Kebakaran hutan dan lahan gambut kembali terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Di Kalimantan Barat (Kalbar), diberitakan bahwa Kota Pontianak sudah dikepung asap.
Atas peristiwa itu pihak Kepolisian Daerah (Polda) Kalbar telah menetapkan 27 orang sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, kemudian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel area kehutanan terbakar yang dimiliki 5 perusahaan di Kalbar (Kompas, 27-28 Agustus 2018).
Kebakaran hutan dan lahan gambut juga terjadi di Provinsi Riau (Dumai dan Siak), di Provinsi Sumatera Selatan (Ogan Komering Ulu) dan Jambi (Muaro Jambi), walaupun belum sebesar kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalbar.
Kebakaran hutan dan lahan gambut ini selalu terulang setiap tahun pada saat musim kemarau. Hanya pada saat musim hujan saja, kebakaran hutan dan lahan gambut itu tidak sering terjadi.Â
Kita tentu masih ingat kebakaran hutan dan lahan gambut di tahun 2015 lalu yang sangat hebat, bahkan saking hebatnya peristiwa kebakaran itu telah memanaskan hubungan dengan negara tetangga (Malaysia dan Singapura) yang terkena imbas asap kebakaran.Â
Dari data KLHK, disebutkan bahwa seluas 2,6 juta hektar lahan dan hutan telah terbakar sepanjang Juni-November 2015, memakan korban jiwa sebanyak 19 orang dan 500.000 penduduk menderita infeksi saluran pernapasan akut.
Kebakaran tersebut telah meluluhlantakkan hutan dan kekayaan hayati di dalamnya. Tercatat pada Oktober 2015 lalu, 24.773 sekolah ditutup dan 4.692.537 siswa diliburkan.
Namun tidak di tahun 2015 saja kebakaran hebat terjadi, jauh sebelumnya di tahun 1997 juga telah terjadi kebakaran yang lebih hebat lagi, yang salah satu pemicunya adalah kekeringan panjang sebagai akibat fenomena El Nino.Â
Kajian Bappenas dan Bank Pembangunan Asia, memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran mencapai 9,75 hektar.
Kondisi kebakaran hutan tersebut, mayoritas berada di lahan gambut sehingga kebakaran menjadi sulit ditanggulangi.Â
Untuk mengatasi agar peristiwa kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terulang, pemerintah telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) yang diberikan mandat untuk menjalankan koordinasi dan penguatan kebijakan, perencanaan, pengendalian, dan kerja sama untuk penyelenggaraan restorasi gambut. Cakupan luas kawasan yang harus direstorasi kurang lebih 2.000.000 hektar.
Mengenali  Lahan Gambut
Dari referensi Wetlands International, disebutkan lahan gambut adalah suatu ekosistem lahan basah yang terbentuk oleh adanya timbunan atau kumpulan bahan organik di lantai hutan, yang, berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama (ribuan tahun).
Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase.Â
Kajian CIFOR (Center for International Forestry Research), menyebutkan pembentukan gambut di beberapa daerah pesisir Indonesia dimulai sejak 3.000 - 5.000 tahun lalu, sedangkan di daerah pedalaman lebih lama lagi yaitu sekitar 10.000 tahun lalu. Sifat gambut di Indonesia adalah gambut tropis.
Gambut memiliki daya hidrolik vertikal ke atas yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah.
Selain itu, gambut juga mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah mengalami kekeringan ekstrim, akan sulit menyerap air kembali.
Oleh karena itu, lahan gambut cenderung mudah terbakar karena kandungan bahan organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik dan porositas tinggi.
Gambut mempunyai fungsi hidrologis karena bersifat porositas yang tinggi sehingga berkemampuan menyerap air yang sangat besar.
Karena sifatnya itu, maka gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air tawar (reservoir) yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau.
