Arak-arakan panjang itu menghentikan laju sepeda motorku, tepat di persimpangan jalan menuju kompleks perumahan tempat aku kos. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan manusia berpakaian adat lengkap mengisi barisan parade panjang yang diiringi dengan tetabuhan dan bunyi-bunyian tradisional khas Bali, menawarkan nuansa religi yang kental.
Aku masih berada dalam penantian, kapan arak-arakan ini akan menghentikan pawainya, sebuah pawai akbar yang cenderung mewah. Sampai akhirnya mataku tertumpu pada sebuah foto seorang gadis berparas menawan, ayu sekali. Foto itu terpampang pada sebuah miniatur bangunan khas Bali berbahan kayu dan bambu, berukuran panjang sekitar tiga meter selebar dua meter dan menjulang setinggi hampir lima meter yang diletakkan di atas susunan puluhan bambu yang diusung oleh puluhan lelaki dewasa. Sesaat aku terperangah dalam halusinasi. Gadis di foto itu menyunggingkan senyum kepadaku, manis namun terasa dingin di hatiku, dan menegakkan bulu kudukku.
Aku tersentak keluar dari dunia lain begitu orang-orang yang mengusung tandu besar megah bermuatan bangunan khas Bali itu melakukan gerakan berputar berulang-ulang, dua orang pria berpakaian adat Bali berwarna putih yang bertengger di atas bangunan yang diusung itu terlihat mengeruk sesuatu dari dalam sebuah buntelan, lalu berulang kali menghamburkan kerukannya ke arah jubelan manusia yang memenuhi tempat itu. Suasana hiruk pikuk segera tercipta, saling berebutan memunguti benda yang dihamburkan itu, uang.
Aku tak ambil peduli, kepenatan yang menggigit tubuhku membuat suasana unik yang tersaji di depan mataku itu tak menarik minatku untuk terpaku lebih lama ditempat itu. Begitu melihat ada celah untuk meloloskan diri dari kerumunan banyak orang, segera kuhela sepeda motorku menerobos membelok masuk ke jalan menurun hingga sampai di depan sebuah bangunan yang agaknya diperuntukkan sebagai pos jaga sebelum masuk ke kompleks perumahan itu, aku hentikan motorku, menoleh kebelakang. Jantungku berdegup tak beraturan, desiran halus nan sejuk meraba kulitku ketika melihat dari kejauhan seorang gadis cantik melambaikan tangannya dari atas bangunan yang arak oleh puluhan orang itu. “Astaghfirullaahal ‘aziim,” spontan kalimat yang meluncur dari mulutku membuat gadis itu menghilang tak berbekas dari pandanganku.
***
Hampir saja aku melompat melepas kaget ketika melihat seorang gadis cantik berbusana adat Bali dengan rambut panjang nan halus terurai hingga hampir menyentuh lantai berdiri di depan pintu kamar kosku. Senyumnya manis namun dingin. Di telinga kanannya terselip sekuntum bunga kamboja putih menyebar harum semerbak. “Ka…ka…kamu, siiiaapa?” begitu berat kata-kata itu keluar dari mulutku.
Gadis itu membisu dalam diamnya, pandangannya berubah sayu, tapi masih menyunggingkan senyum, manis namun dingin. Tiba-tiba gadis itu melangkah mendekatiku. Entah kenapa, aku merasakan kebekuan menjalari sekujur tubuhku, sejuk tak seperti biasanya. Dan entah kenapa kakiku tertolak mundur, tanganku seperti ingin menggapai sesuatu, entah itu di samping atau di belakang, tapi hanya meraih kehampaan. Gadis itu hampir menjangkau aku, hampir menyentuhku dengan ujung jari lentiknya nan putih, pucat. Aku semakin terdesak mundur, keringat dingin membanjiri rata sepanjang tubuhku. Aku terus bergerak mundur, hingga… sesuatu menahan kakiku, tubuhku kehilangan kendali dan rebah ke lantai dengan kepala menghempas, sakit, pusing, dan gelap.
“Adi, Adi! Mimpi ya?” suara yang agak keras itu membuatku membuka mata. Pemandangan gelap itu berangsur hilang. Aku mulai menyadari bahwa tubuhku yang basah kuyup oleh keringat dingin sedang terbaring di atas kasur yang terbentang di sudut kamar. Tampak seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu kamar.
“Ugh, Pak Wayan,” sahutku seraya mengusap kepala yang berdenyut nyeri sehabis mampir membentur dinding kamar tempat kasurku tersudut.
“Bapak dengar kamu seperti orang mengigau, makanya Bapak langsung kemari,” kata Pak Wayan. “Kamu tidak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa Pak, cuma mimpi,” jawabku. Ada sedikit kelegaan menyeruak di hariku. Syukurlah Cuma mimpi. “Makasih, untung Pak Wayan bangunin saya.”