Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta -Pontianak yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu telah meninggalkan duka mendalam bagi para sanak kelurga penumang dan kru pesawat dan juga masyarakat Indonesia. Berbagai kecelakaan pesawat yang terjadi selalu menimbulkan korban jiwa. Korban yang selamat masih sedikit yang tercatat, kebanyakan penumpang pesawat selalu meninggal dunia ketika terjadi kecelakaan pesawat. Walaupun data statistik konon memperlihatkan bahwa korban kecelakaan pesawat masih terbilang sedikit dibandingkan kecelakaan moda transportasi darat, tetap saja kebanyakan masyarakat merasa was was saat bepergian dengan pesawat.
Hal ini berlaku juga bagi saya. Pada beberapa kesempatan bepergian dengan pesawat ke berbagai tujuan dalam rangka urusan pekerjaan, saya seringkali merasa khawatir saat memasuki badan pesawat. Yang selalu terpikirkan oleh saya adalah bagaimana kalau pesawat ini jatuh? Apa yang akan terjadi nanti jika jatuh? Apakah saya akan selamat? Bagaimana jika jatuh di lautan luas yang dalam ? Berbagai pertanyaan selalu melintas di pikiran saya. Dan saya coba menghilangkannya dengan berdoa dan mencoba memikirkan hal-hal lainnya.
Terus terang saya merasa tetap merasa khawatir walaupun pramugari/a memperagakan alat dan cara keselamatan diri seperti peragaaan penggunaan baju pelampung, pemasangan sabuk pengaman di kursi, penggunaan masker oksigen dan cara keluar dari pesawat. Saat melihat baju pelampung diperagakan cara memakainya, saya berpikir kalau nanti jatuhnya tidak di perairan apa gunanya baju pelampung tersebut. Walaupun Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas, toh pesawat bilamana kecelakaan jatuh tidak otomatis ke lautan, bisa saja jatuh di daratan. Kenapa bukan alat keselamatan lainnya yang disiapkan jika ada pesawat akan jatuh.
Tadinya saya membayangkan adanya parasut sebagai alat keselamatan diri yang disediakan di dalam pesawat. Setiap kursi penumpang dilengkapi dengan parasut. Namun setelah dipikirkan lagi, kok sepertinya agak ribet jika setiap penumpang harus memakai parasut. Saya akhirnya memikirkan kursi pelontar penumpang. Ini sepertinya lebih praktis. Jika pesawat mengalami kecelakaan, misalkan akan jatuh, maka kursi penumpang akan secara otomatis mengeluarkan penumpang dari dalam pesawat. Penggunaan kursi pelontar penumpang ini bisa meniru seperti kursi pelontar pilot pada pesawat tempur.
Tapi mungkinkah pesawat komersial menggunakan kursi pelontar penumpang? Kalau saya sih berpikiran, kenapa tidak. Pasti bisa. Jika teknologi pesawat makin maju, harusnya alat keselamatan penumpang dan juga kru pesawat juga harus makin maju. Yang saya heran, pesawat komersil semakin cangggih sekarang ini, tetapi alat keselamatan diri masih belum berkembang. Itu-itu saja dari tahun ke tahun. Tapi seperti apa sih sebetulnya kursi pelontar tersebut?
Sejarah kursi pelontar
Dari penelusuran pustaka, kursi pelontar banyak digunakan di dalam pesawat tempur. Kursi pelontar digunakan agar kru pesawat yang menerbangkan pesawat jet tempur bisa segera menyelamatkan diri ketika pesawatnya akan jatuh ataupun akan hancur meledak setelah ditembak oleh musuh.Â
Padaa awalnya, pilot pesawat tempur hanya dilengkapi dengan parasut sebagai alat keselamatan dirinya. Namun ternyata untuk menggunakan parasut tersebut cukup memakan waktu. Pilot harus melepas sabuk pengaman dan membuka kaca atau pintu kokpit, semua tindakan tersebut dalam hitungan detik saja. Pada akhirnya, mungkin nasib naas menimpa pilot karena keterbatasan waktu untuk segera menyelamatkan diri.Â
Kursi pelontar pertama kali dikembangkan di tahun 1940-an. Â Mulai dipergunakan di Angkatan Udara Jerman dan juga Inggris. Kursi pelontar digunakan dengan maksud untuk menyelamatkan pilot karena pilot merupakan asset yang bernilai. Pilot menjadi bernilai karena sulitnya untuk melahirkan pilot-pilot tempur yang cakap. Butuh pendidikan yang telaten dan waktu yang lama untuk melahirkan pilot-pilot tempur yang handal. Â Dari jaman peperangan, hingga masa perdamaian keberadaan kursi pelontar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai negara.Â
Peluncuran kursi lontar pertama dilakukan tahun 1946 oleh produk Martin-Baker dari Inggris. Orang yang pertama kali secara sukarela dilontarkan adalah Bernard Linch dari ketinggian 2600 meter dengan kecapatan 253 km per jam dari pesawat tempur. Sejak saat itu penggunaan kursi lontar produk Martin -Baker makin populer dipergunakan oleh banyak negara. Prinsip kerja dari kursi lontar edisi awal ini seperti ditembakkan keluar dengan tekanan kuat seperti dinamit.Â
Kemudian pada tahun 1975 mulai berkembang penemuan teknologi kursi pelontar yang dimodifikasi dengan menambah kecepatan lontaran dan kekuatan lontaran secara sekaligus. Ide dari modifikasi ini adalah secepat mungkin mengeluarkan penerbang dari kokpit pesawat. Hal ini juga dimaksudkan agar si penerbang mengalami resiko yang kecil, baik itu cacat anggota tubuh ataupun meninggal.Â