Fungsi gambut sebagai pengatur tata air (hidrologi) dapat terganggu apabila dibuat saluran drainase yang berlebihan sehingga air menjadi lekas keluar dari lahan gambut.Â
Sebagai akibatnya, gambut mengalami kekeringan sampai batas kering tak balik, sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut sangat sulit dipadamkan karena api dapat menembus di bawah permukaan tanah.Â
Bara api yang dikira sudah padam ternyata masih tersimpan di dalam tanah dan menjalar ke tempat-tempat sekitarnya tanpa disadari. Bara api di lahan gambut di bawah permukaan tanah biasanya hanya dapat dipadamkan oleh air hujan yang lebat.Â
Kondisi gambut saat ini secara umum telah mengalami degradasi yang utamanya disebabkan oleh konversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman transmigrasi, perkebunan kelapa sawit dan pengusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan hutan tanaman alam (HTA). Degradasi lahan gambut salah satunya ditandai oleh semakin menurunnya permukaan gambut.Â
Selain itu, telah terjadi drainase berlebihan pada lahan gambut tersebut sehingga tata air lahan gambut menjadi terganggu, sebagai akibatnya lahan gambut itu menjadi kering karena bagian bawahnya sudah tidak ada air lagi.
Perkembangan pola penggunaan lahan di lahan gambut akan memicu lahan gambut cepat terdegradasi berupa penurunan fungsi hidrologi dan ekologi, yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.Â
Penyebab kerusakan gambut
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang sangat mengkhawatirkan sebagai akibat adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan tidak berwawasan lingkungan.Â
Secara umum, kerusakan ekosistem gambut disebabkan oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak disengaja. Antara lain, pembakaran lahan gambut dalam rangka persiapan lahan pertanian dan perkebunan kelapa sawit, pembukaan pemukiman dan transmigrasi, penebangan pohon di hutan berlahan gambut yang tidak terkendali, dan pembangunan saluran-saluran irigasi, parit maupun kanal.
Kondisi lahan gambut, contohnya seperti di Kalimantan, sebagian besar adalah hutan dengan potensi kayu yang besar.
Penebangan kayu (baik yang legal atau illegal) telah menjadi faktor yang mempengaruhi degradasinya ekosistem lahan gambut. Pun dengan penebangan kayu liar (illegal logging) telah menyebabkan musnahnya pohon besar dan juga pohon kecil yang akan mempengaruhi fungsi hidrologis hutan gambut.Â
Salah satu pohon kayu yang banyak dimanfaatkan dari hutan rawa gambut Kalimantan adalah kayu gelam (Melaleuca cajuputi).
Pohon-pohon kecil biasanya diambil untuk keperluan seperti konstruksi bangunan rumah/kandang dan juga kayu bakar.
Kebakaran lahan gambut juga bisa terjadi karena dipicu oleh perluasan lahan perkebunan kelapa sawit (baik yang dimiliki perusahaan ataupun perorangan masyarakat) dengan cara dibakar. Selain itu juga, kebakaran terjadi karena lahan gambut yang kering dan cuaca yang panas menyebabkan terbakar secara alami.
Kemudian kebakaran di lahan gambut sangat sulit dipadamkan dan menyebabkan dampak lingkungan, sosial, ekonomi dan kesehatan yang sangat besar.Â
Ketika dipadamkan, sepertinya api di permukaan lahan sudah padam, namun ternyata bara api masih membara di bagian bawah permukaan lahan gambut. Sehingga ketika cuaca masih panas dan ada tiupan angin kencang, bakal membuat api berkobar lagi.
Pemanfaatan lahan gambut di berbagai wilayah Indonesia (umumnya di Sumatera dan Kalimantan) untuk kegiatan budidaya pertanian maupun perkebunan kelapa sawit seringkali diikuti dengan pembuatan saluran drainase (parit).
