Mohon tunggu...
Firly Putri Rifansya
Firly Putri Rifansya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa semester 6 jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebuah Jejak Sejarah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang

9 April 2024   10:45 Diperbarui: 9 April 2024   10:47 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di pinggiran Kota Bekasi, terhampar sebuah tempat yang kerap kali diyakini sebagai "titik akhir" untuk limbah yang dihasilkan oleh daerah Jakarta serta sekitarnya, tempat tersebut adalah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. TPA Bantar Gebang ialah tempat pembuangan sampah terbesar di Indonesia serta salah satu yang terbesar di dunia. TPA Bantar Gebang berlokasi di Kelurahan Ciketingudik, Kelurahan Cikiwul, serta Kelurahan Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. Di balik aroma yang terkadang mengusik serta pemandangan yang kurang baik, TPA Bantar Gebang memiliki sejarah yang kaya dengan perjuangan, upaya, serta komunikasi dalam mengelola limbah kota Jakarta serta sekitarnya.

Pada awalnya pemerintah provinsi DKI Jakarta memilih untuk membuat tempat pembuangan akhir di Ujung Menteng, Jakarta Timur. Tetapi, kawasan tersebut dirasa kurang strategis karena telah dipenuhi oleh rumah padat penduduk serta kawasan industri. Berikutnya, opsi jatuh ke daerah di luar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, serta Bekasi. Berbagai pertimbangan telah dilakukan, akhirnya pemerintah DKI memutuskan untuk memilih Kota Bekasi (yang dikala itu masih jadi bagian Kabupaten Bekasi) sebagai lokasi untuk pembuatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Terdapat 2 daerah yang dijadikan opsi untuk dibuatkan TPA yaitu kawasan Medan Satria serta Bantargebang.

Sejak pertama kali diresmikan pada tahun 1989, TPA Bantar Gebang sudah menjadi salah satu tempat pembuangan serta pengelolaan sampah terbesar di Asia Tenggara. Awalnya, wilayah ini ialah galian- galian besar yang sudah ada semenjak 1978 yang dipergunakan untuk proyek properti di Jakarta semacam Sunter Podomoro serta Kelapa Gading di Jakarta Utara. Pemerintah DKI Jakarta dikala itu yang dipandu oleh Gubernur Soeprapto membeli lahan-lahan tersebut dari kedua pemiliknya yaitu Kurnia seluas 100 hektar serta Zaelani Zein 15 hektar untuk dipergunakan sebagai TPA.

TPA Bantar Gebang memiliki 5 zona pembuangan sampah dengan total luas sebesar 110,3Ha yang saat ini dijadikan tempat untuk mencari nafkah bagi ribuan pemulung. Kelima zona tersebut terdiri dari Zona I memiliki luas 18,3Ha, Zona II 17,7Ha, Zona III 25,41Ha, Zona IV 11Ha, Zona V 9,5Ha dan fasilitas lain 28,39Ha (Sihombing dalam Saragih, 2021). Di Tahun 2024, TPA Bantargebang telah berusia 35 tahun. TPA yang berusia 35 tahun ini setiap harinya menerima pengiriman 7000 ton sampah, mulai dari sampah rumah tangga, perkantoran pemerintah maupun swasta, pasar, hotel, restoran, dan lainnya. Tumpukan sampah yang semakin hari semakin bertambah diperkirakan sudah mencapai 50 meter, hampir setara dengan gedung setinggi 16 lantai. Agar dapat memasuki kawasan tersebut, biasanya seluruh mobil pengangkut sampah diharuskan berhenti didepan pintu masuk untuk melakukan penimbangan volume sampah. Mobil pengangkut sampah yang masuk kedalam zona kawasan TPA Bantar Gebang diperkirakan sebanyak 1.331 unit truk setiap harinya. Pada saat truk-truk tersebut mulai membongkar sampah yang mereka bawa, para pemulung sudah bersiap-siap untuk menyerbu dan memilah sampah yang diperkirakan ada nilai jualnya. Para pemulung melakukan seleksi terhadap sampah-sampah yang ada, setelah melakukan aktivitasnya sampah-sampah tersebut akan dibawa ke tempat yang biasanya dapat mengonversikan sampah menjadi uang. Tidak heran jika TPA Bantar Gebang dijadikan tempat mencari nafkah bagi para pemulung karena cukup menjanjikan melihat ribuan ton sampah datang setiap harinya. Diperkirakan terdapat 6.000 orang pemulung di TPA Bantar Gebang, mereka mayoritas berasal dari Kecamatan Bantar Gebang dan wilayah sekitar Kota Bekasi seperti Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Kerawang (Permatasari dan Rahdriawan, 2013).

