Sama-sama penghibur, wajar bila para pelawak cemburu pada para musisi. Tapi, sudahkah para komedian laris juga berempati pada nasib sejawat?
Para musisi di negeri ini mendapat perlakuan istimewa dari presiden, mereka diberi Hari Musik Nasional yang jatuh tiap tanggal 9 Maret, melalui Kepres Nomor 10 Tahun 2013. Penetapan hari musik ini menyusul pemberian apresiasi kepada insan perfilman yang sudah 64 tahun punya Hari Perfilman Nasional, tiap tanggal 30 Maret.
Mengapa saya bilang wajar, sebab komedian juga butuh pengakuan, butuh penghargaan. Mereka hanya ingin punya Hari Komedi Nasional. Hari Komedi Nasional yang mereka inginkan jatuh pada tanggal 27 September, tanggal kelahiran Bing Slamet (27 September 1927). Bing Slamet adalah komedian besar di negeri ini, telah malang melintang di panggung lawak semasa dia bergabung di Kwartet Jaya bersama Eddy Sud, Ateng, dan Iskak. Bing Slamet meninggal pada 17 September 1974.
Pelawak yang antusias minta pada presiden untuk menetapkan Hari Komedi Nasional itu Komeng. Komenglah yang menyebutkan bahwa, "Kalau ada Hari Musik Nasional, maka pelawak juga butuh penghargaan. Selama ini orang lebih banyak membicarakan komedo daripada komedi sehingga banyak obat cuci muka. Maka sudah waktunya ada obat cuci rohani ... "
Hanya saja, apakah di saat menjelang lengser ini SBY masih mikir soal komedi? Tersenyum saja sekarang ini dia jarang melakukannya, apalagi terpingkal-pingkal menonton lawakan. Komeng masih bisa berharap aspirasinya didengar presiden mendatang, asal tentu saja dia selalu mengingatkan. Bisa jadi presiden baru nanti juga penat pikiran, sehingga tak mikir hiburan.
Terpenting lagi adalah: apakah dengan punya Hari Komedi Nasional kemudian kesejahteraan para pelawak bisa merata? Meski mereka punya hari peringatan, belum tentu juga ada keserasian perasaan di tengah-tengah komedian.
Seperti di dunia manapun, baik olahraga, hiburan, maupun ormas, yang namanya hari peringatan hanya cukup memberi semacam tanda bahwa pada tanggal tertentu mereka diperingati. Setelah kumpul-kumpul, paginya mereka berjalan sendiri-sendiri. Enak bagi pelawak yang laku dan tiap hari muncul di televisi, banyak di negeri ini pelawak bisa makan sehari tiga kali saja sudah bagus.
Saya bahkan menemukan pelawak jebolan Aakademi Pelawak Indonesia (API) TPI yang kini hidupnya tidak beruntung. Namanya Teguh. Ia adalah anak seorang dedengkot Wayang Orang Ngesti Pandowo Semarang yang legendaris. Ditempa disiplin ala Ngesti Pandowo, Teguh menjadi pelawak andal dengan joke-joke dan letupan-letupan yang tak kalah hebat dari Komeng maupun Wendy Cagur.
Ia -- bersama grupnya -- menjadi finalis API angkatan Bajaj, Cagur, dan SOS (ada nama Sule di dalamnya). Tapi grup Teguh tidak juara. Balik ke Semarang, dia kembali ke habitatnya: sekelompok seniman belel di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Sesekali masih melawak secara duet atau trio di resepsi perkawinan, atau diundang oleh acara pembukaan perusahaan. Tapi, secara umum, pelawak yang di Semarang dianggap  senior ini tetap kekurangan secara ekonomi.
"Ini soal garis hidup saja. Ada yang mujur seperti kawan-kawan pelawak yang sering muncul di tivi itu, ada yang peot dan hidupnya miris macam saya," tutur Teguh pada saya, tanpa berniat melucu, di Lapas Wanita Bulu Semarang, saat digelar lomba lawak antarnapi dimana Teguh menjadi ketua jurinya, akhir pekan lalu.
[caption id="attachment_319468" align="aligncenter" width="400" caption="Teguh, jebolan API yang tak semujur Sule atau Deny Cagur. (Foto: Arief Firhanusa)"][/caption]
Jika benar kelak bakal ada Hari Komedi Nasional, apakah hari peringatan tersebut benar-benar membawa manfaat secara merata bagi seluruh komedian, ataukah cuma momentum musiman semata?
Berbeda dengan beberapa jenis kesenian yang punya organisasi. Dangdut, misalnya, punya Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) yang acap berusaha membuat sejahtera anggotanya. Secara kolektif bahkan sering mengambil sikap bila ada anggotanya ditindas atau terbentur perkara. Contohnya saat seorang biduan di Kabupaten Semarang belum lama ini mendapat kekerasan seksual di pinggiran hutan, sontak PAMMI melakukan perlindungan maksimal dan melakukan penggalangan dana untuk pengobatan fisik serta psikis biduan tadi.
Apakah nanti bila pelawak punya hari peringatan juga bakal melakukan hal serupa? Jangan-jangan cuma untuk gagah-gagahan saja. Jangan-jangan pula, pada setiap peringatan Hari Komedi Nasional nanti (bila presiden meluluskan) ada undangan khusus bagi pelawak yang tak laku, lalu oleh presiden mereka disantuni uang yang justru menjadi adegan memalukan!
Sebaiknya, sebelum punya hari nasional, para pelawak yang laris juga memikirkan nasib koleganya, seperti Teguh yang di Semarang itu, serta ratusan lainnya, terutama di daerah-daerah! Tidak harus menyubsidi, tapi setidaknya ada reuni-reuni tertentu dan tertutup (tanpa kamera televisi untuk kepentingan sensasi) yang memotivasi semangat hidup para pelawak tak laku.
-Arief Firhanusa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H