Pembuatannya dilakukan dengan cara pengerukan yang tujuannya untuk mengeringkan lahan gambut tersebut agar air keluar dan tidak menggenangi lahan tersebut. Hal in menjadi masalah besar ketika saluran drainase yang dibuat tidak terkontrol sehingga mengganggu fungsi hidrologis gambut.Â
BRG telah melakukan upaya untuk memulihkan kembali ekosistem gambut, baik yang berada di kawasan lindung dan budidaya. Hal pertama yang mendasar dilakukan adalah dengan strategi mencegah kebakaran, yang artinya gambut yang telah mengalami degradasi dan kering maka harus dikembalikan fungsi ekologis dan hidrologisnya.
Upaya ini dikenal dengan nama restorasi, sebagai upaya pemulihan tata air (hidrologis) di lahan gambut untuk menjadikan ekosistem gambut menjadi basah dan berfungsi kembali seperti sediakala.
Ada 3 jurus yang dilakukan oleh BRG selama ini yaitu: (1) pembasahan kembali (rewetting), (2) penanaman kembali (revegetation), dan (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat (revitalization).Â
Pembasahan kembali gambut berupa kegiatan pembasahan material gambut yang mengering akibat aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya muka air tanah. Upaya ini dilakuknan dengan meningkatkan kadar air dan tinggi muka air tanah.
Ada tiga kegiatan utama pembasahan yaitu penyekatan kanal atau drainase, penimbunan kanal dan pembangunan sumur bor.Â
Sedangkan jurus penanaman kembali adalah upaya pemulihan tutupan lahan pada ekosistem gambut melalui penanaman berbagai jenis tanaman asli (endemik) pada fungsi lindung atau dengan jenis tanaman lain yang adaptif terhadap lahan basah gambut, dan memiliki nilai ekonomi pada fungsi budidaya.Â
Adapun jurus ketiga adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, yaitu berupa kegiatan penunjang restorasi yang sifatnya untuk meningkatkan ketahanan daya dukung sosial ekonomi, melalui kegiatan-kegiatan seperti pengembangan usaha melalui komoditas pilihan dan sumber mata pencaharian alternatif, peningkatan kapasitas kelembagaan dan pembinaan Desa Peduli Gambut.Â
Namun pada perjalanannya, upaya restorasi gambut untuk menanggulangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan masih menempuh jalan terjal panjang yang berliku. Tidak bisa dipungkiri bahwa hingga saat ini, kejadian kebakaran hutan dan lahan masih ada terjadi walau dengan skala kecil.Â
Tentunya ini menjadi catatan, apakah jurus-jurus yang sudah ada tersebut masih kurang jitu? Ataukah, pihak-pihak lain dalam melaksanakan restorasi gambut di tingkat daerah (provinsi dan kota atau kabupaten), masih belum paham dengan jurus-jurus tersebut? Bisa jadi yang baru memahami jurus-jurus tersebut hanya BRG saja.
Dalam hal ini, tentu saja perlu ada peningkatan hubungan kerja, kerjasama dan koordinasi yang lebih intensif lagi antara BRG dengan pemerintah daerah.
Selain itu, dengan pihak swasta seperti perusahaan kelapa sawit dan HTI- HTA pun perlu ada kemitraan yang lebih mengikat dan lebih kuat lagi.Â
Sementara itu, dengan pihak masyarakat perlu ada peningkatan peran serta masyarakat melalui pelibatan sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.
Tak lupa peran peran LSM sebagai pendamping masyarakat perlu semakin gencar dilakukan, terutama di tingkatan lokal komunitas masyarakat desa.
Sedangkan peran perguruan tinggi sebagai pihak pemasok ilmu pengetahuan perlu semakin dipertajam.Â
Melakukan restorasi hutan yang terbakar di lahan gambut adalah pekerjaan yang panjang prosesnya. Selain itu, hasilnya pun baru bisa dirasakan di masaa depan oleh anak cucu kita. Oleh karena itu, pelaksanaan restorasi gambut harus mempertimbangkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang.
Tujuan jangka pendek adalah untuk mencegah kebakaran. Dan tujuan jangka panjang adalah untuk memulihkan hutan dan lahan. Dan perlu diingat, tujuan-tujuan tersebut memerlukan jurus yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H