiba-tiba saja sudah menampakkan diri beberapa meter di depanku.
“Bojog!” teriakku, spontan menghentikan laju sepeda motor.
Kata Heriasa juga, orang-orang tamak dan apatis yang mencari harta melalui pesugihan, bisa merubah diri menjadi bermacam-macam hewan, termasuk bojog (monyet). Bahkan Heriasa yang hobi bercerita itu juga sempat mengisahkan ketika ia dan empat orang temannya pernah melihat penampakan makhluk-makhluk penuntut ilmu pesugihan berujud bojog itu sedang mengorek sisa-sisa pembakaran mayat dipekuburan, lalu melahapnya dengan beringas. Heriasa dan keempat temannya bisa melihat semua itu karena mereka mengepitkan kedua tangannya di bawah ketiak, konon katanya cara itu bisa membuat makhluk jejadian itu tidak bisa mengetahui keberadaan orang yang berbuat seperti itu.
“Sial, motornya malah mogok,” gerutuku melepas panik di tengah kegamangan yang begitu cepat menyelimutiku. Keringat dingin yang keluar dari pori-pori kulit mulai menjalari sekujur tubuhku. Tapi bojog itu tak terlihat lagi, lenyap ditelan kegelapan. Tak mau lebih lama terkungkung dalam kegamangan, segera aku menghela sepeda motor, mendorongnya sekuat yang aku mampu. Maklum, lututku yang bergetar terus membuat otot-ototku melemah.
Di persimpangan jalan, mendadak aku menghentikan dorongan sepeda motor, sesosok gadis cantik berpakaian adat Bali berambut halus panjang terurai tampak duduk anggun di atas tembok tanah yang melingkupi pekuburan, senyumnya manis namun dingin, di telinga kanannya terselip sekuntum bunga kamboja putih menebar harum semerbak. Aku terpana sesaat, kakiku terpaku, mulutku terbungkam. Namun entah apa yang mengerakkan mulutku, sehingga terlontarlah kalimat taawuzd, “A’uudzu billahi minassaitonirrojiim”, dan tak tampak lagi sosok gadis itu di atas tembok tanah, menghilang tanpa bekas.