Dilansir dari portal resmi unit pengelola sampah terpadu dinas lingkungan hidup provinsi DKI Jakarta, TPA Bantar Gebang sudah mengalami beberapa perubahan. Dalam pengelolaan TPA Bantar Gebang, terjadi kerjasama antara pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah Kota Bekasi. Pemerintah DKI Jakarta memfasilitasi kebutuhan yang dibutuhkan TPA Bantar Gebang dengan memberikan dana tunai pada pemerintah Bekasi, namun pada tahun 2000 - 2004 kerjasama tersebut mengalami guncangan dikarenakan faktor politik sehingga dilakukan pengkajian ulang terhadap kerjasama tersebut. Di tahun 2004, sempat terjadi penolakan datangnya sampah DKI Jakarta yang dilakukan oleh warga Kota Bekasi dengan alasan mereka meminta kompensasi dan perbaikan layanan kesehatan, mengingat masyarakat sekitar terkena dampak kurang baik dikarenakan dibangunnya TPA Bantar Gebang. Dikarenakan aksi tersebut, pemerintah Jakarta yang tadinya berperan sebagai operator lapangan memberikan posisi itu kepada PT Patriot Bekasi Bangkit (swasta), lalu 20% dari pembayaran tipping fee sampah diberikan kepada pemerintah Bekasi. Pada tahun 2007, operator lapangan kembali dipegang oleh pemerintah Jakarta.

Pada tanggal 29 Oktober 2023, TPA Bantar Gebang sempat mengalami kebakaran yang cukup hebat. Asap hitam yang dihasilkan dari kebakaran tersebut menyebabkan area TPA Bantar Gebang tertutup kepulan asap tersebut. Untuk memadamkan kebakaran tersebut, diperlukan 12 unit mobil pemadam kebakaran dan 60 personel pemadam kebakaran. Penyebab kebakaran terjadi diduga karena cuaca panas sehingga menyebabkan sampah-sampah kering bergesekan dan menimbulkan percikan api. Awal mula api muncul di zona 2 tempat penyimpanan sampah kering.

TPA Bantar Gebang didirikan sebagai respon terhadap krisis pengelolaan sampah yang terjadi di Jakarta. Pemerintah mulai mengembangkan TPA Bantar Gebang menjadi sebuah tempat yang dapat mengakomodasi peningkatan jumlah limbah. TPA Bantar Gebang dirancang agar mampu menampung sampah hingga 5.000 ton per hari dengan total kapasitas 60 hektar. Pembangunan TPA Bantar Gebang ini didanai oleh Bank Dunia dan pemerintah Indonesia. Pemerintah telah beberapa kali memperluas wilayah TPA Bantar Gebang agar dapat menampung lebih banyak sampah yang dihasilkan oleh penduduk Jakarta dan sekitarnya. Pada tahun 2010, lahan baru ditambahkan sehingga meningkatkan kapasitasnya menjadi 110 hektar.

Namun, sebelum menjadi TPA yang saat ini kita kenal, TPA Bantar Gebang telah melewati perjalanan panjang yang dipenuhi dengan tantangan. Mulai dari aksi protes masyarakat sekitar sampai kekhawatiran akan longsornya timbunan sampah yang menjulang tinggi. Tantangan lain yang dihadapi oleh TPA Bantar Gebang yaitu pencemaran tanah dan air serta masalah kesehatan masyarakat. Pengelolaan limbah yang kurang efisien menyebabkan tanah dan air di sekitar TPA telah terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya. Selain itu, kehadiran TPA Bantar Gebang juga menjadi sumber polusi udara yang signifikan sehingga mengancam kesehatan masyarakat sekitar.

