Selama ini angkutan umum di Kota Bandung berupa taksi, angkutan kota (angkot), becak, bus kota Damri yang kemudian berevolusi menjadi Trans Metro Bandung (TMB) serta transportasi berbasis on-line (motor dan mobil). Saat jenis angkutan umum yang populer digunakan warga Bandung adalah angkot, bus TMB serta ojeg motor on-line karena ongkosnya relatif terjangkau.
Namun jujur saja, kondisi angkutan umum di Bandung masih cukup memprihatinkan (khususnya angkot dan bus TMB) yaitu tingkat pelayanan yang rendah (berupa jadwal yang tak pasti, kecepatan yang lambat dan tidak teraturnya kedatangan), kurang manusiawi  (berdesakan dan berdiri), daya angkut yang terbatas, dan pengelolaan yang masih buruk. Pemandangan sehari-hari di Bandung sering kita jumpai angkot dan bus TMB yang dijejali penumpang pada jam-jam tertentu.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berupaya memperbaiki kondisi tersebut dengan menyediakan penambahan armada bus TMB yang ber-AC pada rute-rute tertentu seperti rute Cicaheum-Leuwipanjang. Pemkot Bandung pun membuat rencana pengoperasian TMB sejak lama dengan mengambil inspirasi dari Busway nya Jakarta.
Namun pada saat uji coba TMB pada 22 Desember 2008 lalu terjadi unjuk rasa penolakan sopir dan pengusaha angkot yang disertai aksi perusakan dan penghadangan.
Kejadian itu membuat Walikota Bandung pada saat itu sempat memutuskan penundaan pengoperasian TMB karena persiapannya dinilai tidak matang.
Padahal sejak tahun 2006, Pemkot Bandung selalu menunda-nunda pengoperasian bus TMB dengan berbagai alasan ketidaksiapan contohnya seperti belum dibangunnya prasarana perhentian (shelter).
Hal ini menandakan kurang seriusnya Pemkot Bandung dalam menyiapkan TMB, terutama bila ditinjau dari aspek sosial yang terkait dengan adanya kekisruhan dengan para sopir dan pengusaha angkot. Tulisan ini berangkat dari studi kasus dengan mengulas munculnya konflik antara angkot dan bus TMB yang pernah terjadi pada tahun 2009 lalu.
Adanya anarkis berupa penghadangan, perusakan bahkan penganiayaan dari para sopir dan pengusahan angkot menandakan telah munculnya konfliks sosial dari keberadaan TMB ini. Pihak yang berkonflik di sini ada empat aktor utama yaitu Pemkot Bandung (Dinas Perhubungan), PT.Damri (operators bus TMB), sopir dan pengusaha angkot. Dalam hal ini, sopir angkot adalah pihak yang paling terjepit posisinya.
Sopir angkot terjepit karena ditekan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dirinya dan juga ditekan oleh para pengusaha angkot terkait dengan setoran. Sopir menjadi sapi perahan bagi kepentingan para pengusaha angkot. Sebab pengusaha angkot menerapkan sistem setoran bagi angkotnya. Pengusahan angkot tidak mau tahu soal operasional angkotnya seperti pengaturan frekuensi, jadwal dan waktu tempuh, yang penting jumlah setoran terpenuhi oleh sopir.
Karena dikejar-kejar setoran, maka sopir akhirnya membanting tulang agar memperoleh pendapatan melebihi jumlah setoran.
Akibatnya, sopir dalam menjalankan tugasnya seringkali berperilaku seenaknya demi mengejar setoran seperti ngebut, menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya, melanggar aturan lalu lintas, angkot penuh sesak penumpang bahkan seenaknya menurunkan penumpang di tengah perjalanan sebelum tiba di tujuan.Â