Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara di dalam lingkup peradilan. Istilah yurisprudensi berasal dari kata dalam Bahasa Latin “iuris prudentia” yang artinya adalah ilmu pengetahuan tentang hukum. Yurisprudensi adalah putusan dari Hakim terdahulu yang telah memiliki ketetapan hukum yang sah yang dapat digunakan Hakim sekarang sebagai sumber hukum dalam pemutusan perkara.
Prof. Mr. Subekti menjelaskan menurut pendapat yang beliau sampaikan bahwa makna dari yurisprudensi adalah “putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap”. Beliau menegaskan bahwa barulah dapat dikatakan ada hukum ciptaan yurisprudensi apabila Hukum atau Pengadilan dalam hal tidak adanya suatu sumber Hukum atau ketentuan yang dapat dipakai atau yang dapat dijadikan landasan untuk memutus perkara yang dihadapkan kepadanya. Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum selain, Undang-undang, Hukum adat kebiasaan, Doktrin dan Traktat.
Sumber Hukum merupakan tempat asal muasal atau sumber dari mana suatu nilai atau norma dan etika tersebut berasal. Sumber Hukum dibagi menjadi dua macam, yakni sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materiil adalah sumber materi yang mendasari suatu hukum sehingga hukum tersebut dapat dapat terbentuk, sumber hukum materiil ini menetukan apa materi yang dibahas dan isi dari peraturan hukum, contohnya; agama, kitab suci, adat istiadat dan hubungan sosial. Sedangkan Sumber Hukum formil adalah sumber hukum tertulis maupun tidak tertulis yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat mengikat, contohnya; Undang-undang, Kebiasaan, Putusan-putsuan hakim terdahulu (Yurisprudensi) dan traktat.
Dari contoh-contoh sumber hukum formil diatas, pemberlakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh hakim di muka peradilan menjadi timbul pertanyaan, karena keberadaan yurisprudensi seringkali menjadi perdebatan. Perdebatan yang terjadi dikarenakan oleh sistem hukum yang digunakan Indonesia saat ini merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda yakni hukum civil law yang menempatkan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang dapat dirujuk oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
Dalam sistem hukum Civil law maupun Common law Yurisprudensi telah memiliki tempat dalam sumber hukum formil di masing-masing sistem hukum ini, akan tetapi memiliki kekuatan mengikat yang berbeda antar kedua sistem tersebut. Didalam sistem Common law Yurisprudensi memiliki kekuatan hukum yang benar-benar mengikat dan memiliki kedudukan yang sangat penting di samping undang-undang. Sedangkan kekuatan hukum dalam sistem Civil law Yurisprudensi tidak terlalu mengikat, hakim di perbolehkan memilih untuk menggunakan putusan hakim terdahulu atau sama sekali tidak menggunakannya.
Dalam isi undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dalam BAB 4 tentang hakim beserta kewajibannya dalam Pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa : ”Hakim Wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam lingkungan masyarakat.” selanjutnya dalam pernyataan dari Pasal tersebut dijelaskan juga : “ketentuan ini dikehendaki agar putusan Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Ketentuan tersebut tersirat secara juridis maupun filosofis bahwa Hakim di Indonesia memiliki kewajiban dan hak untuk melakukan penemuan hukum dan menciptaaan hukum, agar putusan yang diputuskannya dapat sesuai dengan hukum yang berlaku dan timbul keadilan di dalam masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua tingkatan kehakiman, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding ataupun tingkat kasasi serta Hakim Agung.
Dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia yurisprudensi memiliki memiliki peranan yang besar dan tidak dapat dipisahkan. Yurisprudensi di Indonesia sudah memiliki peran yang penting pengaruhnya, selain sebagai sumber hukum, yurisprudensi juga menjadi petunjuk arah bagi para hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Yurisprudensi sendiri memiliki fungsi dalam hal hakim dalam proses membuat putusan adalah untuk mengisi kekosongan hukum karena didalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (A.B), hakim tidak diperbolehkan menolak perkara dikarenakan tidak adanya hukum yang mengatur. Kekosongan hukum hanya dapat diatasi dan ditanggulangi melalui putusan hakim terdahulu yang akan dijadikan pedoman menjadi yurisprudensi sampai terciptanya peraturan hukum yang lengkap dan baku.
Dengan demikian berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahawa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formil yang sah, karena berasal dari putusan hakim terdahulu yang telah memenuhi syarat untuk menjadi Yurisprudensi dan telah diuji untuk dapat menjadi sumber hukum yang mengikat dan tertulis dan dapat digunakan hakim setelahnya sebagai pedoman dalam memutus suatu perkara.
Peraturan perundang-undangan tidaklah selalu mengatur suatu peraturan secara rinci dan lengkap, banyak peraturan-peraturan yang belum tertulis didalam peraturan perundang-undangan sehingga sering terjadi kekosongan hukum. Untuk mengisi kekosongan hukum, karena Indonesia menganut sistem hukum civil law maka Hakim mempunyai hak untuk menciptakan hukum atau berpedoman pada putusan hakim terdahulu yang memilik perkara yang sama dan sudah sah menjadi yurisprudensi.