Dalam menyikapi fenomena ini diperlukan komunikasi antara pemerintah, aktivis lingkungan, dan warga setempat untuk mencapai kesepakatan dalam rangka menjaga keseimbangan antara kebutuhan akan pengelolaan sampah dengan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, berbagai upaya terus dilakukan agar dapat mengurangi dampak-dampak negatif ini seperti melakukan pengembangan teknologi pengolahan limbah yang lebih lanjut dan pemantauan lingkungan yang ketat. Selain itu, teknologi yang semakin berkembang juga dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pada tahun 2018, dilakukan penerapan sistem bioreaktor yang dapat mempermudah proses penguraian sampah organik dan mengurangi jumlah gas metana yang dihasilkan. TPA Bantar Gebang juga menghasilkan listrik dari gas metana yang dihasilkan limbah sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi berkelanjutan. Selain sistem bioreaktor dan pengeluaran energi dari gas metana, penggunaan teknologi di TPA Bantar Gebang juga mencakup perkembangan sistem pencitraan dan pemantauan drone. Dengan menggunakan drone yang dilengkapi dengan kamera dan sensor, TPA Bantar Gebang dapat secara efisien memantau aktivitas di setiap wilayahnya termasuk pemantauan penumpukan sampah, potensi kebakaran limbah, serta penggunaan lahan TPA Bantar Gebang secara keseluruhan. Teknologi ini memberikan fasilitas kepada pengelola TPA untuk menanggapi lebih cepat terhadap masalah yang muncul dan mengoptimalkan penggunaan wilayah TPA Bantar Gebang. Selain itu, terdapat teknologi seperti sistem filtrasi lanjutan dan pemurnian air, dengan menggunakan terknologi-teknologi tersebut limbah cair yang dihasilkan dari proses pengelolaan sampah dapat dibersihkan dengan baik sebelum dibuang ke lingkungan sekitar. Teknologi tersebut diharapkan dapat membantu menanggulangi dampak negatif terhadap kualitas air tanah dan lingkungan sekitar TPA Bantar Gebang serta dapat berdampak baik bagi masyarakat sekitar.

Tidak hanya menjadi tempat pembuangan sampah yang sangat besar, TPA Bantar Gebang juga memiliki jejak sejarah dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Dulu sebelum TPA Bantar Gebang dibentuk, sampah- sampah di Indonesia hanya ditangani dengan dibakar ataupun dibuang ke sungai dan laut. Cara-cara tersebut menimbulkan pencemaran di lingkungan sekitar yang berdampak kurang baik untuk kesehatan masyarakat. Hadirnya TPA Bantar menjadi sebuah dorongan untuk pemerintah Indonesia melakukan sistem pengelolaan sampah yang lebih efisien serta ramah lingkungan. Sampah- sampah yang dibawa ke TPA ini diolah menggunakan metode landfill, metode ini dilakukan dengan cara menimbun sampah di lapisan- lapisan tertentu dan ditutup dengan tanah. Selain itu, TPA Bantar Gebang juga dijadikan sebagai tempat pelatihan bagi masyarakat sekitar dalam hal pengolahan sampah. Pemerintah telah membuatkan program pelatihan pengelolaan sampah dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya pengolahan sampah yang baik dan benar.

Salah satu tokoh dunia, Leonardo DiCaprio pernah menyoroti TPA Bantar Gebang ini di akun media sosialnya. Ia mengunggah foto tumpukan sampah dan beberapa pemulung yang ada di TPA Bantar Gebang dengan memberikan caption sebagai berikut

"Pemulung sedang mengumpulkan plastik dari sampah rumah tangga di tempat pembuangan Bantar Gebang, Jakarta, Indonesia. Tempat ini dianggap sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Januari 2019." Tulisnya di Instagram @leonardodicaprio.

Selain itu, pada tahun 2016 DiCaprio terlibat dalam produksi film dokumenter berjudul "Before the Flood" yang diproduksi oleh National Geographic. Sebagai duta lingkungan PBB dan aktivis lingkungan, DiCaprio berkunjung ke beberapa negara penyumbang karbon terbesar seperti China, India, dan Indonesia. Film ini menyoroti berbagai masalah lingkungan, termasuk perubahan iklim dan masalah sampah, termasuk TPA Bantar Gebang. DiCaprio dalam film ini menunjukkan dampak besar yang diberikan TPA Bantar Gebang dalam menampung sampah dan menggambarkan kondisinya yang sudah melebihi kapasitas. National Geographic yang merupakan media terkemuka dalam menyajikan informasi tentang lingkungan dan penelitian ilmiah juga ikut serta membahas permasalahan yang dialami oleh TPA Bantar Gebang. Melalui artikel-artikel, dokumenter, dan liputan khusus, National Geographic telah membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan serta dampak negatif dari TPA yang sudah terlalu banyak menampung sampah, seperti yang terjadi di Bantar Gebang. Selain itu, pada tahun 2019 National Geographic meluncurkan dokumenter berjudul "Breaking Boundaries: The Science of Our Planet". Dokumenter ini dipandu oleh Profesor Johan Rockstrm, seorang ilmuwan lingkungan terkemuka. Dalam salah satu episode, TPA Bantar Gebang menjadi sorotan utama yang menyoroti dampak ekologi dan sosial dari kelebihan sampah yang ditampung. Melalui dokumenter ini, National Geographic memberikan wadah pada para ilmuwan dan ahli lingkungan untuk menyampaikan informasi mengenai masalah lingkungan yang mendesak, termasuk perlunya solusi inovatif dalam mengelola TPA seperti Bantar Gebang.

TPA Bantar Gebang saat ini telah berganti nama menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Tujuan penggantian nama tersebut adalah untuk menjadikan TPA Bantar Gebang menjadi bernilai ekonomis yang melibatkan pengelolaan sampah yang terintegrasi dengan teknologi dan ramah lingkungan (Permatasari dan Rahdriawan, 2013). Dari jejak sejarah TPA Bantar Gebang, kita bisa mendapat pemahaman bahwa penanganan sampah yang baik dan benar sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. TPA ini juga menjadi saksi bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya mengubah cara penanganan sampah yang lebih baik, meskipun masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Lika-liku yang dihadapi oleh TPA Bantar Gebang memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi dalam mengelola lingkungan menjadi lebih baik. Komunikasi telah menjadi kunci dalam mencapai keseimbangan antara pembangunan perkotaan dan pelestarian lingkungan. Sebagai salah satu contoh baik dalam pengelolaan sampah, TPA Bantar Gebang memberikan contoh berharga bagi kota-kota lain di Indonesia dan di seluruh dunia tentang pentingnya komunikasi yang efektif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup kita. TPA Bantar Gebang bukan hanya tempat pembuangan sampah, tetapi juga merupakan sebuah jejak sejarah yang mengajarkan kita untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sampah demi kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Peran aktif semua kalangan dalam menjaga lingkungan dan memanfaatkan sampah dengan cara yang lebih baik dapat membantu TPA Bantar Gebang menjadi tempat pembuangan sampah yang lebih bersih dan ramah lingkungan di masa depan.

Dari seluruh pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang yang berlokasi di Kota Bekasi mempunyai sejarah yang panjang serta berakibat besar terhadap area sekitarnya. Semenjak didirikan pada tahun 1989, TPA Bantar Gebang sudah menjadi salah satu destinasi utama yang digunakan pembuangan sampah di daerah Jakarta serta sekitarnya. Tetapi, bersamaan dengan meningkatnya perkembangan perkotaan serta intensitas konsumsi masyarakat yang bertambah, TPA Bantar Gebang menghadapi permasalahan yang cukup rumit.  Disamping permasalahan-permasalahan tersebut, TPA Bantar Gebang mempunyai peran krusial dalam manajemen sampah Jakarta dan sekitarnya. Tidak hanya jadi tempat pembuangan, TPA Bantar Gebang pula menjadi pusat daur ulang serta pengelolaan sampah yang berkepanjangan. Upaya- upaya pemulihan lahan serta pengelolaan gas metana dari sampah sudah dicoba untuk mengurangi dampak negatifnya.  Sebagai salah satu TPA terbesar di Asia Tenggara, TPA Bantar Gebang terus menjadi sorotan di berbagai diskusi mengenai pengelolaan sampah dan keberlanjutan lingkungan. Peran serta masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait lainnya menjadi metode yang tepat untuk meningkatkan pengelolaan TPA Bantar Gebang serta mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Dengan memahami sejarah dan tantangan yang dihadapi oleh TPA Bantar Gebang, kita dapat lebih memahami berbagai masalah kompleks mengenai sampah di perkotaan Indonesia dan pentingnya melakukan praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Melalui kerjasama, diharapkan TPA Bantar Gebang dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam upaya mencapai lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan.

Firly Putri Rifansya (7021210210) - Komunikasi Lingkungan (A)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun